28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pemburu Anak

Kedua tanganku diborgol. Dua polisi mengapitku dalam perjalanan menuju
kantor polisi. Mereka sudah berhitung dengan menjaga ketat agar aku tidak bisa
lolos setelah perburuan panjang. Tapi, aku tak boleh menyerah. Aku harus keluar
dan membunuh sisa anak yang masih berkeliaran. Itu misiku.

—

KALAU aku hitung-hitung, dalam kecepatan mobil seperti ini, kami
bertiga akan cenderung miring ke kanan ketika melintasi jalan menikung ke kiri
menuju jembatan di depan itu. Itu saat yang paling pas untuk kabur. Apalagi ada
sungai, bisa langsung terjun dan menghilang.

Tapi, aku perlu berhitung dengan
cermat untuk melumpuhkan sopir dan dua penjaga ini. Tampaknya polisi di sebelah
kananku tidak begitu fokus, lebih banyak melihat ke jalan daripada
memperhatikan gerak-gerikku. Mungkin karena menganggap aku relatif menurut
sejak penangkapan tadi.

Ini modal penting untuk
meloloskan diri. Ketika orang sudah yakin bahwa kita tak berdaya, saatitulah
waktunya untuk melawan dan menunjukkan daya kita.

Siap-siap. Yap. Aku hantam kepala
polisi di sisi kananku dengan kepalaku hingga membentur kaca jendela dan ambyar
seperti stoples berisi ikan yang jatuh ke lantai. Polisi di sisi kiriku yang
kaget aku hajar dengan cara yang sama. Serangan ganda yang mendadak itu
mengacaukan fokus mereka, termasuk polisi yang menyetir. Buru-buru kucabut
senapan listrik dari saku polisi di kananku dan kutembakkan ke leher sopir agar
dia tak sempat mencabut pistol. Pingsan.

Dua polisi di kanan-kiriku
linglung. Sebelum pulih kesadaran mereka, aku buka kunci pintu dan kutendang
polisi di sebelah kananku ke jalan. Lalu, aku hantam muka polisi di sebelah
kiriku dengan gagang pistol listrik yang kupegang dengan kedua tangan yang
masih terborgol. Dia pingsan juga. Aku berguling ke kiri keluar lewat pintu
setelah menyambar kunci borgol yang menggantung pada ikat pinggang polisi
sopir, lalu terjun ke sungai sebelum mobil menghantam pembatas jembatan. Byur!

Sekilas aku melihat dua polisi,
yang mengawal dengan sepeda motor di depan kami, kelabakan menyaksikan kejadian
yang hanya berlangsung beberapa detik itu. Mungkin sekarang mereka tengah
bengong di atas jembatan atau memanggil bala bantuan. Masa bodoh.

*

Kalian mungkin bertanya bagaimana
aku bisa seyakin itu terhadap masa depan seseorang. Ini bermula ketika di
sebuah stasiun kereta api aku terlelap di atas bangku tunggu menanti kereta
terakhir. Dalam tidurku yang sejenak itu berkelebat mimpi samar yang kukira
nyata. Lebih tepatnya, aku tidak bisa membedakan apakah itu mimpi atau nyata.
Seorang pria tegap berbaju beskap dan belangkon menghampiriku. Alisnya tipis
setipis kumisnya. Dia tersenyum, lalu menempelkan telapak tangannya yang sejuk
ke keningku.

”Aku Bagus Burhan, kakekmu,”
ucapnya singkat, lalu pergi seiring datangnya kereta yang kutunggu.

Bagus Burhan. Nama yang tak asing
dalam keluargaku. Benarkah dia Bagus Burhan? Bila diurut-urut, aku ini masih
terbilang keturunan Rara Mumpuni. Nenekku adalah cucu dari Rara Mumpuni, anak
bungsu pujangga kenamaan Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga yang mempunyai
winarah, visi, atau teropong masa depan. Sebelum Ranggawarsita berguru dan
berkelana untuk menemukan jati dirinya, dia memakai nama Bagus Burhan. Ini yang
mengejutkan aku.

