33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Care Because of Love

PROKALTENG.CO Cuaca yang
sangat terik, bersama dengan para pengemudi dan pengendara yang berhenti di
depan lampu lalu lintas. Anak-anak jalanan yang membawa kemoceng untuk
membersihkan mobil-mobil mereka. Anak-anak malang yang berharap di beri uang
imbalan, tapi hanya satu dua orang yang peduli dengan yang mereka perbuat.

Seorang ibu yang menggendong
anaknya sambil mengemis. Kurasa memang tak ada pilihan lain bagi ibu itu
sehingga harus membawa anaknya yang tidak tahu apa-apa untuk mengemis di tengah
panasnya perkotaan. Mobilku berhenti, tepat di depan sebuah taman di samping
lampu lalu lintas.

15 tahun berlalu sebelum aku
kembali ke jalan yang satu ini. Melihat anak-anak dan ibu yang tadi,
mengingatkanku atas diriku dulu sebelum menjadi seorang dokter. Siapa yang
peduli dengan diriku yang dulu? Bocah kotor yang bahkan bajunya hanya satu,
bersama sahabatku Mala yang selalu membawa botol bekas diisi pasir untuk
mengamen.

Ia memiliki impian sederhana
untuk bertemu ibunya yang dulu terpisah karena mengamen sewaktu kecil.
Sedangkan Ibuku, ia meninggal disaat umurku 7 tahun, dan ayahku entah kemana.
Mala juga ingin sekali besekolah di luar negeri, hanya Mala yang menjadi teman
sekaligus keluargaku pada saat itu. Sayangnya suatu ketika, Mala tertabrak
mobil, dan pelakunya kabur. Jangankan membawanya ke rumah sakit, aku sudah
mati-matian berteriak untuk meminta bantuan, tapi pengguna jalan hanya melihatku
tanpa rasa iba sedikitpun.

Kemudian, seorang pengendara
motor berhenti di depan kami. Ia bebicara dengan seseorang dibalik telpon itu.
Tak lama ambulance datang menghampiri kami. Saat sampai di rumah sakit, sayang,
Mala tak dapat di tolong lagi. Ia kehilangan banyak darah karena kepalanya
terbentur dengan keras. Andai saja ada yang peduli dengan kami lebih awal,
mungkin sahabatku masih bisa bersamaku. Pak Dimas, ia adalah seorang dokter
sekaligus pengendara motor yang sebelumnya menolong kami. Meski nyawa Mala tak
terselamatkan, aku tetap berterimakasih kepadanya yang memiliki hati layaknya
malaikat penolong.

Setelah kepergian Mala, aku tak
punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada lagi yang menemaniku untuk mengamen, tak
akan ada lagi senyum ceria sahabatku yang membuatku semangat setelah lelah
mengamen seharian. Kenapa bukan aku saja yang diambil duluan? Setidaknya aku
bisa bertemu dengan ibuku. Mengapa Mala? Ia punya impian, sedangkan aku? Makan
sehari sekali saja sudah sangat bersyukur.

Baca Juga :  Penyesalan Doa

Melihat kondisiku yang sebatang
kara tanpa tujuan, Pak Dimas memutuskan untuk mengadopsiku, ia tidak punya anak
selama 10 tahun pernikahannya. Aku tentu sangat bahagia, tetapi seandainya Mala
masih bersamaku, aku pasti lebih bahagia. Istri Pak Dimas yaitu Bu Ayu juga
sangat baik terhadapku, aku bersyukur masuk di keluarga yang lumayan berada,
dan peduli terhadap sesama.

Hari, bulan, tahun. Sudah kulalui
bersama keluarga ini. Saat lulus SMA, aku diterima di sebuah universitas di
Inggris. 4,5 tahun berkuliah dan jauh dari rumah, aku akhirnya lulus sebagai
mahasiswi bernilai ‘Cumlaude’. Orangtua angkatku sangat bangga terhadapku,
mereka telah mendukungku sampai sejauh ini. Aku yakin, Mala juga pasti sangat
bahagia melihat hal yang dulu ia impikan, sekarang telah kudapatkan untuknya,
yaitu bersekolah di luar negeri. Dan di sinilah aku sekarang, duduk di sebuah
taman, mengenang perjalanan hidupku.

