—
RAMBUT Karto kusut, wajah muram, mata merah, tulang pipi semakin menonjol, akibat mabuk dan kalah judi semalam, juga malam sebelumnya, dan malam-malam sebelumnya lagi. Hari ini dia ingin tenang sebentar, tanpa dirusuhi keributan tangis bayinya.
Dia sengaja menghindar dan berdiam di depan rumah untuk mengabaikan istri dan bayinya yang menyebalkan itu. Karto muncul di teras rumah mungilnya sambil bergumam kesal, ”Bayi sialan. Kenapa rewel terus?!”
Sejenak mata merahnya agak sulit memandang sekeliling oleh teriknya cahaya matahari menjelang siang. Dari balik jalan yang terhalang menara masjid, muncul Ratmi, pelacur yang sudah sepasar pulang dari kota.
Perempuan itu tampak semakin menarik, semakin muda, rambut pirang tersemir, baju kaus sempit, dan celana pendek yang memamerkan paha mulusnya. Seingatnya dulu, dada di balik kaus sempit itu tidak semenonjol sekarang.
Tanpa terduga, Pak Tumin, imam masjid, yang begitu melihat Ratmi segera menyongsong dengan langkah cepat dan tubuh agak membungkuk, lalu menyalami pelacur itu dengan takzim.
Imam masjid begitu menghormati Ratmi, melebihi penghargaannya terhadap kiai-kiai pondok yang pernah berkunjung ke sana dan membuat kas masjid banyak berkurang.
Penduduk desa yang sehari-hari banyak terbenam dalam berbagai jenis perjudian, mabuk, dan sibuk mengurus ayam aduan secara tulus begitu menghargai Ratmi yang setiap kali pulang dari kota selalu memberikan jutaan uang untuk pembangunan Masjid Ar-Rahman.
Juga membagikan oleh-oleh untuk tetangga, dan uang jajan untuk anak-anak yang ditemuinya di jalan. Dia baik sekali, dermawan, dan cantik.
Ketika dua orang itu pergi –seperti sepasang manusia yang sepakat menuju rumah bordil– kekalahan judi slotnya semalam muncul lagi yang membuat hati dan pikiran Karto rusuh.
Ditambah lagi pekikan bayi yang membuatnya ingin cepat-cepat masuk untuk menampar istri dan mencekik bayinya. Suara istrinya yang berusaha mendiamkan bayi itu juga mengandung kekuatan hitam yang menusuk-nusuk gendang telinganya.
”Apa sudah kau usapkan apemmu ke kepalanya?” tanya Karto menahan amarah.
”Sudah berkali-kali, Mas!” dengus Sumini, istrinya.
”Kenapa masih saja rewel?”
”Mana aku tahu!”
”Coba kau usapkan lagi.”
”Pegang sebentar!” Sumini mengacungkan bayinya yang langsung disambut Karto dengan sungkan.
Tangan Sumini langsung menyingkap rok, meraba selangkanya, lalu telapak tangan bekas rabaan itu diusapkan ke kepala bayinya. Itu diyakini sebagian orang Jawa bisa mengatasi bayi rewel.
”Kenapa bau kepala anak ini pesing sekali?”
”Mana aku tahu!”
Tangisan heboh bayi itu bagaikan berasal dari rumah hantu, sekalipun rumah itu berada di lingkungan agak ramai. Kesan suram itu karena letak rumah itu sesungguhnya agak menjorok ke belakang, seperti sengaja memisahkan diri dari masjid dan warung kecil Marti.
Memang rumah kayu itu peninggalan ayah dan ibu Karto yang meninggal hampir bersamaan. Keduanya meninggal dengan usus membusuk karena banyak menenggak bir dan tuak. Dulu, semasa keduanya masih hidup, hampir tidak ada hari tanpa mabuk.
Karto sebagai ahli waris tunggal tetap tinggal di rumah tua itu yang tanpa perubahan hingga uban bermunculan di antara rambut tipisnya.
