33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mata Merah Pekat

HAMPIR tengah malam. Berkali-kali aku menajamkan telinga. Berharap
deru mesin mobil yang semakin dekat itu berakhir di halaman vila. Tapi,
lagi-lagi aku hanya memamah kecewa. Tak ada mobil yang berusaha memanjat
tanjakan kecil di depan sana. Beberapa mobil yang melaju terus berlalu entah ke
mana.

Tubuhku mulai menggigil hebat.
Racikan hawa dingin, jengkel, dan gundah terus membungkusku rapat. Kucoba
menghubungi ponselmu cepat-cepat. Cuma terdengar nada sambung yang memainkan
musik klasik dalam tempo sangat lambat.

”Ayo, cepat angkat.”

Aku hampir putus asa. Apa kamu
lupa dengan janji kita? Aku tahu kamu tidak pernah lupa. Mungkin kamu mendadak
mendapatkan tugas dari bosmu. Bila memang seperti itu, seharusnya kamu segera
menghubungiku. Aku tidak mungkin marah. Paling hanya merajuk sebentar.
Pura-pura marah. Tak mungkin lama, karena semua kejengkelan itu akan langsung
teredam ketika napas kita bersentuhan di lain waktu. Seperti biasa.

Sungguh, aku hanya takut kamu
celaka. Mobilmu tergelincir ke jurang setelah menghindari kucing berbulu gelap
yang tiba-tiba muncul hendak menyeberang. Di suatu tempat, dirimu sekarang
sedang menahan rasa sakit yang sangat menyiksa. Terimpit di antara jok mobil,
setir, dan pecahan kaca. Keningmu berdarah. Bibirmu berdarah. Lenganmu
berdarah. Kakimu berdarah. Kepalamu berdarah. Di mana-mana ada darah. Ah,
napasku pun ikut tercekik parah.

”Kamu di mana?”

Ini pesan ketujuh yang kukirim
kepadamu dalam dua jam terakhir. Kutunggu beberapa saat, tetap tak ada jawaban.
Rasa cemasku mencapai puncak, hampir meledak.

Dengan dada yang bergemuruh aku
banting ponsel ke bantalan sofa. Melenting, lalu terjatuh ke ubin lantai yang
berwarna putih mutiara. Dinding mataku mulai berembun. Aku tiba-tiba merasa
menjadi pihak yang kalah. Menunggu dirimu tanpa kepastian. Teronggok sendiri
seperti buah pohon cemara kering yang rontok di tepi kolam renang. ”Kamu di
mana?”

***

Aku melirik lagi angka jam
digital di dashboard mobil. Sudah hampir tengah malam. Rasa tak sabarku
menggelegak, hampir meledak. Suara penyiar di radio itu kini terdengar seperti
provokasi yang membuat hatiku bertambah gelisah. Lagu-lagu romantis yang diputarnya
terdengar bagai olok-olok yang sangat memuakkan. Sudah lewat satu jam, mobilku
hanya bergeser 250 meter. Sempurna.

Kamu tahu, aku tidak akan
menyerah. Kita pasti bertemu malam ini. Aku pasti menepati janji. Seperti yang
selama ini selalu aku buktikan. Tak pernah sekali pun aku mengecewakanmu. Iya,
kan?

Aku terus mengutuki
kecerobohanku. Kamu pasti berkali-kali menghubungi ponselku. Kamu pasti marah.
Mungkin juga dilamun cemas tak terkira. Aku juga marah. Marah kepada diriku
sendiri yang tak sengaja meninggalkan ponsel celaka itu tergeletak di atas meja
kerja. Aku pun merasakan cemas yang tak terhingga. Terutama terhadap kabut yang
mungkin sudah membungkus rapat vila.

Kamu pasti sedang tersiksa. Tak
berani melempar pandang ke luar jendela. Apalagi berjalan menembus halaman
sekadar untuk membuang jemu. Aku sudah hafal. Gelombang kabut pasti semakin
tebal menjelang tengah malam. Aku juga tahu kamu sangat tidak nyaman dengan
hadirnya awan lembap yang melayang-layang seperti hantu di dekat permukaan tanah
itu. Homichlophobia.

