25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Sajak Angga Trio Sanjaya

Sepanjang Garis Tugu

/1/

Setiap perjalanan membawa hati

Kembali pada kalah

Waktu seakan badai yang tak usai

Di antara rapal tapal

Dan derau lokomotif.

Kau tanya apa yang berbeda

Dari kayuh yang menghafal peta

Mencari alamat rindu

Pintu hati buntu?

Waktu tersungkur dalam kabung

Dalam gerbong luncur jauh dari arah timur

Tampangmu kecut, kau ingat padang Kuruksetra

Sewaktu bheda dan danda menjadi isyarat

Bagi lakon pandawa-korawa dikutuk waktu

”Tapi ini Mataram, tak kenal kutukan,”

Ucapmu bimbang. Berjalan ke utara

Meninggalkan gerbang yang kekal

Di simpang seorang melepas diri

Memanjat tugu

Mencongkel golong-gilik

”Barangkali ia dikirim waktu,” tebakmu lugu.

Di antara gardu kaki lima, barang-barang tua

Patung-patung gerabah juga prasasti-pusaka.

”Tampaknya, dia masa lalu yang dihardik
waktu,”

Saat itu wajahmu tegak

Tapi langit tinggal corak.

 

/2/

 

Di antara hiruk dan hari-hari pugar

Ada yang tak usai bagi kehilangan

Bangku-bangku kosong, rembulan mati

Dan sepi pada lampu-lampu hati

Maka setiap memetik kembang

Di Malioboro suatu era.

Ada hati patah di pangkuannya.

Mengenang kekasih

Menghafal nama gang, nama persimpangan

Baca Juga :  Bibir yang Tercecer

Dengan lidah hanacaraka mencari alamat

Menjejali toko, pasar, terminal

Meraba-raba etalase, gambar-gambar grafiti

Mencari yang tak diketahui, yang lama mati.

”Waktu adalah serangkai babak pada arloji

Dan sesekali seorang kehilangan sepi,”
gumammu abadi

Ketika stasiun risau melepasmu

Ketika Laut, Keraton, dan Merapi terbelah

Oleh gerbong-gerbong waktu.

Jejak Imaji, 2020

 

—

 

Ngobaran

Ingin kudengar suaramu lewat gelombang. Ingin
kudengar suaramu

Ketika angin berembus menggiring tongkang
waktu ke tepian.

Sepertimu, Ngobaran menyeret siapa pun pada
kefanaan

Ketika waktu bagaikan jarak merentangkan
gaduh

dan kehampaan pada hidup yang kalah

Mungkin seseorang pernah tergerus di sini.
Sepanjang hamparan pasir

Yang tak lagi menyimpan apa-apa. Mungkin
bertahun silam

Ada yang dipatahkan kelam, raga yang menjelma
bayang

dan lenyap dalam arus

Maka ingin kudengar arus itu, sebab kutahu
gairah takkan tenggelam

Ingin kudengar arah angin dan kebajikan.
Ingin kudengar namamu

Yang berkali-kali dilabuhkan sunyi. Ketika
seseorang mematikkan

Nyala kobar dan membakar jiwa dengan api

Pantai Ngobaran, 2015–2020

 

—

 

Ongkowijoyo

Sunyi menderu dalam kerasnya rindu

Menjejaki tanah batu meniti kesementaraan
waktu

Baca Juga :  Care Because of Love

Sepanjang pendakian mengusung hati yang
gelisah dilecut musim

Keletihan inikah yang menggiring duka pada
kesepian purba

Memaknai langkah-langkah gunung,
lembah-lembah agung

Di sini deru berlalu ke arah telaga wungu

Di mana ribuan wahyu bersemedi, di mana
tangan-tangan sunyi

Menjelma bidari, mengusap jiwa dan panas
ubun-ubun bumi

Di sinikah namamu bersembunyi, menjelma kubur
prasasti

Perlahan kusibak kabut, kulucuti dendam dan
benci

Dari lengkung dadaku yang kelam dan kemarau

Kurenangi sendang, kuilhami makna comberan

Berteguk-teguk mimpi mengalir ke ceruk
sanubari

O, betapa luas padangmu Ongkowijoyo

Berhektare-hektare riwayat tenggelam dalam
bokor kencono

Menarik diri, menyapa biru semesta

Bila namamu kusebut di sini, langit sebentar
luruh

Laut mendadak tumpah, bumi jiwamu tiba
bergetar dan patah

Dengan jiwa tengadah dan hati tunduk pasrah

Kugenggam erat tanganmu yang menjulur dari
lorong waktu

Kurasakan kebekuan, kurasakan dinginnya
pertemuan

Betapa musim memisahkan bumi dan anak-anak
zaman.

Nglanggeran, 2015–2020

 

—

 

ANGGA TRIO SANJAYA

 

Lahir di Wonosari, Gunungkidul, pada 7 Juni
1991. Bergiat di komunitas ”Jejak Imaji” Jogjakarta. Mengajar di SMP
Muhammadiyah 1 Gamping.

Sepanjang Garis Tugu

/1/

Setiap perjalanan membawa hati

Kembali pada kalah

Waktu seakan badai yang tak usai

Di antara rapal tapal

Dan derau lokomotif.

Kau tanya apa yang berbeda

Dari kayuh yang menghafal peta

Mencari alamat rindu

Pintu hati buntu?

Waktu tersungkur dalam kabung

Dalam gerbong luncur jauh dari arah timur

Tampangmu kecut, kau ingat padang Kuruksetra

Sewaktu bheda dan danda menjadi isyarat

Bagi lakon pandawa-korawa dikutuk waktu

”Tapi ini Mataram, tak kenal kutukan,”

Ucapmu bimbang. Berjalan ke utara

Meninggalkan gerbang yang kekal

Di simpang seorang melepas diri

Memanjat tugu

Mencongkel golong-gilik

”Barangkali ia dikirim waktu,” tebakmu lugu.

Di antara gardu kaki lima, barang-barang tua

Patung-patung gerabah juga prasasti-pusaka.

”Tampaknya, dia masa lalu yang dihardik
waktu,”

Saat itu wajahmu tegak

Tapi langit tinggal corak.

 

/2/

 

Di antara hiruk dan hari-hari pugar

Ada yang tak usai bagi kehilangan

Bangku-bangku kosong, rembulan mati

Dan sepi pada lampu-lampu hati

Maka setiap memetik kembang

Di Malioboro suatu era.

Ada hati patah di pangkuannya.

Mengenang kekasih

Menghafal nama gang, nama persimpangan

Baca Juga :  Bibir yang Tercecer

Dengan lidah hanacaraka mencari alamat

Menjejali toko, pasar, terminal

Meraba-raba etalase, gambar-gambar grafiti

Mencari yang tak diketahui, yang lama mati.

”Waktu adalah serangkai babak pada arloji

Dan sesekali seorang kehilangan sepi,”
gumammu abadi

Ketika stasiun risau melepasmu

Ketika Laut, Keraton, dan Merapi terbelah

Oleh gerbong-gerbong waktu.

Jejak Imaji, 2020

 

—

 

Ngobaran

Ingin kudengar suaramu lewat gelombang. Ingin
kudengar suaramu

Ketika angin berembus menggiring tongkang
waktu ke tepian.

Sepertimu, Ngobaran menyeret siapa pun pada
kefanaan

Ketika waktu bagaikan jarak merentangkan
gaduh

dan kehampaan pada hidup yang kalah

Mungkin seseorang pernah tergerus di sini.
Sepanjang hamparan pasir

Yang tak lagi menyimpan apa-apa. Mungkin
bertahun silam

Ada yang dipatahkan kelam, raga yang menjelma
bayang

dan lenyap dalam arus

Maka ingin kudengar arus itu, sebab kutahu
gairah takkan tenggelam

Ingin kudengar arah angin dan kebajikan.
Ingin kudengar namamu

Yang berkali-kali dilabuhkan sunyi. Ketika
seseorang mematikkan

Nyala kobar dan membakar jiwa dengan api

Pantai Ngobaran, 2015–2020

 

—

 

Ongkowijoyo

Sunyi menderu dalam kerasnya rindu

Menjejaki tanah batu meniti kesementaraan
waktu

Baca Juga :  Care Because of Love

Sepanjang pendakian mengusung hati yang
gelisah dilecut musim

Keletihan inikah yang menggiring duka pada
kesepian purba

Memaknai langkah-langkah gunung,
lembah-lembah agung

Di sini deru berlalu ke arah telaga wungu

Di mana ribuan wahyu bersemedi, di mana
tangan-tangan sunyi

Menjelma bidari, mengusap jiwa dan panas
ubun-ubun bumi

Di sinikah namamu bersembunyi, menjelma kubur
prasasti

Perlahan kusibak kabut, kulucuti dendam dan
benci

Dari lengkung dadaku yang kelam dan kemarau

Kurenangi sendang, kuilhami makna comberan

Berteguk-teguk mimpi mengalir ke ceruk
sanubari

O, betapa luas padangmu Ongkowijoyo

Berhektare-hektare riwayat tenggelam dalam
bokor kencono

Menarik diri, menyapa biru semesta

Bila namamu kusebut di sini, langit sebentar
luruh

Laut mendadak tumpah, bumi jiwamu tiba
bergetar dan patah

Dengan jiwa tengadah dan hati tunduk pasrah

Kugenggam erat tanganmu yang menjulur dari
lorong waktu

Kurasakan kebekuan, kurasakan dinginnya
pertemuan

Betapa musim memisahkan bumi dan anak-anak
zaman.

Nglanggeran, 2015–2020

 

—

 

ANGGA TRIO SANJAYA

 

Lahir di Wonosari, Gunungkidul, pada 7 Juni
1991. Bergiat di komunitas ”Jejak Imaji” Jogjakarta. Mengajar di SMP
Muhammadiyah 1 Gamping.

Terpopuler

Artikel Terbaru