Sebelum usianya benar-benar beranjak tua melewati batas empat puluhan, Karto mengawini Sumini, perempuan tiga puluhan, yang berkali-kali gagal menikah. Sumini juga bukan perempuan cantik, seperti Karto juga yang tidak bisa dibilang tampan. Keduanya memiliki kesamaan; sama-sama memiliki kulit gelap dan hidung cukup pesek.
Setelah dua tahun kawin yang terkesan seperti main-main, akhirnya perut Sumini gendut dan melahirkan bayi laki-laki berhidung pesek. Bayi yang sekarang berusia tiga bulan itu rewel terus siang dan malam.
Dukun bayi dan beberapa orang tua menyuruh Sumini membelai ubun-ubun bayinya dengan tangan yang sebelumnya telah memegang bagian bawah tubuhnya. Maka hanya itu cara satu-satunya yang bisa dilakukan Sumini berkali-kali saat bayinya rewel.
Ketika akhirnya bayi itu diam saat diteteki Sumini, dengan pikiran kusut, Karto –sambil mencengkeram kuat gadget– bergegas ke warung Marti.
Tidak jauh dari situ, gadis kurus empat tahunan, mengangkat roknya tinggi-tinggi, tanpa celana, bangkit berdiri dari jongkoknya, berteriak-teriak memanggil Marti. Tinjanya sudah sedari tadi tidak bisa keluar.
Lima ekor ayam –di antaranya seekor jantan sangat kurus– mengerubunginya, seperti tidak sabar menunggu kotoran anak itu yang tidak kunjung keluar.
Tiga orang lelaki muncul dari arah berbeda, sama-sama menuju warung kecil Marti. Ketiganya sama-sama terhenti di jalan dekat anak gadis yang sedang mengejan itu, saat tinja kuning kerasnya menyembul dari pantat yang langsung dipatuk dan ditarik ayam jantan. Kotoran itu akhirnya keluar juga dengan bantuan ayam, dan kemudian menjadi rebutan ayam-ayam betina.
Ketiga lelaki itu terpana sebentar, kemudian tertawa-tawa, dan melangkah sambil melontarkan percakapan sampai tiba di bangku panjang warung, tanpa peduli pada Karto yang sedang memelototi layar gadgetnya yang tampak buram dan kusam.
”Sekarang aku percaya apa kata temanku,” ucap salah seorang sambil membenahi posisi duduknya.
”Memangnya apa kata temanmu?”
”Bos kita yang jadi orang nomor satu itu.”
”Memangnya kenapa?”
”Kau lihat bagaimana badan kurusnya yang tidak bisa gemuk?”
”Iya. Dia seperti kurang gizi sejak lahir.”
”Nah, dulu, waktu kecil, dia juga sulit ngising!”
”Masak?”
”Ngisingnya itu sering dibantu, ditarik ayam! Hahaha….”
”Hahaha….”
Gelak tawa pun pecah. Karto yang selama ini tidak bisa tertawa akhirnya ikut tertawa juga. Menurut keterangan saksi, itu adalah tawa Karto yang terakhir.
***
Warung Marti, walaupun sepi, sebetulnya tidak pernah betul-betul sepi. Selalu saja ada orang yang ngopi sambil sarapan atau makan gorengan dan sejumlah jajanan lain. Pagi hari lebih banyak lelaki usia lima puluhan ke atas yang datang dan sarapan tergesa-gesa sebelum berangkat ke alas dan sawah.
Menjelang siang, lelaki di bawah lima puluhan –seperti Karto– muncul dengan gadget untuk berleha-leha sambil ngopi dan bersemangat main dan mengobrolkan judi slot, togel, sabung ayam, bir, tuak, dan gendak.