Ketika orang lain mimpi ketemu
Nabi Khidir atau Sunan Kalijaga, bagiku biasa. Sekadar bunga tidur. Begitu pun
ketika aku mimpi ditemui Bagus Burhan. Tapi, itu menjadi tidak biasa karena
muncul peristiwa ikutannya.

Baca Juga :  Langkah Terpenggal

Sejak mimpi di stasiun itu,
setiap aku bertemu seorang bocah, terlihat juga masa depannya. Seperti melihat
serangga yang dijebak dalam resin kaca gantungan kunci. Serangga itu adalah
anak kecil tadi, sementara gantungan kunci tersebut adalah masa depannya.
Kadang mirip bayangan kita dalam botol. Jadi, bocah yang aku lihat tidak
tunggal lagi.

Terdapat tanda pada masing-masing
bocah-bocah itu, yakni semacam lampu senter beragam warna seperti spektrum
pelangi. Semakin banyak warna hijau, berarti dia membawa damai. Jika merah, berarti
sebaliknya. Tanda ini tidak serta-merta muncul begitu anak itu lahir, menunggu
suara tertentu. Lain anak, lain usia kemunculan tandanya. Biasanya menjelang
menangkap kemunculan tanda itu, aku lebih dulu mimpi bertemu Bagus Burhan yang
mengarahkan ke kota mana aku harus berburu.

Seperti saat aku melihat Robby,
bocah usia tujuh tahun, di Pantai Cermin, Deli Serdang. Anaknya ceria, pipinya
merona seperti apel siap petik, matanya berbinar seperti pagi di musim kemarau.
Kurasa, banyak orang tua yang berharap punya anak seperti dia. Tapi, cahaya di
dahinya merah menyala dan badannya dikelilingi citra astral berbulu lebat, yang
berarti kelak dewasa dia lebih banyak membawa petaka. Dia misi pertamaku.

Yang pertama selalu yang
terberat. Setelah menghabisi Robby, tanganku gemetaran selama lima hari. Tidur
tak pernah nyenyak. Senyum dan binar mata Robby menghantui. Sugesti rasa
bersalah menguasai kepala dan hati.

”Lebih baik dia mati sekarang
karena itu sama dengan kamu menyelamatkan dia dan juga dunia. Jika Robby tumbuh
dewasa, akan lebih banyak yang sengsara. Ini berat, tapi harus dilakukan,”
bisik Bagus Burhan pada sutu malam yang hujan, antara mimpi dan nyata.

Bagus Burhan memberi dorongan
bahwa ini tugas suci. Dorongan inilah yang lambat laun membuatku biasa.
Menghabisi anak kecil seperti menyembelih ayam saja. Ringan dan tanpa dosa.
Bahkan, kadang ada perasaan lega lantaran setelah membunuh itu badanku terasa
nyaman belaka. Jika rencana pembunuhan itu aku tunda barang sehari dua hari,
seluruh badanku gatal tak terkira. Gatal yang tidak mengancam nyawa, tapi
merusak mental dan akal.

Hingga hari ini, tepat tiga tahun
setelah mimpi di stasiun itu, sudah seratus dua puluh tujuh anak yang aku
bunuh. Jangan tanya mengapa tidak ada yang curiga. Tentu saja ada, tapi aku
selalu menemukan teknik baru dalam membunuh, yang seolah-olah anak itu mati
wajar. Orang juga tak akan curiga kepadaku lantaran topengku terlalu tebal.
Bukan topeng sebenarnya, tapi lebih kepada agen ganda.

Selain mengemban misi membunuh
bocah-bocah pembawa petaka, aku juga wajib menjamin kehidupan anak-anak yang
kelak membawa kedamaian dunia. Anak-anak ini dari beragam kelas sosial dan
suku. Anak-anak yang hidup di jalan, jembatan, pinggiran kota, atau rel kereta
api ini aku rekrut dan asuh di sebuah panti. Jumlahnya kini sampai enam
ratusan. Seluruh kebutuhan pangan, permainan, sampai pendidikan aku sediakan
secara memadai sehingga mereka betah. Bahkan, beberapa orang tua mereka aku
tarik untuk membantu mengurusnya. Dana aku dapatkan dari penggalangan lewat
internet. Entah siapa mereka, selalu saja ada ratusan juta dana yang masuk
setiap bulan. Aku menduga ini juga campur tangan Bagus Burhan. Sebab, tidak ada
hal yang kebetulan.

