26.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Polemik Frasa ”Tanpa Persetujuan Korban”

NIAT baik Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) untuk melindungi dan menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak disambut gembira semua pihak. Desakan pencabutan dan revisi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 muncul karena penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban” dianggap melegalisasi perzinaan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, setelah melakukan kajian melalui forum ijtimak ulama pada 11 November 2021, meminta pemerintah merevisi aturan baru itu. Penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban” dinilai bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam.

Definisi kekerasan seksual di pasal 5 ayat (2) yang mencantumkan konsep consent atau voluntary agreement dikhawatirkan melegalisasi praktik hubungan seksual di luar nikah alias perzinaan. Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek telah membantah tudingan sebagian pihak yang menilai Permendikbudristek PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) melegalkan perzinaan (Jawa Pos, 13 November 2021).

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Tujuan dikeluarkannya aturan itu adalah untuk melindungi insan kampus, terutama mahasiswi, yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana memastikan agar Permendikbudristek PPKS itu efektif penerapannya di lapangan dan tidak menimbulkan efek samping seperti yang dikhawatirkan MUI.

Keprihatinan sekaligus kekhawatiran yang dikemukakan MUI terhadap makin maraknya kasus asusila, terutama di kalangan anak muda, sebetulnya bukan tanpa dasar. Sejak ada indikasi sikap anak muda makin permisif, praktik terjadinya tindak asusila di kalangan remaja ditengarai memang makin meningkat.

NIAT baik Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) untuk melindungi dan menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak disambut gembira semua pihak. Desakan pencabutan dan revisi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 muncul karena penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban” dianggap melegalisasi perzinaan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, setelah melakukan kajian melalui forum ijtimak ulama pada 11 November 2021, meminta pemerintah merevisi aturan baru itu. Penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban” dinilai bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam.

Definisi kekerasan seksual di pasal 5 ayat (2) yang mencantumkan konsep consent atau voluntary agreement dikhawatirkan melegalisasi praktik hubungan seksual di luar nikah alias perzinaan. Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek telah membantah tudingan sebagian pihak yang menilai Permendikbudristek PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) melegalkan perzinaan (Jawa Pos, 13 November 2021).

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Tujuan dikeluarkannya aturan itu adalah untuk melindungi insan kampus, terutama mahasiswi, yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana memastikan agar Permendikbudristek PPKS itu efektif penerapannya di lapangan dan tidak menimbulkan efek samping seperti yang dikhawatirkan MUI.

Keprihatinan sekaligus kekhawatiran yang dikemukakan MUI terhadap makin maraknya kasus asusila, terutama di kalangan anak muda, sebetulnya bukan tanpa dasar. Sejak ada indikasi sikap anak muda makin permisif, praktik terjadinya tindak asusila di kalangan remaja ditengarai memang makin meningkat.

Terpopuler

Artikel Terbaru