PROKALTENG.CO – Langit malam itu dihiasi cahaya berpendar dari lampu-lampu jalanan. Suasana kota mulai ramai, orang-orang berjalan beriringan menuju pusat kota untuk menyambut pergantian tahun. Hana menggigit bibirnya, jari-jarinya mencengkeram pegangan kursi roda erat-erat.
Udara malam terasa lebih dingin saat ia mengayuh roda kursinya perlahan di atas trotoar yang licin akibat gerimis. Langkah kaki orang-orang di sekitarnya terdengar cepat, berlalu tanpa peduli. Tak ada yang memperhatikannya, dan ia pun tidak berharap ada yang melakukannya.
Malam ini, ia hanya ingin melihat kembang api. Sesederhana itu. Namun, saat ia melewati persimpangan kecil, tiba-tiba kursi rodanya macet. Hana membeku. Ia mencoba mengayuhnya lagi, tapi roda tetap tidak bergerak.
Hatinya mulai panas. Tidak. Jangan sekarang.
Tangannya berusaha menggoyang-goyangkan kursi roda itu dengan kasar. Masih tidak bergerak.
“Ayo jalan…,” gumamnya, suaranya bergetar.
Tapi kursi roda itu tetap diam.
“Ayo! Jalan!!”
Hana mulai memukul pegangan kursi rodanya dengan frustrasi. Emosinya meledak, dadanya terasa sesak.
“Kenapa?!” bentaknya pada dirinya sendiri.
“Aku cuma mau lihat kembang api! Kenapa bahkan ini pun tidak bisa?!”
Ia mengepalkan tangan, menahan air mata yang ingin tumpah.
Tuhan, apa aku sebegitu tidak berhaknya untuk bahagia?
Dadanya semakin nyeri. Ia teringat segala hal yang telah ia lalui.
Dulu, ia hampir menikah. Hidupnya terasa lengkap. Tapi semuanya hancur setelah kecelakaan itu. Kakinya tidak bisa berjalan lagi.
Dan itu bukan satu-satunya hal yang membuat ia kehilangan.
Teman-temannya perlahan menjauh, pekerjaannya hilang, dan orang-orang yang dulu peduli padanya kini hanya menatapnya dengan belas kasihan.
Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Gerimis mulaiturun, dan kini ia tidak bisa menahan tangisnya lagi.
Kenapa… kenapa harus aku?
Tepat saat itu, ia merasakan sesuatu menutupi kepalanya.
Sebuah payung.
Hana mengangkat wajah, matanya masih basah. Di depannya, seorang lelaki berjongkok, menatapnya dengan tatapan yang… entah kenapa terasa hangat.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.
Hana tidak menjawab. Tenggorokannya terasa kering, emosinya masih berantakan.
Lelaki itu tersenyum kecil. “Boleh aku bantu?”
Hana masih diam. Ia tidak mengenal lelaki ini. Tapi saat menatap matanya, ia tidak melihat rasa kasihan di sana. Tidak seperti orang-orang lain.
Ia melihat sesuatu yang berbeda.
Dengan sisa tenaganya, ia menggeleng. “Aku… aku cuma mau lihat kembang api…” suaranya nyaris tidak terdengar. “Tapi aku terjebak… Aku tidak tahu kenapa… Aku…”
Tangisnya pecah lagi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya.
Lelaki itu menunggu sampai tangisnya sedikit mereda sebelum akhirnya berkata, “Namamu siapa?”
Hana terkejut. Ia tidak menyangka pertanyaan itu.
“Hana,” jawabnya pelan.
Lelaki itu mengangguk. “Aku Reza.”
Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berdiri dan memeriksa kursi roda Hana.
“Oh, ini cuma ada sedikit kotoran di rodanya,” katanya setelah beberapa saat. “Aku bersihkan dulu, ya.”
Hana tidak membalas. Ia hanya memperhatikan Reza yang berjongkok, membersihkan roda kursinya dengan telaten.
Beberapa menit kemudian, Reza berdiri kembali. “Harusnya sudah bisa jalan sekarang.”
“Benarkah? Aku pikir Tuhan akan menghukumku lagi.”
“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Aku sudah kehilangan semuanya, bahkan untuk kembang api ini, rasanya begit sulit. Kadang aku hanya berpikir, apa keinginan sederhana ini juga tidak boleh?”
Reza lalu tersenyum. “Boleh, aku akan mengantarmu kesana. Tapi, bagaimana kalau kita pergi ke foodcourt dulu? Aku lapar.”
Hana menatapnya dengan bingung. “Hah?”
“Aku lapar,” ulang Reza dengan nada santai. “Dan sepertinya hujan tidak akan semakin deras. Kita bisa istirahat sebentar sebelum melihat kembang api.”
Hana masih menatapnya dengan ekspresi tidak yakin.
Tapi pada akhirnya, ia mengangguk.
Mereka berjalan pelan menuju foodcourt. Reza yang mendorong kursi roda Hana, sementara gerimis kecil masih menemani perjalanan mereka.
“Aku lahir di panti asuhan,” kata Reza tiba-tiba.
Hana menoleh.
“Katanya, ibuku meninggalkanku di depan gerbang saat aku masih bayi,” lanjutnya.