***

Sekujur tubuhku masih gemetar.
Aku tak akan mengulanginya. Menyingkap tirai jendela, lalu mengintip pandang ke
luar sana. Apa yang sekarang sedang berputar melayang-layang di sekeliling vila
ini sangat menakutkan. Apalagi, berkali-kali bunyinya seperti langkah tergesa
dengan tarikan napas tak sabar. Ah, yang terakhir ini mungkin cuma imajinasiku.

Aku kembali melirik ponsel yang
masih terbaring di lantai ubin yang dingin. Mengapa kamu tidak segera datang?
Mengapa kamu tidak membalas pesan-pesanku?

Cepat aku tekan tombol power
remote televisi. Ada debat pilkada. Aku biarkan saja. Meskipun aku tidak
terlalu tertarik dengan politik, suara calon yang berapi-api, ditambah yel-yel
dari barisan kursi pendukungnya, membuat vila ini terasa lebih ramai. Memecah
keheningan. Cukup membantu mengalihkan perhatianku dari mata yang terus
mengintai entah di mana.

Baca Juga :  Pesta untuk Mu

Gawat, aku terus berimajinasi.
Bahkan, kali ini aku merasa seperti mendengar suara ketukan halus dengan ujung
jari dari balik pintu. Mungkin ada secuil kabut yang penasaran. Mungkin ia
ingin bertanya siapa yang sedang aku tunggu. Mendengarkan kisahku. Untung,
sejak sore aku sudah memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Tak peduli
siapa pun yang mengetuk, hanya akan aku buka bila kudengar suaramu.

Tahukah kamu, aku sudah
menyiapkan daging terbaik. Berukuran besar dan supertebal. Kebetulan selera
kita sama. Steak yang dimasak setengah matang. Tak perlu bumbu atau saus
macam-macam. Cukup taburan garam dan lada hitam. Ditemani beberapa kentang
rebus yang dicacah hingga lembut, sebotol wine merah akan menyempurnakannya.

Ah, suara itu muncul lagi. Bisik
lembut dari balik pintu. Merayuku agar segera membukanya. Sekujur tubuhku
kembali gemetar. Aku tak akan mau menyingkap gorden jendela. Aku tak berani
mengulanginya. Sesuatu yang menunggu di luar sana sungguh menakutkan dan
berbahaya.

***

Tanganku bergerak memberi isyarat
”maaf” kepada seorang bapak berjaket tebal yang menawarkan tahu goreng, kacang
rebus, arem-arem, dan air mineral. Brengsek, seharusnya aku sekarang sudah
merasa hangat di vila. Menikmati lembutnya steak buatanmu. Memanjakan lidah
dengan segelas wine manis produksi Bali yang anggurnya dipetik dari salah satu
perkebunan di Probolinggo. Selanjutnya, kita mengobrol banyak hal sampai pagi.
Seolah tak ada habisnya. Tak perlu penting, tak perlu menarik, tak perlu pula
sesuatu yang baru. Apa saja yang membuat kita bahagia dan merasa nyaman. Bisa
tertawa lepas begitu saja.

Suatu malam, kamu pernah
bercerita kepadaku mengenai dua tempat indah yang tidak akan pernah mau kamu
kunjungi. Sekalipun semuanya disiapkan gratis. Point Reyes di California dan
Argentia di Newfoundland, Kanada.

”Aku tidak mau mati konyol,”
katamu, menjawab ekspresi bingung di wajahku. Menurutmu, itulah dua wilayah
paling berkabut di dunia. Bahkan, kabut menyelimuti Argentia lebih dari 200
hari dalam setahun. ”Aku tak bisa hidup bersama kabut,” ujarmu, berusaha meyakinkanku.

Faktanya, sekarang aku masih
terjebak di sini. Tertahan puluhan kilometer darimu bersama lautan kabut yang
juga datang menyerbu. Memaki mobil yang hanya bisa merayap. Tahukah kamu, aku
selalu menantikan pertemuan seperti ini. Entah kenapa dadaku berdebar-debar.
Perasaan menyenangkan yang sudah lama hilang dari kehidupanku yang hambar.

Seorang teman bilang aku
mengalami puber kedua. Dia mengingatkanku agar berhati-hati. Jangan bermain
api. Tapi, aku tak terlalu peduli. Toh, umurku baru 35 tahun. Aku berpegangan
pada referensi yang menyebut puber kedua dialami pria saat menginjak kepala
empat. Mungkin ini pemanasan menjelang puber kedua, jawabku sekenanya ketika
itu, lantas tergelak.

Lamunanku buyar. Sebuah tangan
keriput mendadak mengetuk-ngetuk kaca mobil. Kembali aku gerakkan jemari
tangan. Memberi isyarat ”maaf” kepada kakek tua yang langsung berlalu dengan
mulut terkatup rapat.

Aku mencoba mengintip lewat kaca
spion tengah. Sebuah kantong plastik berukuran besar di jok belakang membuatku
gelagapan. ”Goblok,” umpatku sambil memukul setir mobil. Gaun malam miliknya
yang diambil kemarin dari laundry ternyata tertinggal di sana. Dia sudah
berencana memakai gaun berwarna merah itu ke acara launching produk baru
perusahaannya malam ini. Tiba-tiba kepalaku sedikit berdenyut. Nyeri.

***

Apakah kabut di luar sana sudah
menghilang atau semakin tebal? Seandainya ada kamu, aku pasti sudah mendapatkan
jawabannya. Kamu akan langsung beringsut menyingkap tirai, menyapu pandang ke
semua sisi, lalu kembali ke sebelahku, menyibak rambutku yang tergerai, dan
membisikkannya. Ya, semudah itu. Semudah aku menerima segala risiko dari
mencintaimu.

Baca Juga :  Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

Dua tahun ini, bagiku, sangat
membahagiakan. Meskipun sejak awal, aku dan kamu menyadari hubungan ini tidak
akan bisa beranjak ke mana-mana. Kita sudah sama-sama tahu batas tepinya. Batas
yang tidak mau kamu robohkan. Seperti aku yang juga tak mau melepaskanmu. Apa
pun risikonya, apa pun yang akan terjadi, aku tak akan pernah menyesal.

Hawa dingin dan suara angin
semakin rapat membungkus vila. Aku tambah gelisah. Jangan-jangan kamu memang
tidak jadi datang. Tapi, mengapa kamu tidak memberi kabar apa pun? Adakah
kejutan yang diam-diam kamu siapkan untukku? Entah di mana persisnya, kamu
sedang mengendap-endap di balik pepohonan atau rimbun taman di luar sana.
Menikmati ketakutanku sambil tesenyum nakal. Sumpah, bila memang seperti itu,
aku akan marah besar. Marah sejadi-jadinya.

Kabut itu ternyata kembali
mengajakku untuk bercakap-cakap. Seolah ingin berkenalan denganku. Kadang
kudengar langkah kakinya yang berjingkat. Menyusul gagang pintu yang
bergoyang-goyang. Ditarik dan didorong dengan pelan. Ia kembali memintaku untuk
segera membuka pintu. Tak usah takut, katanya. Apakah itu kamu? Terjebak di
antara harap dan takut, tanganku mulai meraih kunci, kemudian memutarnya
perlahan. ”Kamu di mana?”

***

Saat ini hanya ada
bertumpuk-tumpuk kabut antara aku dan dia. Perempuan yang duduk dengan
meratakan punggungnya di sandaran kursi itu membuat hatiku gentar. Tatapannya
kosong. Di atas meja tergeletak pisau yang berkilauan. Ada bercak tak beraturan
di pisau itu. Juga di sekitar meja. Bahkan, pakaiannya. Aku tak berani
menduga-duga.

Aku masih tak berani menatap
matanya yang merah pekat saat dia mulai menyapa. ”Aku sudah menunggumu dari
tadi,” ucapnya pelan dan datar. Bibirku masih terkunci rapat. Perasaanku amblas
teraduk-aduk. Cemas sekaligus ngeri yang tak terkira. ”Kamu heran bagaimana aku
bisa mendahuluimu?” lanjutnya, kali ini sambil tersenyum sinis.

