26.1 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Oleh: Ricky Zulfauzan

Perpanjangan

TULISAN ini saya awali dengan mengutip status media sosial seorang sahabat sebagai berikut: “Setiap pemimpin itu ada masanya, setiap masa ada pemimpinnya. Kalau sudah tiba masanya tak bisa membendungnya. Boleh memaksakan masa tapi harus siap digilas masa.” Seketika membacanya, alam pikir saya berkecamuk. Serangkaian kalimat itu ‘mind blowing’ bagi saya.

Ada makna yang begitu mendalam dari susunan kata-kata itu sehingga mengilhami saya menulis opini ini. Apalagi akhir-akhir ini berkembang sebuah wacana untuk mempanjang masa jabatan rektor Universitas Palangka Raya (UPR) dengan berbagai dalih. Wacana ini sangat lemah secara metodologis.

Berpotensi menjadi preseden kurang baik bagi demokrastisasi di dunia kampus. Padahal senyatanya tidak ada argumentasi kokoh apapun yang bisa digunakan untuk melegitimasinya.

Kondisi Normal

Sebagaimana diketahui bersama, masa jabatan rektor UPR berakhir pada 7 September 2022. Sesuai dengan aturan yang berlaku bahwa Dr. Andrie Elia, SE, M.Si tidak bisa mencalonkan diri kembali sebagai bakal calon rektor UPR periode 2022-2026 karena terkendala batas usia lebih dari 60 tahun (Lihat Permenristekdikti 19/2017 Pasal 4 huruf c).

Dalam PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “Tahap penjaringan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Pemimpin PTN yang sedang menjabat.”

Jika lima bulan dihitung mundur sejak 7 September 2022, maka 7 April 2022 tahapan penjaringan bakal calon rektor UPR harus sudah dilaksanakan.

Ini merupakan kondisi normal yaitu suatu kondisi yang tercipta sesuai standar yang berlaku di mana kondisi dan taraf pemfungsian sosial yang oleh lingkungan sosial dapat diterima. Selanjutnya PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 menggambarkan dengan tegas kondisi normal ini dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “Tahapan pengangkatan Pemimpin PTN terdiri atas: a. penjaringan bakal calon; b. penyaringan calon; c. pemilihan calon; dan d. penetapan dan pelantikan.” Tanpa perlu ditafsirkan kembali, setiap rangkaian kalimat dalam pasal-pasal tersebut sudah sangat jelas dan tidak dapat diperdebatkan.

Baca Juga :  Polemik Frasa ”Tanpa Persetujuan Korban”

Force Majeure

Satu-satunya argumentasi yang digunakan oleh pendukung wacana perpanjangan ini hanya PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 Pasal 13 Ayat (1) sebagai berikut: “Dalam hal masa jabatan Pemimpin PTN berakhir dan Pemimpin PTN yang baru belum terpilih, Menteri dapat menetapkan perpanjangan masa jabatan Pemimpin PTN untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Berdasarkan pasal di atas setidaknya ada 4 kalimat kunci yang menjadi penekanan peraturan tersebut yaitu sebagai berikut: 1) “Dalam hal masa jabatan pemimpin PTN berakhir”; 2) “Pemimpin PTN yang baru belum terpilih”; 3) “Menteri dapat menetapkan perpanjangan masa jabatan Pemimpin PTN” dan 4) “untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Kalimat kunci 1 dan 2 diterjemahkan sebagai klausul ‘force majeure’ di mana masa jabatan pemimpin PTN berakhir dan pemimpin PTN baru belum terpilih.

Mengutip dari Hukum online, Force majeure adalah istilah dari bahasa Prancis, force majeure secara harfiah memiliki arti ‘kekuatan yang lebih besar’. Secara umum, sejumlah peristiwa dapat digolongkan ke dalam force majeure selama mereka terjadi tanpa terduga, terjadi di luar kuasa pihak-pihak yang terkait, dan tidak dapat dihindari.

Artinya, PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 Pasal 13 ayat (1) hanya akan berlaku jika kondisi normal tidak terjadi, karena ada situasi tidak terduga di luar kendali dan kuasa dari pihak yang berkepentingan.

Pada kalimat kunci ke 3 memastikan bahwa perpanjangan masa jabatan rektor harus atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan memperhatikan kondisi force majeure. Selanjutnya kalimat kunci ke 4 membatasi perpanjangan masa jabatan rektor hanya 1 (satu) tahun dengan berpedoman pada kondisi force majeure.

Calon Bakal Calon

Sejatinya dengan memaksakan memperpanjang masa jabatan rektor UPR akan mengeliminasi peluang calon bakal calon yang telah beredar sejauh ini. Sebut saja misalnya Prof. Dr. Ir. Yetrie Ludang, MP dan Dr. Ir. Sosilawaty, MP tidak akan dapat mencalonkan diri menjadi bakal calon rektor jika tahapan penjaringan bakal calon tidak dilaksanakan.

Baca Juga :  Umat Merindukan Akhlak Rasulullah SAW

Ini menutup peluang pula bagi UPR untuk memiliki rektor perempuan pertama.