“Aku tidak tahu siapa dia, tidak tahu kenapa ia membuangku, dan tidak tahu apakah dia pernah menyesalinya atau tidak.”
Hana terdiam.
“Saat aku berusia delapan tahun, aku diadopsi oleh seseorang. Aku pikir hidupku akan lebih baik. Ternyata tidak.”
Langkah Reza tetap stabil saat ia terus mendorong kursi roda Hana.
“Mereka tidak menganggapku sebagai anak,” lanjutnya, suaranya terdengar datar. “Aku hanya dijadikan alat untuk mencari uang. Setiap hari aku harus turun ke jalan, mengemis, menjual barang-barang kecil, dan jika hasilnya tidak cukup, aku dipukuli.”
Hana menahan napas.
“Tapi hal yang paling menakutkan,” lanjut Reza, “adalah saat aku mendengar mereka berbicara tentang menjual organ tubuhku.”
Hana sontak menoleh, matanya melebar.
“Aku mendengar semuanya dengan jelas,” Reza tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Mereka bilang anak sepertiku tidak akan ada yang mencari. Tidak ada yang peduli jika aku tiba-tiba hilang.”
Hana merasakan dadanya mencengkeram perasaan asing. Ada ngeri, ada sedih, dan ada sesuatu yang lain—sesuatu yang menyayat hati.
“Lalu aku tahu,” lanjut Reza, “aku harus kabur. Jika tidak, aku mungkin tidak akan berdiri di sini hari ini.”
Gerimis masih turun, tapi Hana tidak lagi memedulikannya.
“Lalu… kamu berhasil kabur?” tanyanya pelan.
Reza mengangguk. “Aku lari sejauh yang aku bisa. Aku tidak tahu harus ke mana, hanya berusaha menjauh dari orang-orang itu. Selama berbulan-bulan aku hidup dalam ketakutan. Takut mereka akan menemukanku. Takut aku akan kembali ke neraka itu.”
Hana menggenggam ujung sweaternya, perasaan di dadanya semakin sulit dijelaskan.
“Tapi aku selamat,” katanya, kali ini dengan senyum kecil. “Dan aku bersyukur untuk itu.”
Hana menatap lurus ke depan.
Tiba-tiba, semua yang ia keluhkan tadi terasa berbeda.
Ia masih memiliki rumah. Ia masih memiliki orang tua yang menyayanginya. Ia tidak pernah harus tidur di jalan atau hidup dalam ketakutan seperti Reza.
Dan meskipun ia kehilangan banyak hal, ia masih punya kesempatan untuk bertahan.
“Hana,” panggil Reza pelan.
Hana menoleh.
“Terkadang dunia memang jahat,” katanya lembut. “Tapi Tuhan memilih kita bukan untuk melukai kita. Dia memilih kita karena Dia ingin kita lebih kuat.”
Hana menelan ludah.
“Setiap orang punya ujiannya masing-masing,” lanjut Reza. “Kalau bukan ekonomi, bisa jadi keluarga. Kalau bukan keluarga, bisa jadi percintaan. Ada orang yang diuji dengan kehilangan, ada yang diuji dengan pengkhianatan. Dan kita tidak bisa memilih mana yang akan kita hadapi.”
Hana terdiam lama. Saat itu juga, ia merasa menyesal karena sempat menyalahkan Tuhan.
Mereka sampai di foodcourt. Dan tepat saat mereka memilih tempat duduk, suara ledakan kecil menggema di langit.
“Kembang api!” seru Hana tiba-tiba.
Ia mendongak cepat, matanya berbinar penuh antusias.
Ledakan warna-warni mekar di angkasa, menciptakan cahaya terang yang menghiasi gelapnya malam. Hana mengangkat tangannya, menunjuk langit dengan penuh semangat.
“Reza! Lihat itu! Yang merah! Wah, yang emas lebih besar!” serunya riang, matanya tidak lepas dari langit.
Sebuah kembang api biru meledak dengan indahnya. Hana menepuk lengan Reza tanpa sadar.
“Reza! Itu bagus sekali!”
Reza tidak segera menjawab. Ia hanya menatap gadis di sampingnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Untuk pertama kalinya malam ini, Hana benar-benar terlihat bahagia.
Bukan bahagia yang dipaksakan, bukan senyuman yang dibuat-buat agar terlihat baik-baik saja.
Ini adalah kebahagiaan yang murni.
Reza tersenyum kecil. Lega.
Mungkin, ia tidak bisa mengubah masa lalu Hana. Tidak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang darinya.
Tapi setidaknya, malam ini, ia bisa membuatnya tersenyum lagi. (dwi/jpg)
*)Menulis selalu menjadi caraku memahami dunia—juga diriku sendiri. Setiap cerita yang kutulis lahir dari pertanyaan-pertanyaan yang tak selalu punya jawaban, dari perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata biasa. Aku percaya bahwa tulisan memiliki nyawa, dan mungkin, di antara deretan kalimat yang kususun, ada satu yang mengetuk pintu hatimu. Jika begitu, maka aku sudah melakukan tugasku sebagai penulis. Untuk kritik dan saran bisa menghubungi kontak berikut, IG : @istoria_kita dan TIKTOK : @istoria_kita03.