Dia melemparkan ponsel berwarna
silver yang rupanya sejak tadi ada dalam genggamannya. Aku tak menyadarinya.
Tapi, sekarang aku mulai bisa mereka-reka. Setelah menjemput si kecil dari
tempat kursus musik, kamu singgah ke kantorku untuk mengambil gaun yang
tertinggal itu. Aku tidak ada, begitu juga bungkusan gaunmu.

Saat hendak pergi, kamu mendapati
ponselku yang tertinggal di atas meja. Awalnya, tak ada yang aneh. Kamu pun
tidak curiga. Bahkan, kamu sempat kasihan dengan keteledoranku. Namun, rasa
ingin tahumu terusik melihat banyaknya pesan yang masuk dan panggilan telepon
tak terjawab dari satu nomor yang sama. Dengan beberapa sentuhan di layar
terbukalah semua.

Setelah mengantar si kecil
pulang, kamu berangkat menuju vila ini. Tentunya kamu juga merasakan macet yang
sama. Kamu putuskan berbelok ke salah satu rumah atau penginapan untuk
menitipkan mobil dengan membayar tarif sewa kamar satu malam. Setelah itu, kamu
memesan layanan ojek online dan melesat melewati antrean mobil yang mengular.
Mungkin tadi kamu tak sadar telah melewati mobilku. Mungkin juga kamu sebenarnya
tahu, menoleh sejenak, sengaja tak berhenti, entahlah.

“Masih heran bagaimana aku bisa
mendahuluimu?” tanyamu. Aku tetap terdiam. Benar-benar membisu. Tubuhku kaku.
”Ayo masuk. Aku siapkan steak buatmu. Setengah matang, kan? Banyak potongan
daging segar di dalam. Bersih tanpa lemak. Kamu bisa makan sepuasnya.” Setelah
mengucapkan itu, tanganmu meraih gagang pisau dan menggenggamnya erat. Wajahku
sekarang pasti sepucat mayat. (***)

PRIYO HANDOKO, mantan jurnalis
(redaktur) Jawa Pos yang gemar menulis prosa. Kini menjadi komisioner KPU
Provinsi Kepulauan Riau, kampung halamannya.

HAMPIR tengah malam. Berkali-kali aku menajamkan telinga. Berharap
deru mesin mobil yang semakin dekat itu berakhir di halaman vila. Tapi,
lagi-lagi aku hanya memamah kecewa. Tak ada mobil yang berusaha memanjat
tanjakan kecil di depan sana. Beberapa mobil yang melaju terus berlalu entah ke
mana.

Tubuhku mulai menggigil hebat.
Racikan hawa dingin, jengkel, dan gundah terus membungkusku rapat. Kucoba
menghubungi ponselmu cepat-cepat. Cuma terdengar nada sambung yang memainkan
musik klasik dalam tempo sangat lambat.

”Ayo, cepat angkat.”

Aku hampir putus asa. Apa kamu
lupa dengan janji kita? Aku tahu kamu tidak pernah lupa. Mungkin kamu mendadak
mendapatkan tugas dari bosmu. Bila memang seperti itu, seharusnya kamu segera
menghubungiku. Aku tidak mungkin marah. Paling hanya merajuk sebentar.
Pura-pura marah. Tak mungkin lama, karena semua kejengkelan itu akan langsung
teredam ketika napas kita bersentuhan di lain waktu. Seperti biasa.

Sungguh, aku hanya takut kamu
celaka. Mobilmu tergelincir ke jurang setelah menghindari kucing berbulu gelap
yang tiba-tiba muncul hendak menyeberang. Di suatu tempat, dirimu sekarang
sedang menahan rasa sakit yang sangat menyiksa. Terimpit di antara jok mobil,
setir, dan pecahan kaca. Keningmu berdarah. Bibirmu berdarah. Lenganmu
berdarah. Kakimu berdarah. Kepalamu berdarah. Di mana-mana ada darah. Ah,
napasku pun ikut tercekik parah.

”Kamu di mana?”

Ini pesan ketujuh yang kukirim
kepadamu dalam dua jam terakhir. Kutunggu beberapa saat, tetap tak ada jawaban.
Rasa cemasku mencapai puncak, hampir meledak.

