30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Baju Natal buat sang Cucu

Desember menyimpan keajaiban. Pohon-pohon yang meranggas mulai
mengeluarkan tunas-tunasnya begitu hujan pertama di akhir November.

—

PEMANDANGAN kuning kecokelatan pada puncak kemarau berubah. Di
Desember pohon-pohon merimbun beraneka warna. Beberapa di antaranya memekarkan
bunga yang indah. Kurun waktu ini disebut: wulan nikat, bulan menanam dalam
penanggalan lokal.

Ada pohon yang nyaris seluruhnya
tampak bunga. Orang-orang hari ini menyebutnya dengan bunga Desember. Ada pula
yang menamainya dengan bunga Natal karena mekar di hari-hari menjelang Natal.
Hampir pasti bahwa di Desember inilah orang-orang Portugis berlayar melintasi
bagian timur Flores dan melihat pemandangan menakjubkan tersebut, lalu
memberinya nama: cabo de flores, tanjung bunga!

Ketika Desember sayuran tumbuh
subur. Padi membiakkan tunasnya. Daun jagung bergoyang-goyang ditiup angin.
Ulat tanah tiba-tiba menjadi begitu banyak yang segera mati menjelma pupuk.
Alam begitu bermurah hati. Tak kalah gembiranya Tala, cucu semata wayang Ama
Tobi. Bahwa sebentar lagi Natal tiba. Pada saat Natal biasanya anak-anak
dibelikan baju, celana, atau sepatu baru. Tak peduli beli di mana atau harganya
berapa. Pokoknya baru. Mengenakan pakaian atau sepatu baru sudah merupakan
kegembiraan dan kemewahan bagi anak-anak kampung. Itulah makna Natal bagi
mereka.

Ama Tobi sangat ingin
menggembirakan cucu laki-lakinya itu. Di Natal ini, ia berniat membeli baju dan
sepatu baru. Tala sudah kehilangan orang tuanya ketika longsor menimbun rumah
mereka di musim hujan tahun lalu. Kini ia hidup dengan kakeknya di gubuk
sederhana tepat di pinggir jalan tak seberapa jauh jaraknya dari gereja.

Mengapa beringin-beringin
ditebang? Ia bukan rumah berhala, pusat sihir, atau santet. Bagi orang
sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi, beringin-beringin itulah yang
menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat menyisakan sedikit keteduhan.
Rembesan air membantu tanaman dari siksa kekeringan.

Bukan hanya tanaman,
binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun tertolong. Mereka punya
peran tersendiri seperti membusukkan sampah tanaman. Ama Tobi sangat percaya
gagal panen dalam tiga tahun terakhir akibat kekeringan, hama padi, ulat yang
mengeroposkan jagung, disusul serangan tikus masih terkait dengan ratusan
beringin yang dimusnahkan tersebut. Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah
yang mendadani serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.

Setelah beringin-beringin itu
ditebang, akarnya tak lagi menyerap air, mencengkeram batu, serta menahan
tanah. Saat hujan lebat longsor datang membuat cucunya kini tak berayah-ibu.
Ama Tobi sudah terlalu tua dan lemah, sedangkan cucunya masih terlalu kecil
untuk menanggung kepedihan hidup. Siapa yang menjaring awan jika pohon-pohon
besar itu sudah tak ada?

***

Para misionaris waktu dulu
menyimpan patung bayi berwarna perak di perahu salah seorang leluhur Ama Tobi
yang bernama Ama Nara saat malam hari. Pagi-pagi ketika hendak melaut, ia
menemukan patung tersebut dan sejumlah patung lainnya dalam perahunya. Ia
mencari barangkali ada orang yang tanpa sengaja telah meninggalkan
patung-patung tersebut. Dalam jarak yang tak terlalu jauh, ia bertemu dengan
dua orang misionaris yang mengatakan bahwa Ama Nara telah menerima berkah yang
luar biasa. Didatangi sendiri oleh sang juru selamat pembawa damai, terang, dan
cinta bagi dunia.