Baca Juga :  Baju Natal buat sang Cucu

Anak-anak kandungku juga kerap
datang dan berbaur dengan mereka, terutama di musim liburan. Mereka senang
banyak teman berkerumun di tempat bermain utama dengan ratusan anak. Rasanya
bangga sekali melihat cahaya-cahaya hijau berpendar dari dahi-dahi mereka.
Sebentar, itu kok ada yang merah, siapa itu? Aku amati lagi, sosok hitam
membayangi tubuhnya. Oh, Tuhan.

*

Anak sulungku, Ragat, harus mati.
Ini dilema luar biasa yang aku alami. Siapa gerangan yang sanggup membunuh anak
sendiri. Jika dia aku biarkan tumbuh dewasa, aku tak adil kepada anak-anak lain
yang telah kubunuh. Juga membahayakan dunia. Jika aku bunuh, bagaimana aku
mampu. Ini seperti makan buah simalakama: ditelan mati, dimuntahkan juga mati.
Akhirnya aku kulum saja, tapi bisa bertahan sampai kapan.

Berhari-hari badanku gatal tak
terkira. Aku segera memahami dilema yang sama pada diri Ibrahim ketika diperintah
menyembelih Ismail, anaknya. Tapi, aku bukan Ibrahim, aku bukan nabi. Aku hanya
seorang ayah yang mencintai dua anaknya. ”Hai kau yang di langit sana, kenapa
harus anakku?” protesku dalam tangis yang tertahan.

Kutatapi wajah Ragat yang tidur
pulas. Adiknya tidur bersama istriku di kamar sebelah. Ini jelang tengah malam.
Rumah sepi. Hanya bunyi detak jam dinding mengisi ruang sunyi. Aku bayangkan
ini pertemuan terakhirku dengannya. Aku rogoh saku untuk meraih handuk kecil,
lalu kubasahi dengan kloroform. Pelan-pelan aku bekap mulut dan hidungnya yang
bangir itu. Tak ada perlawanan. Aku makin tak sanggup, tapi harus kulakukan.

Kuambil bantal untuk menutup
wajahnya. Semoga dia mati dengan damai seperti perhitunganku karena kehabisan
oksigen dalam ketidaksadaran. Ya Tuhan! Badannya berontak beberapa detik
sebelum akhirnya lemas. Aku biarkan bantal tetap menutupi wajahnya karena kutak
tahan melihatnya. Melihat anakku tak bernyawa. Mataku hangat. Pipiku basah.
Sejak kapan aku menangis ketika membunuh seorang bocah.

”Aku tak sanggup lagi. Cukup!”

”Masih tiga lagi. Tuntaskan!”
bisik Bagus Burhan.

”Tidak! Kamu saja yang
melakukan.”

Pagi itu polisi menangkapku.

*

Tiga bocah yang dimaksud Bagus
Burhan ini sudah beberapa hari aku kantongi fotonya. Waktu dan hari juga sudah
aku tentukan. Jika mereka dibiarkan hidup sampai dewasa, kelak akan merusak
tatanan kehidupan. Mereka serakah. Kelak mereka ini selalu saling bermusuhan
berebut kekayaan memakai baju kepentingan orang banyak. Mereka pemilik saham di
banyak perusahaan besar, tapi masih mengeruk keuntungan sebagai penyelenggara
negara. Mereka pengusaha sekaligus penguasa.

Ada juga yang pura-pura kritis
kepada pemerintah lewat lembaga wakil rakyat, tetapi diam-diam mencari
proyek-proyek raksasa untuk kepentingan diri dan keluarga. Penguasa yang risi
karena diganggu akhirnya menyerah juga. Mereka risi karena memang tidak bersih.

Jika kalian menemukan orang-orang
dengan ciri di atas, besar kemungkinan aku gagal menyelesaikan misi ini. Besar
kemungkinan aku tenggelam di sungai ini. (*)

Green Village Bintaro, 15 Agustus
2020

—

(HILMI FAIQ. Jurnalis kelahiran
Lamongan. Buku kumpulan cerpennya, Pesan dari Tanah, baru saja terbit)

Kedua tanganku diborgol. Dua polisi mengapitku dalam perjalanan menuju
kantor polisi. Mereka sudah berhitung dengan menjaga ketat agar aku tidak bisa
lolos setelah perburuan panjang. Tapi, aku tak boleh menyerah. Aku harus keluar
dan membunuh sisa anak yang masih berkeliaran. Itu misiku.