Dengan dada yang bergemuruh aku
banting ponsel ke bantalan sofa. Melenting, lalu terjatuh ke ubin lantai yang
berwarna putih mutiara. Dinding mataku mulai berembun. Aku tiba-tiba merasa
menjadi pihak yang kalah. Menunggu dirimu tanpa kepastian. Teronggok sendiri
seperti buah pohon cemara kering yang rontok di tepi kolam renang. ”Kamu di
mana?”

***

Aku melirik lagi angka jam
digital di dashboard mobil. Sudah hampir tengah malam. Rasa tak sabarku
menggelegak, hampir meledak. Suara penyiar di radio itu kini terdengar seperti
provokasi yang membuat hatiku bertambah gelisah. Lagu-lagu romantis yang diputarnya
terdengar bagai olok-olok yang sangat memuakkan. Sudah lewat satu jam, mobilku
hanya bergeser 250 meter. Sempurna.

Kamu tahu, aku tidak akan
menyerah. Kita pasti bertemu malam ini. Aku pasti menepati janji. Seperti yang
selama ini selalu aku buktikan. Tak pernah sekali pun aku mengecewakanmu. Iya,
kan?

Aku terus mengutuki
kecerobohanku. Kamu pasti berkali-kali menghubungi ponselku. Kamu pasti marah.
Mungkin juga dilamun cemas tak terkira. Aku juga marah. Marah kepada diriku
sendiri yang tak sengaja meninggalkan ponsel celaka itu tergeletak di atas meja
kerja. Aku pun merasakan cemas yang tak terhingga. Terutama terhadap kabut yang
mungkin sudah membungkus rapat vila.

Kamu pasti sedang tersiksa. Tak
berani melempar pandang ke luar jendela. Apalagi berjalan menembus halaman
sekadar untuk membuang jemu. Aku sudah hafal. Gelombang kabut pasti semakin
tebal menjelang tengah malam. Aku juga tahu kamu sangat tidak nyaman dengan
hadirnya awan lembap yang melayang-layang seperti hantu di dekat permukaan tanah
itu. Homichlophobia.

***

Sekujur tubuhku masih gemetar.
Aku tak akan mengulanginya. Menyingkap tirai jendela, lalu mengintip pandang ke
luar sana. Apa yang sekarang sedang berputar melayang-layang di sekeliling vila
ini sangat menakutkan. Apalagi, berkali-kali bunyinya seperti langkah tergesa
dengan tarikan napas tak sabar. Ah, yang terakhir ini mungkin cuma imajinasiku.

Aku kembali melirik ponsel yang
masih terbaring di lantai ubin yang dingin. Mengapa kamu tidak segera datang?
Mengapa kamu tidak membalas pesan-pesanku?

Cepat aku tekan tombol power
remote televisi. Ada debat pilkada. Aku biarkan saja. Meskipun aku tidak
terlalu tertarik dengan politik, suara calon yang berapi-api, ditambah yel-yel
dari barisan kursi pendukungnya, membuat vila ini terasa lebih ramai. Memecah
keheningan. Cukup membantu mengalihkan perhatianku dari mata yang terus
mengintai entah di mana.

Baca Juga :  Pesta untuk Mu

Gawat, aku terus berimajinasi.
Bahkan, kali ini aku merasa seperti mendengar suara ketukan halus dengan ujung
jari dari balik pintu. Mungkin ada secuil kabut yang penasaran. Mungkin ia
ingin bertanya siapa yang sedang aku tunggu. Mendengarkan kisahku. Untung,
sejak sore aku sudah memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Tak peduli
siapa pun yang mengetuk, hanya akan aku buka bila kudengar suaramu.

Tahukah kamu, aku sudah
menyiapkan daging terbaik. Berukuran besar dan supertebal. Kebetulan selera
kita sama. Steak yang dimasak setengah matang. Tak perlu bumbu atau saus
macam-macam. Cukup taburan garam dan lada hitam. Ditemani beberapa kentang
rebus yang dicacah hingga lembut, sebotol wine merah akan menyempurnakannya.

Ah, suara itu muncul lagi. Bisik
lembut dari balik pintu. Merayuku agar segera membukanya. Sekujur tubuhku
kembali gemetar. Aku tak akan mau menyingkap gorden jendela. Aku tak berani
mengulanginya. Sesuatu yang menunggu di luar sana sungguh menakutkan dan
berbahaya.

***

Tanganku bergerak memberi isyarat
”maaf” kepada seorang bapak berjaket tebal yang menawarkan tahu goreng, kacang
rebus, arem-arem, dan air mineral. Brengsek, seharusnya aku sekarang sudah
merasa hangat di vila. Menikmati lembutnya steak buatanmu. Memanjakan lidah
dengan segelas wine manis produksi Bali yang anggurnya dipetik dari salah satu
perkebunan di Probolinggo. Selanjutnya, kita mengobrol banyak hal sampai pagi.
Seolah tak ada habisnya. Tak perlu penting, tak perlu menarik, tak perlu pula
sesuatu yang baru. Apa saja yang membuat kita bahagia dan merasa nyaman. Bisa
tertawa lepas begitu saja.

Suatu malam, kamu pernah
bercerita kepadaku mengenai dua tempat indah yang tidak akan pernah mau kamu
kunjungi. Sekalipun semuanya disiapkan gratis. Point Reyes di California dan
Argentia di Newfoundland, Kanada.

”Aku tidak mau mati konyol,”
katamu, menjawab ekspresi bingung di wajahku. Menurutmu, itulah dua wilayah
paling berkabut di dunia. Bahkan, kabut menyelimuti Argentia lebih dari 200
hari dalam setahun. ”Aku tak bisa hidup bersama kabut,” ujarmu, berusaha meyakinkanku.

Faktanya, sekarang aku masih
terjebak di sini. Tertahan puluhan kilometer darimu bersama lautan kabut yang
juga datang menyerbu. Memaki mobil yang hanya bisa merayap. Tahukah kamu, aku
selalu menantikan pertemuan seperti ini. Entah kenapa dadaku berdebar-debar.
Perasaan menyenangkan yang sudah lama hilang dari kehidupanku yang hambar.

Seorang teman bilang aku
mengalami puber kedua. Dia mengingatkanku agar berhati-hati. Jangan bermain
api. Tapi, aku tak terlalu peduli. Toh, umurku baru 35 tahun. Aku berpegangan
pada referensi yang menyebut puber kedua dialami pria saat menginjak kepala
empat. Mungkin ini pemanasan menjelang puber kedua, jawabku sekenanya ketika
itu, lantas tergelak.

Lamunanku buyar. Sebuah tangan
keriput mendadak mengetuk-ngetuk kaca mobil. Kembali aku gerakkan jemari
tangan. Memberi isyarat ”maaf” kepada kakek tua yang langsung berlalu dengan
mulut terkatup rapat.

Aku mencoba mengintip lewat kaca
spion tengah. Sebuah kantong plastik berukuran besar di jok belakang membuatku
gelagapan. ”Goblok,” umpatku sambil memukul setir mobil. Gaun malam miliknya
yang diambil kemarin dari laundry ternyata tertinggal di sana. Dia sudah
berencana memakai gaun berwarna merah itu ke acara launching produk baru
perusahaannya malam ini. Tiba-tiba kepalaku sedikit berdenyut. Nyeri.

***

Apakah kabut di luar sana sudah
menghilang atau semakin tebal? Seandainya ada kamu, aku pasti sudah mendapatkan
jawabannya. Kamu akan langsung beringsut menyingkap tirai, menyapu pandang ke
semua sisi, lalu kembali ke sebelahku, menyibak rambutku yang tergerai, dan
membisikkannya. Ya, semudah itu. Semudah aku menerima segala risiko dari
mencintaimu.

Baca Juga :  Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

Dua tahun ini, bagiku, sangat
membahagiakan. Meskipun sejak awal, aku dan kamu menyadari hubungan ini tidak
akan bisa beranjak ke mana-mana. Kita sudah sama-sama tahu batas tepinya. Batas
yang tidak mau kamu robohkan. Seperti aku yang juga tak mau melepaskanmu. Apa
pun risikonya, apa pun yang akan terjadi, aku tak akan pernah menyesal.