Aku duduk bercerita dan
mendengarkan cerita bersama anak-anak jalanan yang malang ini. Serasa melihat
diriku yang dulu. Aku mengajak mereka ke panti asuhan yang telah dibangun ayah
angkatku tiga tahun yang lalu, dan tentu mereka mau, lalu bersorak bahagia.
Setelah sampai di panti asuhan, mereka amat gembira, membayangkan akan sekolah,
makan setiap hari, dan akan mendapatkan banyak teman. Pikiran polos yang
dulunya pernah kumiliki saat diangkat sebagai anak oleh Pak Dimas.

Kemudian, aku kembali ke jalan di
mana aku melihat seorang ibu dengan anak kecil yang ia gendong saat mengamen.
“Bu, ikut dengan saya yah” ujarku sambil membukakan pintu mobilku untuknya.

Aku membawa Ibu itu ke rumahku,
rumah yang kubangun sendiri dengan penghasilanku. Ibu Rum namanya, matanya
berbinar saat aku memberikannya tugas untuk menjadi asisten rumah tangga di
rumahku, dan tentunya tak lupa aku telah berjanji padanya bahwa biaya
pendidikan anaknya akan kutanggung hingga ia kuliah. Bu Rum sangat bersyukur,
bahkan ia bersujud di depanku. Aku memeluknya dengan sangat erat. Ia sudah lama
mencari pekerjaan, tapi apalah daya bagi ia yang hanya lulusan SMP.

Baca Juga :  Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

Sudah sebulan Bu Rum bekerja
denganku. Saat kuberi uang gaji, dia langsung buru-buru ke pasar dan membeli
banyak bahan makanan. Aku heran, padahal tak ada acara di rumah ini. Siapa
sangka, Ibu Rum yang dulunya hanya pengamen, yang kini menjadi asisten rumah
tanggaku, memiliki hati yang besar. Gaji pertamanya ia putuskan untuk memasak
banyak makanan, lalu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, terkhusus
anak jalanan.

Sungguh hati yang mulia. Setelah
menyiapkan seluruh makanan dalam bentuk kotak, aku menemani Ibu Rum untuk
membagikan makanan. Ketulusan Bu Rum dapat kulihat jelas hari ini, tangan yang
dulu kugunakan untuk membuka pintu mobil agar ia ikut denganku, sekarang
berpindah alih ke tangan Bu Rum yang mengulurkan nasi kotak kepada mereka yang
membutuhkan. Senyuman mereka benar-benar memancarkan kebahagiaan. Rasa
bersyukur dapat kulihat dari mata mereka.

Begitulah sebuah cinta pada
hakikatnya, sebuah ketulusan yang berawal dari hati, sulit diungkapkan dengan
kata tapi bisa diutarakan oleh sebuah perbuatan kecil. Aku banyak belajar dari
kisahku sendiri. Aku mengerti bahwa, cinta tak selamanya tentang pasangan yang
saling mengungkapkan “I Love You.”

Cinta juga bisa hadir dari orang
yang tidak kau kenali, lalu bertebaran dari tangan ke tangan, seperti Pak Dimas
dan Bu Ayu, begitu juga Mala yang menyemangati hari-hariku, rasa bersyukur yang
dapat kulihat dari mata Anak-anak jalanan dan Bu Rum. Aku tahu, Allah punya
banyak jalan tentang kehidupan manusia, dan tugas kita, bukan hanya berjalan di
jalan Allah tapi menyebarkan cinta dan anugerah yang telah Allah SWT berikan
kepada kita dalam bentuk kepedulian terhadap sesama. (*)

(ULFA LUTFIAH ROSYIFAH. Siswi SMAN
12 Makassar IG: @ulfaltf19)

PROKALTENG.CO Cuaca yang
sangat terik, bersama dengan para pengemudi dan pengendara yang berhenti di
depan lampu lalu lintas. Anak-anak jalanan yang membawa kemoceng untuk
membersihkan mobil-mobil mereka. Anak-anak malang yang berharap di beri uang
imbalan, tapi hanya satu dua orang yang peduli dengan yang mereka perbuat.

