31.7 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

PAGI yang cerah. Embusan angin yang sejuk dan segar. Langit
menampakkan warna paling indahnya. Diselimuti awan bersama kebahagiaannya.
Seolah hari ini terlalu indah untuk berlalu.

Seorang gadis berseragam sekolah
berjalan di bawah cerahnya matahari dan langit yang selaras dengan suasana
hatinya.

Dinda Lestari Indah. Untuk gadis
seusianya, Dinda cukup sempurna sebagai perempuan. Paras cantik dan manis
dengan rambut panjangnya. Hobinya memotret, dan memiliki banyak koleksi foto
alam. Dia adalah anak semata wayang dari keluarga yang dianggap sempurna.

Ayahnya seorang pengusaha. Tetapi
tidak suka dengan kemewahan. Sedangkan ibunya seorang bidan yang senantiasa
membantu orang yang membutuhkan bantuannya. Dinda dan keluarganya hidup dengan
bahagia, walau terkadang orang tuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.

Masa SMA adalah masa yang
ditunggu-tunggu. Karena dianggap masa yang paling banyak mengukir kenangan
dalam hidup.

Hari ini adalah hari pertama
Dinda memasuki bangku SMA. Ia berjalan memasuki kelasnya dan duduk paling
depan.

“Hai… perkenalkan nama saya
Lintang Putri. Bisa dipanggil Lintang aja,” kata perempuan yang duduk disamping
Dinda. “Halo, aku Dinda Lestari Indah. Panggil saja Dinda,” senyum Dinda.

Mereka ternyata punya banyak
kesamaan. Langsung saja mereka menjadi sahabat.

“Da, kamu pulang sama siapa?,”
tanya Lintang. “Biasa pulang naik angkutan umum,” jawab Dinda.

“Ya sudah aku duluan. Soalnya
udah dijemput, sampai jumpa Dinda,” teriak Lintang dari dalam mobil. “Iya,
hati-hati di jalan Lintang,” kata dinda.

Baca Juga :  Memindahkan Kota dan Seisinya

Dinda tidak suka jika harus
diantar jemput. Dia lebih suka naik angkutan umum karena lebih dapat
berinteraksi dengan orang-orang sekitar.

Hari-hari yang Dinda lewati cukup
baik dan lancar, apalagi ada Lintang yang setia dan selalu ada. Mereka sekarang
menjalani hari-harinya dengan ceria dan diwarnai dengan senyum. Hingga suatu
waktu Dinda dan Lintang masuk ekskul fotografi.

“Da, gambar ini keren. Bagus
sekali,” kata Lintang yang sedang terpesona melihat salah satu gambar yang
ditempel di ruang ekskul itu.

“Iya nih Tang, gambarnya bagus.
Pasti ini hasil pemotret yang profesional,” puji Dinda.

Tidak sengaja, mereka bertemu
Gibran Dias di ruang ekskul fotografi. Ia adalah senior kelas XI dan sudah lama
bergabung di ekskul tersebut. “Kalian ngapain di sini?,” tanya Gibran pada
Dinda dan Lintang.

Mereka terkejut dan memandangi
Gibran tanpa mata berkedip. “Sungguh indah ciptaanmu Tuhan,” gumam Dinda.

“Masya Allah, ganteng sekali
dia,” ucap Lintang dalam hati.

“Halo, saya bertanya kepada kalian,”
kata Gibran lagi.

“Kami anggota baru di ekskul
fotografi. Kalau kamu siapa?,” tanya Dinda.

“Saya Gibran wakil ketua di ekskul
fotografi,” jawab Gibran. “Oh, maaf kak. Kami tidak tahu,” ucap Lintang.

Di luar ekskul, Gibran lebih
dekat dengan Dinda. Itu karena dia tidak mau mengganggu Lintang yang sudah
punya pacar. Hingga suatu hari Gibran dan Dinda pergi ke sebuah tempat
favoritnya.

Baca Juga :  Waduh! Meski Bodi Istri Kinyis-kinyis, Ternyata Kalah Saing dengan Jan

“Tempatnya indah dan nyaman,”
kata Gibran. “Iya kak, ini tempat kalau saya sedang sedih atau banyak masalah,”
jawab dinda.

“Kita bisa mulai memotret. Di
sini tempatnya bagus,” ajak Gibran.

Sesekali Gibran memotret Dinda
yang sedang duduk dan menikmati udara segar.

Semakin hari Gibran dan Dinda
semakin akrab. Bahkan banyak yang mengira mereka pacaran. Namun Gibran belum
menyatakan cintanya pada Dinda. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Setelah beberapa bulan kemudian,
Gibran menghilang. Di sekolah, di rumah, Dinda tak kunjung menemukan sosok
Gibran. Kini ia tidak lagi bersemangat. “Da, kamu kenapa melamun terus? Sudah
beberapa hari kamu begini,” tanya Lintang.

Dinda hanya diam dan melamun.
Sesekali ada butiran-butiran kecil yang membasahi pipi dinda.

Setahun berlalu, tetapi kabar
Gibran tak kunjung datang. Mungkin ia sadar bahwa Gibran bukan ditakdirkan
bersamanya.

“Teruntuk paling yang tidak
menjadi saling, biarkan rasa ini kusimpan dalam hati terkecil. Hingga saatnya
tiba untuk hati ini kembali menemukan tuan dari hati ini. Tak usah hiraukan
saya, tak apa-apa. Saya hanya ingin kamu bahagia,” tulis Dinda di secarik
kertas. (*)

(Ririn Anugrah Wahyuli. Siswa SMAN
Khusus Jeneponto IG @ririnangrhwhyli)

PAGI yang cerah. Embusan angin yang sejuk dan segar. Langit
menampakkan warna paling indahnya. Diselimuti awan bersama kebahagiaannya.
Seolah hari ini terlalu indah untuk berlalu.