Cerita tentang juru selamat yang
disampaikan kedua misonaris mirip dengan kisah Nogo Letek bagi Ama Nara. Nogo
Letek gadis Lewoangi tiba-tiba hamil tanpa pria. Selama 10 tahun
saudara-saudaranya bertanya, memaksa, bahkan memarahinya, tapi Nogo tak menjawab
siapa pria yang telah menghamilinya. Maka, bersiasatlah saudara-saudaranya
dengan mengundang seluruh pria di wilayah daratan Flores Timur untuk pesta
nyanyian dan tarian adat peresmian korke. Nogo ditugaskan bersama anaknya
melayani tetamu menyuguhkan sirih pinang. Saudara-saudaranya mengangkat sumpah,
jika nanti anak Nogo memeluk kaki seorang pria, dialah ayahnya. Tak ada ampun,
mereka langsung membunuhnya.

Leluhur Ama Tobi dari masa yang
lebih jauh bernama Boki diundang juga ke pesta itu. Pelatin Lela seorang pria
Leworahang menawarkan dirinya untuk ikut serta dengannya. Tak disangka-sangka,
di tengah sukacita tarian dan nyanyian, anak Nogo Letek memeluk kaki Pelatin
Lela. Saudara-saudaranya menghunus parang. Boki minta pertimbangan karena ia
yang membawa Pelatin Lela. Ia mohon mereka dinikahkan. Ia bersedia kembali ke
Lewolema untuk mengambil gading sebagai belisnya.

Baca Juga :  Di Samping Rel Kereta

Setelah kepergian Boki,
saudara-saudara Nogo Letek mengambil kesempatan untuk melampiaskan amarah
mereka. Pelatin diperintahkan bangun korke dalam sehari. Jika tak berhasil, ia
dibunuh. Pelatin Lela menangis bersusah hati. Binatang-binatang hutan datang
bergotong royong membantunya. Saudara-saudara Nogo menuangkan cairan gula tuak
ke laut dan memintanya mengisi kembali ke wadahnya tanpa sedikit pun tercampur
air laut. Kura-kura membantunya melakukan itu. Merasa belum puas, mereka
mencampurkan biji jawawut dengan pasir halus dan meminta Pelatin memisahkannya
dalam waktu singkat. Semut-semut bergotong royong menolongnya.

Ketika Boki tiba dari Lewotala,
dengan berurai air mata Pelatin Lela menceritakan perlakuan mereka atas
dirinya. Boki mencabut parangnya, berdiri di tengah pelataran korke dan
menantang perang. Semua yang berkumpul khawatir jika tantangan itu disambut
saudara-saudara Nogo. Boki adalah pemimpin Lewolema yang memiliki banyak
sekutu, sementara Lewoangi pun demikian.

Melalui negosiasi yang alot,
akhirnya Nogo Letek diikhlaskan mengikuti Pelatin Lela tanpa belis. Belisnya
adalah um baja yang artinya damai dan cinta kasih total: tanpa perang, tanpa
saling berkata kasar, apalagi melukai perasaan. Ini dikukuhkan dengan sumpah
adat dan berlaku sampai turun-temurun.

Ketika rombongan Boki membawa
Pelatin dan istrinya kembali ke Lewolema, hujan dan angin mengiringi mereka.
Binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi restu. Bunga-bunga
mengeluarkan wewangiannya.

Sejak saat itu, ketika di
Lewoangi dan kampung-kampung serumpunnya belum turun hujan, mereka pergi ke
kampung-kampung di Lewolema menari dan menyanyi sepanjang malam mengisahkan
kisah Nogo Letek-Pelatin Lela. Saat mereka pulang, hujan mengikuti dan
menyegarkan ladang-ladangnya. Begitu pun sebaliknya. Pun saat dalam perjalanan
melintasi Lewolema jika haus atau lapar, mereka boleh mengambil hasil kebun
untuk melepaskan lapar dan haus. Orang-orang Lewolema tak boleh melarangnya.
Demikian pun sebaliknya.

Orang-orang umumnya tahu bahwa
Pelatin Lela telah menghamili Nogo Letek dan perkawinan mereka terjadi karena
Pelatin Lela adalah seorang yang sakti. Namun, Boki menyimpan semua rahasia
itu. Bahwa sesungguhnya Nogo Letek hamil tanpa seorang pria dan Pelatin Lela
pun tahu itu. Atas kemurnian hati, ketulusan berkorban demi tak terjadi perang
besar, semesta merestui. Cinta kasih hadir.

Cerita misionaris tentang sang
juru selamat diterima dengan pengertian. Ia yang dikandung ibunya tanpa pria,
yang lahir bercahaya, dikunjungi para raja dari Timur sungguh menarik. Yang
lebih menarik lagi adalah ia raja damai, mengajarkan belas kasih, mencintai
orang kecil dan papa. Maka, Boki menyimpan patung-patung itu bersama
benda-benda pusaka leluhurnya. Mewariskannya kepada keturunannya hingga banyak
yang berpindah tangan karena di masa kemudian keturunannya dianggap
menggabungkan kekatolikan yang luhur dan kekafiran yang menyesatkan. Namun,
sampai generasi Ama Tobi hari ini, kisah itu tetap dirawat. Mereka mencintai
sang juru selamat dengan cara mereka yang khas, merawat ajaran-ajaran sucinya
dalam hidup keseharian yang tak mencolok.

***

Natal tinggal beberapa hari lagi.
Tala selalu bercerita setiap kali ada temannya yang dibelikan baju, celana,
atau sepatu baru. Ama Tobi tahu maksud cucunya itu. Maka, secara diam-diam ia
pergi menawarkan kambing kepada breun-nya Paman Usman di Kampung Baru. Paman
Usman sebenarnya tak terlalu butuh. Tapi, ketika tahu demi baju dan sepatu
Natal untuk sang cucu, Paman Usman langsung membayarnya seharga 350 ribu
rupiah.

Ama Tobi pulang dengan lega.
Sambil menikmati singkong rebus, ia mengajak cucu ke pasar Lamawalang besok. Di
luar rintik sebentar lagi hujan membuat singkong dan kopi terasa lebih nikmat
dari biasanya.

Baca Juga :  Senyum Bagaikan Sendu

”Ama Tobi, Ama, Ama…..” ada suara
memanggil.

Raut muka Ama Tobi tiba-tiba
berubah. Kopi yang tengah diteguknya seperti tak bisa ditelan lagi.

”Mari, Ibu Ana, silakan masuk….”

”Ama Tobi sehat-sehat?”

”Sehat, Ibu.”

”Tala pintar tidak di sekolah?
Sekolah yang rajin supaya bisa jadi Romo Deken atau Bapa Uskup. Tahu tidak?
Kemarin Pak James anggota DPR dapil kita yang di Senayan itu beri hadiah mobil
Fortuner buat Romo Deken!”

Tala mengangguk-angguk.

”Atau seperti ibu ini. Melayani
Tuhan jadi ketua Komunitas Basis. Pak Johan suami ibu yang kepala sekolah itu
menyumbang 100 sak semen buat pembangunan aula paroki.”

Setelah puas memuji-muji diri dan
keluarganya, Ibu Ana mengutarakan maksud kedatangannya.

”Begini, Ama, saya tagih
kewajiban sebagai anggota gereja: iuran wajib 100 ribu, 3 sak semen untuk
pembangunan aula paroki total 150 ribu, sumbangan wajib pembangunan kapel stasi
Philipus 50 ribu, serta derma aksi Natal seikhlasnya sesuai kemampuan. Semua sudah
lunas, hanya Ama yang belum.”

Tanpa suara, Ama Tobi bangun
perlahan-lahan mengambil dari saku bajunya uang hasil penjualan kambing tadi
siang. Dari 350 ribu, 15 ribu sudah dibelikannya ikan dan 15 ribu untuk biaya
ojek tadi. Yang tersisa 320 ribu diserahkannya ke Ibu Ana.

”Terima kasih, Tuhan pasti
menggandakannya berlipat-lipat dan memberkati dengan berkat surgawi dan
duniawi,” katanya sambil pamit.

Ama Tobi terdiam cukup lama, lalu
menghampiri cucunya.

”Jangan sedih, besok kakek jual
lagi yang satunya.”

***

Matahari tepat di ubun kepala.
Belum ada yang membeli kambingnya. Sepanjang dua hari ini Ama Tobi telah
berusaha. Situasi lagi sulit. Tinggal beberapa jam semua toko tutup. Malam ini
malam Natal. Akhirnya dengan nekat ia ke rumah kepala kantor agama. Hanya ada
istrinya. Ama Tobi menawarkan kambingnya. Tapi, istrinya bilang mereka baru
menyumbang 3 juta untuk pesta Natal bersama di lingkungannya. Ia mengambil
sebotol Coca-Cola dan memberikannya kepada Ama Tobi.

Merasa tak ada lagi harapan, Ama
Tobi pulang dan langsung memasak ayam yang sudah ditangkapnya kemarin. Ia
menyajikannya sebelum Tala pulang dari rumah Nia teman kelasnya yang sebentar
malam berperan sebagai Maria dalam dramatisasi kitab suci tentang kelahiran
Yesus.

Menjelang gelap, Tala pulang
setengah berlari menemui kakeknya dengan mata berbinar.

”Ini ada kue cucur kesukaanmu,
ada Coca-Cola, dan ayam rebus yang masih panas.”

”Saya mau mandi. Kami kumpul di
rumah Nia, lalu berangkat sama-sama.” Tala meraih handuk dan dalam hitungan tak
sampai 5 menit kembali dengan tubuh belum dilap sempurna.

”Baju Natal…?” tanyanya tak
sabar.

”Mari duduk makan dulu, baru
kakek cerita.”

Wajah Tala sontak berubah.

”Kakek sudah berusaha keras, tapi
tak ada yang beli.”

Tak satu pun kata. Hanya air mata
yang terus jatuh.

Ama Tobi berusaha menemukan
kalimat yang bisa menghentikan kesedihan cucunya.

”Yesus menerima semua yang mau
berteman dengan dia, termasuk yang tak punya baju baru.”

”Tala, Tala, Tala, ayo jalan!”
panggil teman-temannya.

Ama Tobi keluar.

”Kalian jalan lebih dulu. Sedikit
lagi Tala nyusul. Ia masih makan.”

”Cepat, Tala. Jangan lama-lama!
Kami tunggu di gereja ya.”

”Iya, dia nyusul.”

Ama Tobi masuk dan tak melihat
lagi cucunya. Ia menengok ke dalam kamar. Tala membenamkan wajahnya ke bantal.
Sesenggukan menahan isak. Ia berbalik mematung lama menyandarkan bahunya di
pintu kamar yang semakin lapuk kayunya. Diam dan beku.

Di luar sana, dari gereja kor
begitu meriah menyanyikan: Gloria in excelsis Deo. (***)

Lewotala, awal Desember 2020

DAFTAR ISTILAH

Korke: rumah adat kampung

Breun: teman, sahabat dalam
budaya Lamaholot

—

SILVESTER PETARA HURIT. Penulis
adalah pendiri Nara Teater. Bergiat mengembangkan teater dan sastra di Flores
Timur, NTT
.

Desember menyimpan keajaiban. Pohon-pohon yang meranggas mulai
mengeluarkan tunas-tunasnya begitu hujan pertama di akhir November.

—

PEMANDANGAN kuning kecokelatan pada puncak kemarau berubah. Di
Desember pohon-pohon merimbun beraneka warna. Beberapa di antaranya memekarkan
bunga yang indah. Kurun waktu ini disebut: wulan nikat, bulan menanam dalam
penanggalan lokal.

Ada pohon yang nyaris seluruhnya
tampak bunga. Orang-orang hari ini menyebutnya dengan bunga Desember. Ada pula
yang menamainya dengan bunga Natal karena mekar di hari-hari menjelang Natal.
Hampir pasti bahwa di Desember inilah orang-orang Portugis berlayar melintasi
bagian timur Flores dan melihat pemandangan menakjubkan tersebut, lalu
memberinya nama: cabo de flores, tanjung bunga!

Ketika Desember sayuran tumbuh
subur. Padi membiakkan tunasnya. Daun jagung bergoyang-goyang ditiup angin.
Ulat tanah tiba-tiba menjadi begitu banyak yang segera mati menjelma pupuk.
Alam begitu bermurah hati. Tak kalah gembiranya Tala, cucu semata wayang Ama
Tobi. Bahwa sebentar lagi Natal tiba. Pada saat Natal biasanya anak-anak
dibelikan baju, celana, atau sepatu baru. Tak peduli beli di mana atau harganya
berapa. Pokoknya baru. Mengenakan pakaian atau sepatu baru sudah merupakan
kegembiraan dan kemewahan bagi anak-anak kampung. Itulah makna Natal bagi
mereka.

Ama Tobi sangat ingin
menggembirakan cucu laki-lakinya itu. Di Natal ini, ia berniat membeli baju dan
sepatu baru. Tala sudah kehilangan orang tuanya ketika longsor menimbun rumah
mereka di musim hujan tahun lalu. Kini ia hidup dengan kakeknya di gubuk
sederhana tepat di pinggir jalan tak seberapa jauh jaraknya dari gereja.