Seorang ibu yang menggendong
anaknya sambil mengemis. Kurasa memang tak ada pilihan lain bagi ibu itu
sehingga harus membawa anaknya yang tidak tahu apa-apa untuk mengemis di tengah
panasnya perkotaan. Mobilku berhenti, tepat di depan sebuah taman di samping
lampu lalu lintas.

15 tahun berlalu sebelum aku
kembali ke jalan yang satu ini. Melihat anak-anak dan ibu yang tadi,
mengingatkanku atas diriku dulu sebelum menjadi seorang dokter. Siapa yang
peduli dengan diriku yang dulu? Bocah kotor yang bahkan bajunya hanya satu,
bersama sahabatku Mala yang selalu membawa botol bekas diisi pasir untuk
mengamen.

Ia memiliki impian sederhana
untuk bertemu ibunya yang dulu terpisah karena mengamen sewaktu kecil.
Sedangkan Ibuku, ia meninggal disaat umurku 7 tahun, dan ayahku entah kemana.
Mala juga ingin sekali besekolah di luar negeri, hanya Mala yang menjadi teman
sekaligus keluargaku pada saat itu. Sayangnya suatu ketika, Mala tertabrak
mobil, dan pelakunya kabur. Jangankan membawanya ke rumah sakit, aku sudah
mati-matian berteriak untuk meminta bantuan, tapi pengguna jalan hanya melihatku
tanpa rasa iba sedikitpun.

Kemudian, seorang pengendara
motor berhenti di depan kami. Ia bebicara dengan seseorang dibalik telpon itu.
Tak lama ambulance datang menghampiri kami. Saat sampai di rumah sakit, sayang,
Mala tak dapat di tolong lagi. Ia kehilangan banyak darah karena kepalanya
terbentur dengan keras. Andai saja ada yang peduli dengan kami lebih awal,
mungkin sahabatku masih bisa bersamaku. Pak Dimas, ia adalah seorang dokter
sekaligus pengendara motor yang sebelumnya menolong kami. Meski nyawa Mala tak
terselamatkan, aku tetap berterimakasih kepadanya yang memiliki hati layaknya
malaikat penolong.

Setelah kepergian Mala, aku tak
punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada lagi yang menemaniku untuk mengamen, tak
akan ada lagi senyum ceria sahabatku yang membuatku semangat setelah lelah
mengamen seharian. Kenapa bukan aku saja yang diambil duluan? Setidaknya aku
bisa bertemu dengan ibuku. Mengapa Mala? Ia punya impian, sedangkan aku? Makan
sehari sekali saja sudah sangat bersyukur.

Baca Juga :  Penyesalan Doa

Melihat kondisiku yang sebatang
kara tanpa tujuan, Pak Dimas memutuskan untuk mengadopsiku, ia tidak punya anak
selama 10 tahun pernikahannya. Aku tentu sangat bahagia, tetapi seandainya Mala
masih bersamaku, aku pasti lebih bahagia. Istri Pak Dimas yaitu Bu Ayu juga
sangat baik terhadapku, aku bersyukur masuk di keluarga yang lumayan berada,
dan peduli terhadap sesama.

Hari, bulan, tahun. Sudah kulalui
bersama keluarga ini. Saat lulus SMA, aku diterima di sebuah universitas di
Inggris. 4,5 tahun berkuliah dan jauh dari rumah, aku akhirnya lulus sebagai
mahasiswi bernilai ‘Cumlaude’. Orangtua angkatku sangat bangga terhadapku,
mereka telah mendukungku sampai sejauh ini. Aku yakin, Mala juga pasti sangat
bahagia melihat hal yang dulu ia impikan, sekarang telah kudapatkan untuknya,
yaitu bersekolah di luar negeri. Dan di sinilah aku sekarang, duduk di sebuah
taman, mengenang perjalanan hidupku.