Nama lain misalnya lagi Prof. Dr. Ir. Salampak, MS dan Dr. Ir Aswin Usup, M.Sc. Keduanya merupakan putra daerah Kahayan yang potensial menjadi calon rektor UPR. Lalu ada nama Prof. Dr. Danes Jaya Negara, SE, M.Si selaku putra daerah Kotawaringin Barat.

Kemudian ada nama Prof. Dr. Sulmin Gumiri, M.Sc dan Prof. Dr. dr. Syamsul Arifin meskipun mereka berdua bukan putra daerah, namun memiliki kepedulian yang besar terhadap pengembangan SDM di Kalimantan Tengah. Misalnya Prof. Syamsul. Di bawah kepemimpinannya Fakultas Kedokteran berhasil meningkatkan akreditasinya dari C menjadi B.

Selain figur di atas, ada juga beberapa figur muda yang berpeluang untuk mencalonkan diri menjadi bakal calon rektor. Ada Rony Teguh, S.Kom, MT, Ph.D. Dia adalah putra daerah Kahayan berusia 46 tahun, pakar AI (kecerdasan buatan) dan Drone (Pesawat nir awak). Selanjutnya ada Dr. Agus Satrya, SE, M.Si. Ia adalah putra daerah berusia 45 tahun dari wilayah Kotawaringin dengan bidang keahlian ilmu akuntansi.

Lalu ada Dr. Syamsuri, S.Sos, M.Si. Ia adalah putra daerah termuda berusia 43 tahun dari Mentaya Kabupaten Kotawaringin Timur. Selama menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UPR, Ia berhasil meningkatkan Akreditasi Ilmu Adminisitrasi Negara dari C menjadi A; Ilmu Pemerintahan dari C menjadi A dan Sosiologi dari C menjadi B.

Sah-sah saja sebenarnya jika mewacanakan perpanjangan masa jabatan rektor UPR sebagai sebuah proposisi. Atas nama demokrasi, kemerdekaan berfikir dan usaha melanggengkan kekuasaan. Menjadi salah apabila menggunakan cara-cara intimidatif untuk memaksakan sebuah wacana agar diterima khalayak ramai.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kalimat bijak ini “Pemimpin biasa, memberi perintah. Pemimpin yang baik, memberikan penjelasan. Pemimpin yang unggul, mendemonstrasikan. Pemimpin yang hebat, menginspirasi.”

(Penulis adalah dosen di Kota Palangka Raya)

TULISAN ini saya awali dengan mengutip status media sosial seorang sahabat sebagai berikut: “Setiap pemimpin itu ada masanya, setiap masa ada pemimpinnya. Kalau sudah tiba masanya tak bisa membendungnya. Boleh memaksakan masa tapi harus siap digilas masa.” Seketika membacanya, alam pikir saya berkecamuk. Serangkaian kalimat itu ‘mind blowing’ bagi saya.

Ada makna yang begitu mendalam dari susunan kata-kata itu sehingga mengilhami saya menulis opini ini. Apalagi akhir-akhir ini berkembang sebuah wacana untuk mempanjang masa jabatan rektor Universitas Palangka Raya (UPR) dengan berbagai dalih. Wacana ini sangat lemah secara metodologis.

Berpotensi menjadi preseden kurang baik bagi demokrastisasi di dunia kampus. Padahal senyatanya tidak ada argumentasi kokoh apapun yang bisa digunakan untuk melegitimasinya.

Kondisi Normal

Sebagaimana diketahui bersama, masa jabatan rektor UPR berakhir pada 7 September 2022. Sesuai dengan aturan yang berlaku bahwa Dr. Andrie Elia, SE, M.Si tidak bisa mencalonkan diri kembali sebagai bakal calon rektor UPR periode 2022-2026 karena terkendala batas usia lebih dari 60 tahun (Lihat Permenristekdikti 19/2017 Pasal 4 huruf c).

Dalam PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “Tahap penjaringan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Pemimpin PTN yang sedang menjabat.”

Jika lima bulan dihitung mundur sejak 7 September 2022, maka 7 April 2022 tahapan penjaringan bakal calon rektor UPR harus sudah dilaksanakan.

Ini merupakan kondisi normal yaitu suatu kondisi yang tercipta sesuai standar yang berlaku di mana kondisi dan taraf pemfungsian sosial yang oleh lingkungan sosial dapat diterima. Selanjutnya PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 menggambarkan dengan tegas kondisi normal ini dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “Tahapan pengangkatan Pemimpin PTN terdiri atas: a. penjaringan bakal calon; b. penyaringan calon; c. pemilihan calon; dan d. penetapan dan pelantikan.” Tanpa perlu ditafsirkan kembali, setiap rangkaian kalimat dalam pasal-pasal tersebut sudah sangat jelas dan tidak dapat diperdebatkan.

