I
Diterpa angin malam musim bediding,
seseorang tiba-tiba melompat
keluar dari dalam baliho.
Begitu sol pantofelnya beradu trotoar,
ia diam mematung sejenak.
Sepasang matanya melirik kanan-kiri.
Desir angin dan garukan daun-daun kering
di atas jalanan aspal yang lengang.
Lampu jalanan memancar sekuat tenaga.
Seorang penjual kopi tua, di seberang, terlelap
berbantal tangan di meja warungnya.
Ia merapikan jas dan meluruskan dasinya yang agak miring.
Setelah memperbaiki letak pecinya, ia menyeberang. Seseorang dari Dalam Baliho dan Pak Tua
Duduk di bangku panjang,
ia memperhatikan penjual kopi tua
yang mendengkur lembut.
Mbah . . . Mbah . . .
Ia menepuk-nepuk lembut
lengan penjual kopi tua.
Penjual kopi tua itu menggeliat dan tergeragap.
Berulang-ulang Pak Tua itu menatap
bergantian, antara laki-laki berpeci di hadapannya dan
baliho kosong melompong di seberang jalan.
Ko . . . pi, suaranya tandas tegas,
mau menyadarkan orang tua yang kebingungan.
Saat Pak Tua meletakkan
secangkir kopi di depannya,
ia sodorkan lengan sambil membimbing
tangan Pak Tua itu menekan-nekannya.
Daging dan tulang, katanya sambil tersenyum.
Pak Tua mengangguk-angguk, tapi
sepasang matanya masih jeri-ngimpi.
Betul, saya orang di dalam baliho itu.
Kenapa saya berdiam di dalam baliho?
Pak Tua menggelengkan kepala.
Saya ingin mendengarkan suara rakyat,
langsung dari jalanan, tanpa calo.
Keluhan tentang harga beras sampai
sulitnya lowongan kerja;
keluhan tentang harga bensin sampai
berengseknya para pejabat negara.
Pak Tua mengangguk-angguk.
Laki-laki berwajah ramah itu menyeruput kopi.
Dingin, Pak Tua itu berupaya ramah.
Mengusir rasa jeri-ngimpinya yang keras kepala.
Masih panas, laki-laki berpeci itu menanggapi.
Hawanya dingin.
O . . . aku kira kopi.
Di dalam baliho tidak ada panas atau dingin.
Tidak ada terang atau gelap.
Tidak terdengar suara-suara.
Tidak terdengar suara-suara? Selidik Pak Tua.
Tidak. Aku juga tak punya suara
dan tak bisa melihat apa-apa.
Bacalah tulisan besar di baliho itu:
’’Suara Rakyat, Suara Tuhan”.
Pak Tua melihat ke arah baliho sekilasan
Apakah kamu pernah dengar suara Tuhan, Pak Tua?
Pernah melihat Tuhan?
Laki-laki berpeci itu terkekeh.
Lalu menghilang, kembali ke dalam baliho.
Pak Tua terkesiap sebentar,
lalu menyeberang jalan.
Berdiri ia di depan baliho,
Tolong jangan bilang-bilang
Anda pernah ngopi di warungku.
Ia merasa tetap harus mengatakannya,
meskipun tahu, orang di dalam baliho itu bisu, buta, dan tuli.
Lampu jalanan memancar sekuat tenaga.
—
II
Pagi berikutnya, agak siang,
warung Pak Tua dipagar
orang-orang berbadan tegap.
Dan dikepung para wartawan.
Suara sirene pengawalan meraung mendekat.
Mobil hitam panjang berhenti di depan warung,
seseorang keluar sambil tersenyum lebar
Kilatan lampu bertubi-tubi
Pak Tua duduk diam
Apa kabar? kata orang yang keluar dari mobil
Pak Tua diam saja
Advertisement
Jika tekanan darah Anda lebih tinggi dari 120/80
Advertisement
Tekanan darah tinggi? Inilah yang akan segera membantu!
Advertisement
Jika tekanan darah Anda di atas 120/80, bacalah…
Advertisement
Pembuluh darah akan dipulihkan! Tekanan darah 120/80 berkat…
Saya mau bayar kopi yang kemarin, kata orang itu lagi
Pak Tua menunjuk ke arah baliho di seberang
Orang yang keluar dari mobil,
orang berpeci itu, mengangguk.
Saya Presiden. Mau bayar kopi kemarin
Pak Tua menunjuk telinganya sendiri
Orang berpeci menengok
ke lelaki tegap di sampingnya
Lalu mengarahkan telunjuknya ke meja warung
Sekoper uang diperlihatkan kepada Pak Tua
Kilatan lampu kamera wartawan bertubi
Pak Tua mengemasi seluruh perabot warungnya.
Menggantungkan lembaran kardus
di tiang bambu penyangga atap warung.
Lembaran kardus bertulisan: TUTUP
Lalu ia ngeloyor pergi,
meninggalkan presiden, para pengawalnya, para wartawan.
Meninggalkan sekoper uang di meja warung.
Selembar kertas bergaris juga di atas meja warung,
bertulisan: AKU TAK MENDENGARMU
Agustus 2024
—
DWI PRANOTO, Esais, penyair, dan penerjemah