Mereka memiliki gadget masing-masing yang berbeda satu sama lain; umumnya sama-sama tua, lecet, terkelupas, bahkan ada yang layarnya lepas dan terpaksa diikat karet gelang. Mereka mengobrol soal menang dan kalah sambil tertawa, dan kadang sedih. Jarang sekali ada yang menang. Walaupun jarang ada yang menang, mereka lebih banyak tertawa. Dan, mereka terus mengobrol sampai kerak kopi mengeras dan kering di pantat gelas.
Obrolan terhenti sebentar saat Mbah Min muncul di masjid, terbungkuk-bungkuk dan tertatih-tatih mencengkeram tongkat kayunya untuk mengumandangkan azan Duhur dengan getaran vibra orang yang sebelah kakinya tersuruk ke lubang kubur. Sering sekali saat Mbah Min melantunkan azan, tiba-tiba terdengar entakan musik dangdut yang mengalahkan lantunan azan yang merenyuhkan dan meremukkan hati itu.
”Suaranya makin lemah,” ucap seseorang di warung Marti.
”Sepertinya tidak lama lagi.”
”Miripnya sudah dekat.”
”Paling juga lusa lewat.”
Tidak ada seorang pun di warung –termasuk Karto– atau di mana pun di desa itu yang tergerak untuk salat ke masjid. Bahkan, ada lelaki yang sebelumnya duduk di tangga masjid, begitu Pak Tumin, imam masjid itu, datang, dia cepat-cepat berjalan ke warung Marti. Jadi, yang melaksanakan salat berjemaah di masjid itu cuma imam dan muazin.
***
Walau bagaimanapun, desa ini begitu damai dengan masjid lumayan bagus. Tidak ada kasus pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pencurian, dan kejahatan lainnya. Penduduk yakin, desa ini dijaga ketat makhluk halus dan arwah para leluhur.
Setiap tahun pada bulan Sura mereka menyembelih kambing jantan sebagai tumbal yang kepalanya ditanam di tugu tengah desa, sedangkan kakinya ditanam di empat penjuru desa.
Masjid memang sepi, tetapi pekarangannya kerap ramai dan semarak, terutama saat sabung ayam diadakan. Mereka minum bir. Terdengar sorakan dan teriakan ramai dan nyaring. Semua mata menjurus pada dua ekor ayam di arena yang sedang bertarung mati-matian.
Termasuk Karto yang berkali-kali menghela tangan Sumini yang menarik-narik bajunya. Sumini sudah tidak sanggup lagi menahan diri terhadap kelakuan Karto yang semakin gila dan terus-terusan bertaruh tanpa peduli apa pun lagi.
”Aduh, Sum, jangan sekarang. Jangan bertengkar di sini. Kau buat aku malu di depan orang-orang!”
”Telek! Kau mengambil semua uangku. Mana uang hasil cucianku? Ayo kembalikan!”
”Diamlah kau, Sum! Nanti aku pulangkan semuanya, kutambah bunga lagi. Akan kubayar semua utang-utangku. Percayalah!”
”Telek! Utangmu sama orang-orang cukup banyak. Aku tidak tahan kau juga mengambil uangku!”
”Percayalah. Aku akan menang. Akan kukembalikan semuanya!”
”Telek! Kau selalu bilang begitu. Kau selalu bilang menang. Nyatanya kau kalah terus. Aku tidak percaya. Dan, aku tidak akan pernah percaya! Telek!”
”Aduh, Sum. Untuk kali ini saja, percayalah. Doakan agar aku menang!”
”Telek! Aku tidak mau percaya!”
”Kali ini saja.”
”Telek! Aku tidak tahan! Aku akan pergi. Kudoakan kau kalah terus dan mampus!”
”Tolong, Sum, kali ini saja!”
”Telek! Telek! Telek!”
Beberapa orang dekat situ memperhatikan pertengkaran mereka sesaat, lalu kembali tidak peduli seperti lainnya yang lebih tertarik memperhatikan dua ekor ayam yang sedang saling menyerang di arena pertarungan. Sorak dan teriakan ramai pecah, berlanjut gelak tawa, dan selintas pikik makian.
Di tengah-tengah semaraknya suasana, tiba-tiba terdengar letusan tembakan pistol, Dor! dor! dor! Seketika segerombolan polisi yang layaknya perampok mengepung tempat itu. Mereka tersentak, kalang kabut, dan kocar-kacir berlarian. Sebagian besar orang meloloskan, hanya sekitar tiga puluhan yang tertangkap, termasuk Karto.
Selain menangkap orang, kawanan polisi itu juga menangkap sejumlah ayam, mengumpulkan jutaan uang taruhan, semuanya diangkut dalam dua bak mobil polisi yang terparkir di halaman masjid. Orang-orang desa yang kumuh itu berdesakan di ruang bak mobil yang sangat sempit seperti hewan patuh yang hendak disembelih.
Selepas orang-orang itu diangkut ke kantor polisi, halaman masjid dan warung Marti sangat sepi. Cuma Ratmi, pelacur itu, sendirian duduk di bangku warung menunggu bus jemputan. Tidak berapa lama muncul tiga lelaki hampir bersamaan, yang tadinya berhasil lolos dari kepungan polisi.
”Mau ke mana, Mbak?” tanya salah seorang di antara lelaki itu, seolah-olah tadinya tidak pernah terjadi apa-apa.
”Mau balik kerja, Mas,” jawabnya dengan senyum. Senyumnya biasa saja, tetapi menggoda. Senyum yang bikin hati lelaki bergetar.
”Biar aku antar saja, Mbak.”
”Tidak usah, Mas. Sebentar lagi juga jemputannya datang.”
”Oh,” dia cuma bisa mendengus.
”Oya, Mas, kenapa mereka sampai ditangkapi polisi?”
”Polisinya tidak disanguni, Mbak.”
”Biayanya disaguni?”
”Iya, biasanya disanguni. Kalau disanguni, mereka enggak mau nangkap.”
”Oh.”
***
Sorenya, Karto –dan sejumlah penduduk yang ditangkap polisi– pulang dari kota kecamatan belasan kilometer dengan jalan kaki. Mereka dilepas karena ruang tahanan kantor polisi tidak muat untuk mengurung begitu banyak manusia. Lagi pula para polisi tidak mau kerepotan mengurus dan memberi makan tiga puluhan lelaki, apalagi harus ditahan berhari-hari.
Mereka pulang tanpa membawa apa-apa. Semua wajah muram, tubuh lesu kecapekan. Ayam, gadget, uang, dan semua barang milik mereka dijadikan barang bukti, tanpa diketahui apa maksudnya.
Karto langsung pulang dan mendapati rumahnya kosong, tanpa istri dan anaknya. Ruang berantakan dengan barang-barang yang sulit dikenali wujudnya. Dia keluar rumah ketika hari gelap, duduk seorang diri di bangku depan warung sambil mendesah.
Seperti biasa, Marti menyiapkan sepiring nasi pecel dan segelas kopi. Karto menyambutnya dengan senyum paksaan ketika sepiring nasi pecal dan segelas kopi itu diletakkan di meja depannya.
”Ini terakhir kalinya aku ngutang di warungmu,” ucap Karto sambil tetap memaksakan senyumnya. ”Selanjutnya, aku tidak bakalan ngutang lagi….”
Marti, yang malam itu kulit wajahnya terlihat agak keriput, hanya berdeham. Selanjutnya larut dalam diam sampai lelaki itu pulang. Besok paginya, seseorang menemui tubuh Karto tergantung di belakang rumah. Seutas tambang dadung yang terikat kuat di kayu bubung atap rumah telah melilit, mencekik, dan mematahkan tulang lehernya. (*)
—
ARAFAT NUR, Penulis puisi, cerpen, dan novel yang bergiat di Komunitas Kebun Literasi Ponorogo. Kesibukan hari-harinya adalah bertani, membaca, dan sesekali menulis.