Baca Juga :  Polemik Frasa ”Tanpa Persetujuan Korban”

Force Majeure

Satu-satunya argumentasi yang digunakan oleh pendukung wacana perpanjangan ini hanya PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 Pasal 13 Ayat (1) sebagai berikut: “Dalam hal masa jabatan Pemimpin PTN berakhir dan Pemimpin PTN yang baru belum terpilih, Menteri dapat menetapkan perpanjangan masa jabatan Pemimpin PTN untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Berdasarkan pasal di atas setidaknya ada 4 kalimat kunci yang menjadi penekanan peraturan tersebut yaitu sebagai berikut: 1) “Dalam hal masa jabatan pemimpin PTN berakhir”; 2) “Pemimpin PTN yang baru belum terpilih”; 3) “Menteri dapat menetapkan perpanjangan masa jabatan Pemimpin PTN” dan 4) “untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Kalimat kunci 1 dan 2 diterjemahkan sebagai klausul ‘force majeure’ di mana masa jabatan pemimpin PTN berakhir dan pemimpin PTN baru belum terpilih.

Mengutip dari Hukum online, Force majeure adalah istilah dari bahasa Prancis, force majeure secara harfiah memiliki arti ‘kekuatan yang lebih besar’. Secara umum, sejumlah peristiwa dapat digolongkan ke dalam force majeure selama mereka terjadi tanpa terduga, terjadi di luar kuasa pihak-pihak yang terkait, dan tidak dapat dihindari.

Artinya, PERMENRISTEKDIKTI 19/2017 Pasal 13 ayat (1) hanya akan berlaku jika kondisi normal tidak terjadi, karena ada situasi tidak terduga di luar kendali dan kuasa dari pihak yang berkepentingan.

Pada kalimat kunci ke 3 memastikan bahwa perpanjangan masa jabatan rektor harus atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan memperhatikan kondisi force majeure. Selanjutnya kalimat kunci ke 4 membatasi perpanjangan masa jabatan rektor hanya 1 (satu) tahun dengan berpedoman pada kondisi force majeure.

Calon Bakal Calon

Sejatinya dengan memaksakan memperpanjang masa jabatan rektor UPR akan mengeliminasi peluang calon bakal calon yang telah beredar sejauh ini. Sebut saja misalnya Prof. Dr. Ir. Yetrie Ludang, MP dan Dr. Ir. Sosilawaty, MP tidak akan dapat mencalonkan diri menjadi bakal calon rektor jika tahapan penjaringan bakal calon tidak dilaksanakan.

Baca Juga :  Umat Merindukan Akhlak Rasulullah SAW

Ini menutup peluang pula bagi UPR untuk memiliki rektor perempuan pertama.

Nama lain misalnya lagi Prof. Dr. Ir. Salampak, MS dan Dr. Ir Aswin Usup, M.Sc. Keduanya merupakan putra daerah Kahayan yang potensial menjadi calon rektor UPR. Lalu ada nama Prof. Dr. Danes Jaya Negara, SE, M.Si selaku putra daerah Kotawaringin Barat.

Kemudian ada nama Prof. Dr. Sulmin Gumiri, M.Sc dan Prof. Dr. dr. Syamsul Arifin meskipun mereka berdua bukan putra daerah, namun memiliki kepedulian yang besar terhadap pengembangan SDM di Kalimantan Tengah. Misalnya Prof. Syamsul. Di bawah kepemimpinannya Fakultas Kedokteran berhasil meningkatkan akreditasinya dari C menjadi B.

Selain figur di atas, ada juga beberapa figur muda yang berpeluang untuk mencalonkan diri menjadi bakal calon rektor. Ada Rony Teguh, S.Kom, MT, Ph.D. Dia adalah putra daerah Kahayan berusia 46 tahun, pakar AI (kecerdasan buatan) dan Drone (Pesawat nir awak). Selanjutnya ada Dr. Agus Satrya, SE, M.Si. Ia adalah putra daerah berusia 45 tahun dari wilayah Kotawaringin dengan bidang keahlian ilmu akuntansi.

Lalu ada Dr. Syamsuri, S.Sos, M.Si. Ia adalah putra daerah termuda berusia 43 tahun dari Mentaya Kabupaten Kotawaringin Timur. Selama menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UPR, Ia berhasil meningkatkan Akreditasi Ilmu Adminisitrasi Negara dari C menjadi A; Ilmu Pemerintahan dari C menjadi A dan Sosiologi dari C menjadi B.

Sah-sah saja sebenarnya jika mewacanakan perpanjangan masa jabatan rektor UPR sebagai sebuah proposisi. Atas nama demokrasi, kemerdekaan berfikir dan usaha melanggengkan kekuasaan. Menjadi salah apabila menggunakan cara-cara intimidatif untuk memaksakan sebuah wacana agar diterima khalayak ramai.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kalimat bijak ini “Pemimpin biasa, memberi perintah. Pemimpin yang baik, memberikan penjelasan. Pemimpin yang unggul, mendemonstrasikan. Pemimpin yang hebat, menginspirasi.”

(Penulis adalah dosen di Kota Palangka Raya)

Terpopuler

Artikel Terbaru