—

KALAU aku hitung-hitung, dalam kecepatan mobil seperti ini, kami
bertiga akan cenderung miring ke kanan ketika melintasi jalan menikung ke kiri
menuju jembatan di depan itu. Itu saat yang paling pas untuk kabur. Apalagi ada
sungai, bisa langsung terjun dan menghilang.

Tapi, aku perlu berhitung dengan
cermat untuk melumpuhkan sopir dan dua penjaga ini. Tampaknya polisi di sebelah
kananku tidak begitu fokus, lebih banyak melihat ke jalan daripada
memperhatikan gerak-gerikku. Mungkin karena menganggap aku relatif menurut
sejak penangkapan tadi.

Ini modal penting untuk
meloloskan diri. Ketika orang sudah yakin bahwa kita tak berdaya, saatitulah
waktunya untuk melawan dan menunjukkan daya kita.

Siap-siap. Yap. Aku hantam kepala
polisi di sisi kananku dengan kepalaku hingga membentur kaca jendela dan ambyar
seperti stoples berisi ikan yang jatuh ke lantai. Polisi di sisi kiriku yang
kaget aku hajar dengan cara yang sama. Serangan ganda yang mendadak itu
mengacaukan fokus mereka, termasuk polisi yang menyetir. Buru-buru kucabut
senapan listrik dari saku polisi di kananku dan kutembakkan ke leher sopir agar
dia tak sempat mencabut pistol. Pingsan.

Dua polisi di kanan-kiriku
linglung. Sebelum pulih kesadaran mereka, aku buka kunci pintu dan kutendang
polisi di sebelah kananku ke jalan. Lalu, aku hantam muka polisi di sebelah
kiriku dengan gagang pistol listrik yang kupegang dengan kedua tangan yang
masih terborgol. Dia pingsan juga. Aku berguling ke kiri keluar lewat pintu
setelah menyambar kunci borgol yang menggantung pada ikat pinggang polisi
sopir, lalu terjun ke sungai sebelum mobil menghantam pembatas jembatan. Byur!

Sekilas aku melihat dua polisi,
yang mengawal dengan sepeda motor di depan kami, kelabakan menyaksikan kejadian
yang hanya berlangsung beberapa detik itu. Mungkin sekarang mereka tengah
bengong di atas jembatan atau memanggil bala bantuan. Masa bodoh.

*

Kalian mungkin bertanya bagaimana
aku bisa seyakin itu terhadap masa depan seseorang. Ini bermula ketika di
sebuah stasiun kereta api aku terlelap di atas bangku tunggu menanti kereta
terakhir. Dalam tidurku yang sejenak itu berkelebat mimpi samar yang kukira
nyata. Lebih tepatnya, aku tidak bisa membedakan apakah itu mimpi atau nyata.
Seorang pria tegap berbaju beskap dan belangkon menghampiriku. Alisnya tipis
setipis kumisnya. Dia tersenyum, lalu menempelkan telapak tangannya yang sejuk
ke keningku.

”Aku Bagus Burhan, kakekmu,”
ucapnya singkat, lalu pergi seiring datangnya kereta yang kutunggu.

Bagus Burhan. Nama yang tak asing
dalam keluargaku. Benarkah dia Bagus Burhan? Bila diurut-urut, aku ini masih
terbilang keturunan Rara Mumpuni. Nenekku adalah cucu dari Rara Mumpuni, anak
bungsu pujangga kenamaan Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga yang mempunyai
winarah, visi, atau teropong masa depan. Sebelum Ranggawarsita berguru dan
berkelana untuk menemukan jati dirinya, dia memakai nama Bagus Burhan. Ini yang
mengejutkan aku.

Ketika orang lain mimpi ketemu
Nabi Khidir atau Sunan Kalijaga, bagiku biasa. Sekadar bunga tidur. Begitu pun
ketika aku mimpi ditemui Bagus Burhan. Tapi, itu menjadi tidak biasa karena
muncul peristiwa ikutannya.

Baca Juga :  Langkah Terpenggal

Sejak mimpi di stasiun itu,
setiap aku bertemu seorang bocah, terlihat juga masa depannya. Seperti melihat
serangga yang dijebak dalam resin kaca gantungan kunci. Serangga itu adalah
anak kecil tadi, sementara gantungan kunci tersebut adalah masa depannya.
Kadang mirip bayangan kita dalam botol. Jadi, bocah yang aku lihat tidak
tunggal lagi.

Terdapat tanda pada masing-masing
bocah-bocah itu, yakni semacam lampu senter beragam warna seperti spektrum
pelangi. Semakin banyak warna hijau, berarti dia membawa damai. Jika merah, berarti
sebaliknya. Tanda ini tidak serta-merta muncul begitu anak itu lahir, menunggu
suara tertentu. Lain anak, lain usia kemunculan tandanya. Biasanya menjelang
menangkap kemunculan tanda itu, aku lebih dulu mimpi bertemu Bagus Burhan yang
mengarahkan ke kota mana aku harus berburu.

Seperti saat aku melihat Robby,
bocah usia tujuh tahun, di Pantai Cermin, Deli Serdang. Anaknya ceria, pipinya
merona seperti apel siap petik, matanya berbinar seperti pagi di musim kemarau.
Kurasa, banyak orang tua yang berharap punya anak seperti dia. Tapi, cahaya di
dahinya merah menyala dan badannya dikelilingi citra astral berbulu lebat, yang
berarti kelak dewasa dia lebih banyak membawa petaka. Dia misi pertamaku.

Yang pertama selalu yang
terberat. Setelah menghabisi Robby, tanganku gemetaran selama lima hari. Tidur
tak pernah nyenyak. Senyum dan binar mata Robby menghantui. Sugesti rasa
bersalah menguasai kepala dan hati.

”Lebih baik dia mati sekarang
karena itu sama dengan kamu menyelamatkan dia dan juga dunia. Jika Robby tumbuh
dewasa, akan lebih banyak yang sengsara. Ini berat, tapi harus dilakukan,”
bisik Bagus Burhan pada sutu malam yang hujan, antara mimpi dan nyata.

Bagus Burhan memberi dorongan
bahwa ini tugas suci. Dorongan inilah yang lambat laun membuatku biasa.
Menghabisi anak kecil seperti menyembelih ayam saja. Ringan dan tanpa dosa.
Bahkan, kadang ada perasaan lega lantaran setelah membunuh itu badanku terasa
nyaman belaka. Jika rencana pembunuhan itu aku tunda barang sehari dua hari,
seluruh badanku gatal tak terkira. Gatal yang tidak mengancam nyawa, tapi
merusak mental dan akal.

Hingga hari ini, tepat tiga tahun
setelah mimpi di stasiun itu, sudah seratus dua puluh tujuh anak yang aku
bunuh. Jangan tanya mengapa tidak ada yang curiga. Tentu saja ada, tapi aku
selalu menemukan teknik baru dalam membunuh, yang seolah-olah anak itu mati
wajar. Orang juga tak akan curiga kepadaku lantaran topengku terlalu tebal.
Bukan topeng sebenarnya, tapi lebih kepada agen ganda.

Selain mengemban misi membunuh
bocah-bocah pembawa petaka, aku juga wajib menjamin kehidupan anak-anak yang
kelak membawa kedamaian dunia. Anak-anak ini dari beragam kelas sosial dan
suku. Anak-anak yang hidup di jalan, jembatan, pinggiran kota, atau rel kereta
api ini aku rekrut dan asuh di sebuah panti. Jumlahnya kini sampai enam
ratusan. Seluruh kebutuhan pangan, permainan, sampai pendidikan aku sediakan
secara memadai sehingga mereka betah. Bahkan, beberapa orang tua mereka aku
tarik untuk membantu mengurusnya. Dana aku dapatkan dari penggalangan lewat
internet. Entah siapa mereka, selalu saja ada ratusan juta dana yang masuk
setiap bulan. Aku menduga ini juga campur tangan Bagus Burhan. Sebab, tidak ada
hal yang kebetulan.

Baca Juga :  Baju Natal buat sang Cucu

Anak-anak kandungku juga kerap
datang dan berbaur dengan mereka, terutama di musim liburan. Mereka senang
banyak teman berkerumun di tempat bermain utama dengan ratusan anak. Rasanya
bangga sekali melihat cahaya-cahaya hijau berpendar dari dahi-dahi mereka.
Sebentar, itu kok ada yang merah, siapa itu? Aku amati lagi, sosok hitam
membayangi tubuhnya. Oh, Tuhan.

*

Anak sulungku, Ragat, harus mati.
Ini dilema luar biasa yang aku alami. Siapa gerangan yang sanggup membunuh anak
sendiri. Jika dia aku biarkan tumbuh dewasa, aku tak adil kepada anak-anak lain
yang telah kubunuh. Juga membahayakan dunia. Jika aku bunuh, bagaimana aku
mampu. Ini seperti makan buah simalakama: ditelan mati, dimuntahkan juga mati.
Akhirnya aku kulum saja, tapi bisa bertahan sampai kapan.

Berhari-hari badanku gatal tak
terkira. Aku segera memahami dilema yang sama pada diri Ibrahim ketika diperintah
menyembelih Ismail, anaknya. Tapi, aku bukan Ibrahim, aku bukan nabi. Aku hanya
seorang ayah yang mencintai dua anaknya. ”Hai kau yang di langit sana, kenapa
harus anakku?” protesku dalam tangis yang tertahan.

Kutatapi wajah Ragat yang tidur
pulas. Adiknya tidur bersama istriku di kamar sebelah. Ini jelang tengah malam.
Rumah sepi. Hanya bunyi detak jam dinding mengisi ruang sunyi. Aku bayangkan
ini pertemuan terakhirku dengannya. Aku rogoh saku untuk meraih handuk kecil,
lalu kubasahi dengan kloroform. Pelan-pelan aku bekap mulut dan hidungnya yang
bangir itu. Tak ada perlawanan. Aku makin tak sanggup, tapi harus kulakukan.

Kuambil bantal untuk menutup
wajahnya. Semoga dia mati dengan damai seperti perhitunganku karena kehabisan
oksigen dalam ketidaksadaran. Ya Tuhan! Badannya berontak beberapa detik
sebelum akhirnya lemas. Aku biarkan bantal tetap menutupi wajahnya karena kutak
tahan melihatnya. Melihat anakku tak bernyawa. Mataku hangat. Pipiku basah.
Sejak kapan aku menangis ketika membunuh seorang bocah.

”Aku tak sanggup lagi. Cukup!”

”Masih tiga lagi. Tuntaskan!”
bisik Bagus Burhan.

”Tidak! Kamu saja yang
melakukan.”

Pagi itu polisi menangkapku.

*

Tiga bocah yang dimaksud Bagus
Burhan ini sudah beberapa hari aku kantongi fotonya. Waktu dan hari juga sudah
aku tentukan. Jika mereka dibiarkan hidup sampai dewasa, kelak akan merusak
tatanan kehidupan. Mereka serakah. Kelak mereka ini selalu saling bermusuhan
berebut kekayaan memakai baju kepentingan orang banyak. Mereka pemilik saham di
banyak perusahaan besar, tapi masih mengeruk keuntungan sebagai penyelenggara
negara. Mereka pengusaha sekaligus penguasa.

Ada juga yang pura-pura kritis
kepada pemerintah lewat lembaga wakil rakyat, tetapi diam-diam mencari
proyek-proyek raksasa untuk kepentingan diri dan keluarga. Penguasa yang risi
karena diganggu akhirnya menyerah juga. Mereka risi karena memang tidak bersih.

Jika kalian menemukan orang-orang
dengan ciri di atas, besar kemungkinan aku gagal menyelesaikan misi ini. Besar
kemungkinan aku tenggelam di sungai ini. (*)

Green Village Bintaro, 15 Agustus
2020

—

(HILMI FAIQ. Jurnalis kelahiran
Lamongan. Buku kumpulan cerpennya, Pesan dari Tanah, baru saja terbit)

Terpopuler

Artikel Terbaru