Hawa dingin dan suara angin
semakin rapat membungkus vila. Aku tambah gelisah. Jangan-jangan kamu memang
tidak jadi datang. Tapi, mengapa kamu tidak memberi kabar apa pun? Adakah
kejutan yang diam-diam kamu siapkan untukku? Entah di mana persisnya, kamu
sedang mengendap-endap di balik pepohonan atau rimbun taman di luar sana.
Menikmati ketakutanku sambil tesenyum nakal. Sumpah, bila memang seperti itu,
aku akan marah besar. Marah sejadi-jadinya.

Kabut itu ternyata kembali
mengajakku untuk bercakap-cakap. Seolah ingin berkenalan denganku. Kadang
kudengar langkah kakinya yang berjingkat. Menyusul gagang pintu yang
bergoyang-goyang. Ditarik dan didorong dengan pelan. Ia kembali memintaku untuk
segera membuka pintu. Tak usah takut, katanya. Apakah itu kamu? Terjebak di
antara harap dan takut, tanganku mulai meraih kunci, kemudian memutarnya
perlahan. ”Kamu di mana?”

***

Saat ini hanya ada
bertumpuk-tumpuk kabut antara aku dan dia. Perempuan yang duduk dengan
meratakan punggungnya di sandaran kursi itu membuat hatiku gentar. Tatapannya
kosong. Di atas meja tergeletak pisau yang berkilauan. Ada bercak tak beraturan
di pisau itu. Juga di sekitar meja. Bahkan, pakaiannya. Aku tak berani
menduga-duga.

Aku masih tak berani menatap
matanya yang merah pekat saat dia mulai menyapa. ”Aku sudah menunggumu dari
tadi,” ucapnya pelan dan datar. Bibirku masih terkunci rapat. Perasaanku amblas
teraduk-aduk. Cemas sekaligus ngeri yang tak terkira. ”Kamu heran bagaimana aku
bisa mendahuluimu?” lanjutnya, kali ini sambil tersenyum sinis.

Dia melemparkan ponsel berwarna
silver yang rupanya sejak tadi ada dalam genggamannya. Aku tak menyadarinya.
Tapi, sekarang aku mulai bisa mereka-reka. Setelah menjemput si kecil dari
tempat kursus musik, kamu singgah ke kantorku untuk mengambil gaun yang
tertinggal itu. Aku tidak ada, begitu juga bungkusan gaunmu.

Saat hendak pergi, kamu mendapati
ponselku yang tertinggal di atas meja. Awalnya, tak ada yang aneh. Kamu pun
tidak curiga. Bahkan, kamu sempat kasihan dengan keteledoranku. Namun, rasa
ingin tahumu terusik melihat banyaknya pesan yang masuk dan panggilan telepon
tak terjawab dari satu nomor yang sama. Dengan beberapa sentuhan di layar
terbukalah semua.

Setelah mengantar si kecil
pulang, kamu berangkat menuju vila ini. Tentunya kamu juga merasakan macet yang
sama. Kamu putuskan berbelok ke salah satu rumah atau penginapan untuk
menitipkan mobil dengan membayar tarif sewa kamar satu malam. Setelah itu, kamu
memesan layanan ojek online dan melesat melewati antrean mobil yang mengular.
Mungkin tadi kamu tak sadar telah melewati mobilku. Mungkin juga kamu sebenarnya
tahu, menoleh sejenak, sengaja tak berhenti, entahlah.

“Masih heran bagaimana aku bisa
mendahuluimu?” tanyamu. Aku tetap terdiam. Benar-benar membisu. Tubuhku kaku.
”Ayo masuk. Aku siapkan steak buatmu. Setengah matang, kan? Banyak potongan
daging segar di dalam. Bersih tanpa lemak. Kamu bisa makan sepuasnya.” Setelah
mengucapkan itu, tanganmu meraih gagang pisau dan menggenggamnya erat. Wajahku
sekarang pasti sepucat mayat. (***)

PRIYO HANDOKO, mantan jurnalis
(redaktur) Jawa Pos yang gemar menulis prosa. Kini menjadi komisioner KPU
Provinsi Kepulauan Riau, kampung halamannya.

Terpopuler

Artikel Terbaru