32.7 C
Jakarta
Saturday, December 28, 2024

Menakar Wacana Pilkada Melalui DPRD: Ancaman Partisipasi Rakyat Menyempit

Ilustrasi byPRESIDEN Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto belum lama ini melontarkan wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Itu disampaikannya saat perayaan HUT Ke-60 Golkar pada Kamis (12/12) malam.

Dalam pidatonya yang dikutip dari media pemberitaan, Prabowo mengisyaratkan dihadapan mayoritas petinggi partai bahwa jika kepala daerah dipilih DPRD, akan menekan anggaran negara.

Sistem Pilkada yang saat ini berjalan menggunakan sistem pemilihan secara langsung. Rakyat menggunakan hak suaranya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Pernyataan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah jika kepala daerah dipilih DPRD, benar-benar representasi dari pilihan rakyat.

Dalam perjalanannya, Pilkada secara langsung memang banyak menguras ongkos politik bagi pasangan calon (Paslon).

Baca Juga :  Kesal THR Tak Kunjung Cair, 2 Anggota DPRD Malteng Ngamuk

Dimulai dari ongkos logistik tim pemenangan, saksi, relawan, hingga ongkos kampanye akbar. Fenomena artis-artis ternama yang hadir di kampanye akbar pastinya juga merogoh kocek dengan jumlah besar. Belum lagi money politik di belakang layar yang tak bisa dipungkiri terjadi di lapangan.

Jika dibandingkan dengan Pilkada melalui DPRD, maka suara rakyat akan diwakilkan oleh DPRD. Akan tetapi, yang menjadi persoalan yakni berpotensi hilangnya kedaulatan rakyat.Hal itu terjadi apabila persoalan politik money di DPRD juga dilakukan.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan kembali, perlukah diganti sistem pemilihan yang sudah berjalan ?

Penulis belum lama ini mewawancarai pengamat politik dari Universitas Palangka Raya (UPR) Jhon Retei terkait wacana Pilkada melalui DPRD.

Baca Juga :  Soal Kinerja Disdikbud, Begini Tanggapan Dewan

Jhon menyebut, yang perlu dibenahi yakni evaluasi sistem yang ada dan melakukan pembenahan.

Dari pernyataan tersebut, penulis juga bersepakat bahwa perlunya ada pembenahan dan evaluasi terhadap sistem yang sudah berjalan.

Pemerintah perlu mengevaluasi secara total pelaksanaan Pilkada secara langsung. Tanpa harus mengubah sistem kembali. Fenomena soal money politik dan ongkos politik juga perlu menjadi catatan bagi pemerintah agar ongkos politik Pilkada efisien.

Jika Pilkada langsung dirubah ke Pilkada melalui DPRD, maka partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin bakal menyempit. Karena suara rakyat hanya diwakili saja. Lebih-lebih, yang dikhawatirkan, pemimpin yang terpilih melalui DPRD tidak representatif masyarakat banyak. (*)

*Penulis: M Hafidz, Wartawan Prokalteng

Ilustrasi byPRESIDEN Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto belum lama ini melontarkan wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Itu disampaikannya saat perayaan HUT Ke-60 Golkar pada Kamis (12/12) malam.

Dalam pidatonya yang dikutip dari media pemberitaan, Prabowo mengisyaratkan dihadapan mayoritas petinggi partai bahwa jika kepala daerah dipilih DPRD, akan menekan anggaran negara.

Sistem Pilkada yang saat ini berjalan menggunakan sistem pemilihan secara langsung. Rakyat menggunakan hak suaranya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Pernyataan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah jika kepala daerah dipilih DPRD, benar-benar representasi dari pilihan rakyat.

Dalam perjalanannya, Pilkada secara langsung memang banyak menguras ongkos politik bagi pasangan calon (Paslon).

Baca Juga :  Kesal THR Tak Kunjung Cair, 2 Anggota DPRD Malteng Ngamuk

Dimulai dari ongkos logistik tim pemenangan, saksi, relawan, hingga ongkos kampanye akbar. Fenomena artis-artis ternama yang hadir di kampanye akbar pastinya juga merogoh kocek dengan jumlah besar. Belum lagi money politik di belakang layar yang tak bisa dipungkiri terjadi di lapangan.

Jika dibandingkan dengan Pilkada melalui DPRD, maka suara rakyat akan diwakilkan oleh DPRD. Akan tetapi, yang menjadi persoalan yakni berpotensi hilangnya kedaulatan rakyat.Hal itu terjadi apabila persoalan politik money di DPRD juga dilakukan.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan kembali, perlukah diganti sistem pemilihan yang sudah berjalan ?

Penulis belum lama ini mewawancarai pengamat politik dari Universitas Palangka Raya (UPR) Jhon Retei terkait wacana Pilkada melalui DPRD.

Baca Juga :  Soal Kinerja Disdikbud, Begini Tanggapan Dewan

Jhon menyebut, yang perlu dibenahi yakni evaluasi sistem yang ada dan melakukan pembenahan.

Dari pernyataan tersebut, penulis juga bersepakat bahwa perlunya ada pembenahan dan evaluasi terhadap sistem yang sudah berjalan.

Pemerintah perlu mengevaluasi secara total pelaksanaan Pilkada secara langsung. Tanpa harus mengubah sistem kembali. Fenomena soal money politik dan ongkos politik juga perlu menjadi catatan bagi pemerintah agar ongkos politik Pilkada efisien.

Jika Pilkada langsung dirubah ke Pilkada melalui DPRD, maka partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin bakal menyempit. Karena suara rakyat hanya diwakili saja. Lebih-lebih, yang dikhawatirkan, pemimpin yang terpilih melalui DPRD tidak representatif masyarakat banyak. (*)

*Penulis: M Hafidz, Wartawan Prokalteng

Terpopuler

Artikel Terbaru

/