Mengapa beringin-beringin
ditebang? Ia bukan rumah berhala, pusat sihir, atau santet. Bagi orang
sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi, beringin-beringin itulah yang
menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat menyisakan sedikit keteduhan.
Rembesan air membantu tanaman dari siksa kekeringan.

Bukan hanya tanaman,
binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun tertolong. Mereka punya
peran tersendiri seperti membusukkan sampah tanaman. Ama Tobi sangat percaya
gagal panen dalam tiga tahun terakhir akibat kekeringan, hama padi, ulat yang
mengeroposkan jagung, disusul serangan tikus masih terkait dengan ratusan
beringin yang dimusnahkan tersebut. Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah
yang mendadani serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.

Setelah beringin-beringin itu
ditebang, akarnya tak lagi menyerap air, mencengkeram batu, serta menahan
tanah. Saat hujan lebat longsor datang membuat cucunya kini tak berayah-ibu.
Ama Tobi sudah terlalu tua dan lemah, sedangkan cucunya masih terlalu kecil
untuk menanggung kepedihan hidup. Siapa yang menjaring awan jika pohon-pohon
besar itu sudah tak ada?

***

Para misionaris waktu dulu
menyimpan patung bayi berwarna perak di perahu salah seorang leluhur Ama Tobi
yang bernama Ama Nara saat malam hari. Pagi-pagi ketika hendak melaut, ia
menemukan patung tersebut dan sejumlah patung lainnya dalam perahunya. Ia
mencari barangkali ada orang yang tanpa sengaja telah meninggalkan
patung-patung tersebut. Dalam jarak yang tak terlalu jauh, ia bertemu dengan
dua orang misionaris yang mengatakan bahwa Ama Nara telah menerima berkah yang
luar biasa. Didatangi sendiri oleh sang juru selamat pembawa damai, terang, dan
cinta bagi dunia.

Cerita tentang juru selamat yang
disampaikan kedua misonaris mirip dengan kisah Nogo Letek bagi Ama Nara. Nogo
Letek gadis Lewoangi tiba-tiba hamil tanpa pria. Selama 10 tahun
saudara-saudaranya bertanya, memaksa, bahkan memarahinya, tapi Nogo tak menjawab
siapa pria yang telah menghamilinya. Maka, bersiasatlah saudara-saudaranya
dengan mengundang seluruh pria di wilayah daratan Flores Timur untuk pesta
nyanyian dan tarian adat peresmian korke. Nogo ditugaskan bersama anaknya
melayani tetamu menyuguhkan sirih pinang. Saudara-saudaranya mengangkat sumpah,
jika nanti anak Nogo memeluk kaki seorang pria, dialah ayahnya. Tak ada ampun,
mereka langsung membunuhnya.

Leluhur Ama Tobi dari masa yang
lebih jauh bernama Boki diundang juga ke pesta itu. Pelatin Lela seorang pria
Leworahang menawarkan dirinya untuk ikut serta dengannya. Tak disangka-sangka,
di tengah sukacita tarian dan nyanyian, anak Nogo Letek memeluk kaki Pelatin
Lela. Saudara-saudaranya menghunus parang. Boki minta pertimbangan karena ia
yang membawa Pelatin Lela. Ia mohon mereka dinikahkan. Ia bersedia kembali ke
Lewolema untuk mengambil gading sebagai belisnya.

Baca Juga :  Di Samping Rel Kereta

Setelah kepergian Boki,
saudara-saudara Nogo Letek mengambil kesempatan untuk melampiaskan amarah
mereka. Pelatin diperintahkan bangun korke dalam sehari. Jika tak berhasil, ia
dibunuh. Pelatin Lela menangis bersusah hati. Binatang-binatang hutan datang
bergotong royong membantunya. Saudara-saudara Nogo menuangkan cairan gula tuak
ke laut dan memintanya mengisi kembali ke wadahnya tanpa sedikit pun tercampur
air laut. Kura-kura membantunya melakukan itu. Merasa belum puas, mereka
mencampurkan biji jawawut dengan pasir halus dan meminta Pelatin memisahkannya
dalam waktu singkat. Semut-semut bergotong royong menolongnya.

Ketika Boki tiba dari Lewotala,
dengan berurai air mata Pelatin Lela menceritakan perlakuan mereka atas
dirinya. Boki mencabut parangnya, berdiri di tengah pelataran korke dan
menantang perang. Semua yang berkumpul khawatir jika tantangan itu disambut
saudara-saudara Nogo. Boki adalah pemimpin Lewolema yang memiliki banyak
sekutu, sementara Lewoangi pun demikian.

Melalui negosiasi yang alot,
akhirnya Nogo Letek diikhlaskan mengikuti Pelatin Lela tanpa belis. Belisnya
adalah um baja yang artinya damai dan cinta kasih total: tanpa perang, tanpa
saling berkata kasar, apalagi melukai perasaan. Ini dikukuhkan dengan sumpah
adat dan berlaku sampai turun-temurun.

Ketika rombongan Boki membawa
Pelatin dan istrinya kembali ke Lewolema, hujan dan angin mengiringi mereka.
Binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi restu. Bunga-bunga
mengeluarkan wewangiannya.

Sejak saat itu, ketika di
Lewoangi dan kampung-kampung serumpunnya belum turun hujan, mereka pergi ke
kampung-kampung di Lewolema menari dan menyanyi sepanjang malam mengisahkan
kisah Nogo Letek-Pelatin Lela. Saat mereka pulang, hujan mengikuti dan
menyegarkan ladang-ladangnya. Begitu pun sebaliknya. Pun saat dalam perjalanan
melintasi Lewolema jika haus atau lapar, mereka boleh mengambil hasil kebun
untuk melepaskan lapar dan haus. Orang-orang Lewolema tak boleh melarangnya.
Demikian pun sebaliknya.

Orang-orang umumnya tahu bahwa
Pelatin Lela telah menghamili Nogo Letek dan perkawinan mereka terjadi karena
Pelatin Lela adalah seorang yang sakti. Namun, Boki menyimpan semua rahasia
itu. Bahwa sesungguhnya Nogo Letek hamil tanpa seorang pria dan Pelatin Lela
pun tahu itu. Atas kemurnian hati, ketulusan berkorban demi tak terjadi perang
besar, semesta merestui. Cinta kasih hadir.

Cerita misionaris tentang sang
juru selamat diterima dengan pengertian. Ia yang dikandung ibunya tanpa pria,
yang lahir bercahaya, dikunjungi para raja dari Timur sungguh menarik. Yang
lebih menarik lagi adalah ia raja damai, mengajarkan belas kasih, mencintai
orang kecil dan papa. Maka, Boki menyimpan patung-patung itu bersama
benda-benda pusaka leluhurnya. Mewariskannya kepada keturunannya hingga banyak
yang berpindah tangan karena di masa kemudian keturunannya dianggap
menggabungkan kekatolikan yang luhur dan kekafiran yang menyesatkan. Namun,
sampai generasi Ama Tobi hari ini, kisah itu tetap dirawat. Mereka mencintai
sang juru selamat dengan cara mereka yang khas, merawat ajaran-ajaran sucinya
dalam hidup keseharian yang tak mencolok.

***

Natal tinggal beberapa hari lagi.
Tala selalu bercerita setiap kali ada temannya yang dibelikan baju, celana,
atau sepatu baru. Ama Tobi tahu maksud cucunya itu. Maka, secara diam-diam ia
pergi menawarkan kambing kepada breun-nya Paman Usman di Kampung Baru. Paman
Usman sebenarnya tak terlalu butuh. Tapi, ketika tahu demi baju dan sepatu
Natal untuk sang cucu, Paman Usman langsung membayarnya seharga 350 ribu
rupiah.

Ama Tobi pulang dengan lega.
Sambil menikmati singkong rebus, ia mengajak cucu ke pasar Lamawalang besok. Di
luar rintik sebentar lagi hujan membuat singkong dan kopi terasa lebih nikmat
dari biasanya.

Baca Juga :  Senyum Bagaikan Sendu

”Ama Tobi, Ama, Ama…..” ada suara
memanggil.

Raut muka Ama Tobi tiba-tiba
berubah. Kopi yang tengah diteguknya seperti tak bisa ditelan lagi.

”Mari, Ibu Ana, silakan masuk….”

”Ama Tobi sehat-sehat?”

”Sehat, Ibu.”

”Tala pintar tidak di sekolah?
Sekolah yang rajin supaya bisa jadi Romo Deken atau Bapa Uskup. Tahu tidak?
Kemarin Pak James anggota DPR dapil kita yang di Senayan itu beri hadiah mobil
Fortuner buat Romo Deken!”

Tala mengangguk-angguk.

”Atau seperti ibu ini. Melayani
Tuhan jadi ketua Komunitas Basis. Pak Johan suami ibu yang kepala sekolah itu
menyumbang 100 sak semen buat pembangunan aula paroki.”

Setelah puas memuji-muji diri dan
keluarganya, Ibu Ana mengutarakan maksud kedatangannya.

”Begini, Ama, saya tagih
kewajiban sebagai anggota gereja: iuran wajib 100 ribu, 3 sak semen untuk
pembangunan aula paroki total 150 ribu, sumbangan wajib pembangunan kapel stasi
Philipus 50 ribu, serta derma aksi Natal seikhlasnya sesuai kemampuan. Semua sudah
lunas, hanya Ama yang belum.”

Tanpa suara, Ama Tobi bangun
perlahan-lahan mengambil dari saku bajunya uang hasil penjualan kambing tadi
siang. Dari 350 ribu, 15 ribu sudah dibelikannya ikan dan 15 ribu untuk biaya
ojek tadi. Yang tersisa 320 ribu diserahkannya ke Ibu Ana.

”Terima kasih, Tuhan pasti
menggandakannya berlipat-lipat dan memberkati dengan berkat surgawi dan
duniawi,” katanya sambil pamit.

Ama Tobi terdiam cukup lama, lalu
menghampiri cucunya.

”Jangan sedih, besok kakek jual
lagi yang satunya.”

***

Matahari tepat di ubun kepala.
Belum ada yang membeli kambingnya. Sepanjang dua hari ini Ama Tobi telah
berusaha. Situasi lagi sulit. Tinggal beberapa jam semua toko tutup. Malam ini
malam Natal. Akhirnya dengan nekat ia ke rumah kepala kantor agama. Hanya ada
istrinya. Ama Tobi menawarkan kambingnya. Tapi, istrinya bilang mereka baru
menyumbang 3 juta untuk pesta Natal bersama di lingkungannya. Ia mengambil
sebotol Coca-Cola dan memberikannya kepada Ama Tobi.

Merasa tak ada lagi harapan, Ama
Tobi pulang dan langsung memasak ayam yang sudah ditangkapnya kemarin. Ia
menyajikannya sebelum Tala pulang dari rumah Nia teman kelasnya yang sebentar
malam berperan sebagai Maria dalam dramatisasi kitab suci tentang kelahiran
Yesus.

Menjelang gelap, Tala pulang
setengah berlari menemui kakeknya dengan mata berbinar.

”Ini ada kue cucur kesukaanmu,
ada Coca-Cola, dan ayam rebus yang masih panas.”

”Saya mau mandi. Kami kumpul di
rumah Nia, lalu berangkat sama-sama.” Tala meraih handuk dan dalam hitungan tak
sampai 5 menit kembali dengan tubuh belum dilap sempurna.

”Baju Natal…?” tanyanya tak
sabar.

”Mari duduk makan dulu, baru
kakek cerita.”

Wajah Tala sontak berubah.

”Kakek sudah berusaha keras, tapi
tak ada yang beli.”

Tak satu pun kata. Hanya air mata
yang terus jatuh.

Ama Tobi berusaha menemukan
kalimat yang bisa menghentikan kesedihan cucunya.

”Yesus menerima semua yang mau
berteman dengan dia, termasuk yang tak punya baju baru.”

”Tala, Tala, Tala, ayo jalan!”
panggil teman-temannya.

Ama Tobi keluar.

”Kalian jalan lebih dulu. Sedikit
lagi Tala nyusul. Ia masih makan.”

”Cepat, Tala. Jangan lama-lama!
Kami tunggu di gereja ya.”

”Iya, dia nyusul.”

Ama Tobi masuk dan tak melihat
lagi cucunya. Ia menengok ke dalam kamar. Tala membenamkan wajahnya ke bantal.
Sesenggukan menahan isak. Ia berbalik mematung lama menyandarkan bahunya di
pintu kamar yang semakin lapuk kayunya. Diam dan beku.

Di luar sana, dari gereja kor
begitu meriah menyanyikan: Gloria in excelsis Deo. (***)

Lewotala, awal Desember 2020

DAFTAR ISTILAH

Korke: rumah adat kampung

Breun: teman, sahabat dalam
budaya Lamaholot

—

SILVESTER PETARA HURIT. Penulis
adalah pendiri Nara Teater. Bergiat mengembangkan teater dan sastra di Flores
Timur, NTT
.

Terpopuler

Artikel Terbaru