Aku duduk bercerita dan
mendengarkan cerita bersama anak-anak jalanan yang malang ini. Serasa melihat
diriku yang dulu. Aku mengajak mereka ke panti asuhan yang telah dibangun ayah
angkatku tiga tahun yang lalu, dan tentu mereka mau, lalu bersorak bahagia.
Setelah sampai di panti asuhan, mereka amat gembira, membayangkan akan sekolah,
makan setiap hari, dan akan mendapatkan banyak teman. Pikiran polos yang
dulunya pernah kumiliki saat diangkat sebagai anak oleh Pak Dimas.

Kemudian, aku kembali ke jalan di
mana aku melihat seorang ibu dengan anak kecil yang ia gendong saat mengamen.
“Bu, ikut dengan saya yah” ujarku sambil membukakan pintu mobilku untuknya.

Aku membawa Ibu itu ke rumahku,
rumah yang kubangun sendiri dengan penghasilanku. Ibu Rum namanya, matanya
berbinar saat aku memberikannya tugas untuk menjadi asisten rumah tangga di
rumahku, dan tentunya tak lupa aku telah berjanji padanya bahwa biaya
pendidikan anaknya akan kutanggung hingga ia kuliah. Bu Rum sangat bersyukur,
bahkan ia bersujud di depanku. Aku memeluknya dengan sangat erat. Ia sudah lama
mencari pekerjaan, tapi apalah daya bagi ia yang hanya lulusan SMP.

Baca Juga :  Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

Sudah sebulan Bu Rum bekerja
denganku. Saat kuberi uang gaji, dia langsung buru-buru ke pasar dan membeli
banyak bahan makanan. Aku heran, padahal tak ada acara di rumah ini. Siapa
sangka, Ibu Rum yang dulunya hanya pengamen, yang kini menjadi asisten rumah
tanggaku, memiliki hati yang besar. Gaji pertamanya ia putuskan untuk memasak
banyak makanan, lalu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, terkhusus
anak jalanan.

Sungguh hati yang mulia. Setelah
menyiapkan seluruh makanan dalam bentuk kotak, aku menemani Ibu Rum untuk
membagikan makanan. Ketulusan Bu Rum dapat kulihat jelas hari ini, tangan yang
dulu kugunakan untuk membuka pintu mobil agar ia ikut denganku, sekarang
berpindah alih ke tangan Bu Rum yang mengulurkan nasi kotak kepada mereka yang
membutuhkan. Senyuman mereka benar-benar memancarkan kebahagiaan. Rasa
bersyukur dapat kulihat dari mata mereka.

Begitulah sebuah cinta pada
hakikatnya, sebuah ketulusan yang berawal dari hati, sulit diungkapkan dengan
kata tapi bisa diutarakan oleh sebuah perbuatan kecil. Aku banyak belajar dari
kisahku sendiri. Aku mengerti bahwa, cinta tak selamanya tentang pasangan yang
saling mengungkapkan “I Love You.”

Cinta juga bisa hadir dari orang
yang tidak kau kenali, lalu bertebaran dari tangan ke tangan, seperti Pak Dimas
dan Bu Ayu, begitu juga Mala yang menyemangati hari-hariku, rasa bersyukur yang
dapat kulihat dari mata Anak-anak jalanan dan Bu Rum. Aku tahu, Allah punya
banyak jalan tentang kehidupan manusia, dan tugas kita, bukan hanya berjalan di
jalan Allah tapi menyebarkan cinta dan anugerah yang telah Allah SWT berikan
kepada kita dalam bentuk kepedulian terhadap sesama. (*)

(ULFA LUTFIAH ROSYIFAH. Siswi SMAN
12 Makassar IG: @ulfaltf19)

Terpopuler

Artikel Terbaru