Seorang gadis berseragam sekolah
berjalan di bawah cerahnya matahari dan langit yang selaras dengan suasana
hatinya.

Dinda Lestari Indah. Untuk gadis
seusianya, Dinda cukup sempurna sebagai perempuan. Paras cantik dan manis
dengan rambut panjangnya. Hobinya memotret, dan memiliki banyak koleksi foto
alam. Dia adalah anak semata wayang dari keluarga yang dianggap sempurna.

Ayahnya seorang pengusaha. Tetapi
tidak suka dengan kemewahan. Sedangkan ibunya seorang bidan yang senantiasa
membantu orang yang membutuhkan bantuannya. Dinda dan keluarganya hidup dengan
bahagia, walau terkadang orang tuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.

Masa SMA adalah masa yang
ditunggu-tunggu. Karena dianggap masa yang paling banyak mengukir kenangan
dalam hidup.

Hari ini adalah hari pertama
Dinda memasuki bangku SMA. Ia berjalan memasuki kelasnya dan duduk paling
depan.

“Hai… perkenalkan nama saya
Lintang Putri. Bisa dipanggil Lintang aja,” kata perempuan yang duduk disamping
Dinda. “Halo, aku Dinda Lestari Indah. Panggil saja Dinda,” senyum Dinda.

Mereka ternyata punya banyak
kesamaan. Langsung saja mereka menjadi sahabat.

“Da, kamu pulang sama siapa?,”
tanya Lintang. “Biasa pulang naik angkutan umum,” jawab Dinda.

“Ya sudah aku duluan. Soalnya
udah dijemput, sampai jumpa Dinda,” teriak Lintang dari dalam mobil. “Iya,
hati-hati di jalan Lintang,” kata dinda.

Baca Juga :  Memindahkan Kota dan Seisinya

Dinda tidak suka jika harus
diantar jemput. Dia lebih suka naik angkutan umum karena lebih dapat
berinteraksi dengan orang-orang sekitar.

Hari-hari yang Dinda lewati cukup
baik dan lancar, apalagi ada Lintang yang setia dan selalu ada. Mereka sekarang
menjalani hari-harinya dengan ceria dan diwarnai dengan senyum. Hingga suatu
waktu Dinda dan Lintang masuk ekskul fotografi.

“Da, gambar ini keren. Bagus
sekali,” kata Lintang yang sedang terpesona melihat salah satu gambar yang
ditempel di ruang ekskul itu.

“Iya nih Tang, gambarnya bagus.
Pasti ini hasil pemotret yang profesional,” puji Dinda.

Tidak sengaja, mereka bertemu
Gibran Dias di ruang ekskul fotografi. Ia adalah senior kelas XI dan sudah lama
bergabung di ekskul tersebut. “Kalian ngapain di sini?,” tanya Gibran pada
Dinda dan Lintang.

Mereka terkejut dan memandangi
Gibran tanpa mata berkedip. “Sungguh indah ciptaanmu Tuhan,” gumam Dinda.

“Masya Allah, ganteng sekali
dia,” ucap Lintang dalam hati.

“Halo, saya bertanya kepada kalian,”
kata Gibran lagi.

“Kami anggota baru di ekskul
fotografi. Kalau kamu siapa?,” tanya Dinda.

“Saya Gibran wakil ketua di ekskul
fotografi,” jawab Gibran. “Oh, maaf kak. Kami tidak tahu,” ucap Lintang.

Di luar ekskul, Gibran lebih
dekat dengan Dinda. Itu karena dia tidak mau mengganggu Lintang yang sudah
punya pacar. Hingga suatu hari Gibran dan Dinda pergi ke sebuah tempat
favoritnya.

Baca Juga :  Waduh! Meski Bodi Istri Kinyis-kinyis, Ternyata Kalah Saing dengan Jan

“Tempatnya indah dan nyaman,”
kata Gibran. “Iya kak, ini tempat kalau saya sedang sedih atau banyak masalah,”
jawab dinda.

“Kita bisa mulai memotret. Di
sini tempatnya bagus,” ajak Gibran.

Sesekali Gibran memotret Dinda
yang sedang duduk dan menikmati udara segar.

Semakin hari Gibran dan Dinda
semakin akrab. Bahkan banyak yang mengira mereka pacaran. Namun Gibran belum
menyatakan cintanya pada Dinda. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Setelah beberapa bulan kemudian,
Gibran menghilang. Di sekolah, di rumah, Dinda tak kunjung menemukan sosok
Gibran. Kini ia tidak lagi bersemangat. “Da, kamu kenapa melamun terus? Sudah
beberapa hari kamu begini,” tanya Lintang.

Dinda hanya diam dan melamun.
Sesekali ada butiran-butiran kecil yang membasahi pipi dinda.

Setahun berlalu, tetapi kabar
Gibran tak kunjung datang. Mungkin ia sadar bahwa Gibran bukan ditakdirkan
bersamanya.

“Teruntuk paling yang tidak
menjadi saling, biarkan rasa ini kusimpan dalam hati terkecil. Hingga saatnya
tiba untuk hati ini kembali menemukan tuan dari hati ini. Tak usah hiraukan
saya, tak apa-apa. Saya hanya ingin kamu bahagia,” tulis Dinda di secarik
kertas. (*)

(Ririn Anugrah Wahyuli. Siswa SMAN
Khusus Jeneponto IG @ririnangrhwhyli)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru