26.1 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

LA Nina diprediksi akan kembali menyapa Indonesia. Di laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), La Nina diperkirakan terjadi mulai November 2021 hingga Februari 2022. La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudra Pasifik hingga melewati batas normal. Kondisi tersebut memengaruhi sirkulasi udara yang menyebabkan udara lembap mengalir lebih kuat dari Samudra Pasifik ke arah Indonesia. Dampaknya, ada peningkatan curah hujan secara konsisten yang berpotensi memicu banjir dan bencana hidrometeorologi lainnya di berbagai daerah.

BMKG memperkirakan curah hujan di Indonesia akan meningkat 20–70 persen dibandingkan biasanya. Selain berpotensi menimbulkan kerusakan infrastruktur dan kerugian ekonomi, La Nina juga membawa kabar buruk bagi realisasi target ketahanan pangan. La Nina bisa menyebabkan banjir yang merusak tanaman pertanian sehingga mengganggu target panen para petani. Pun La Nina akan menghasilkan gelombang tinggi di lautan yang menyebabkan para nelayan gagal melaut sehingga mengurangi stok ikan di pasaran. Pertanian dan perikanan adalah sedikit contoh sektor pangan yang terganggu. Belum lagi potensi gangguan jalur distribusi logistik yang terdistraksi oleh banjir, longsor, badai, dan berbagai bentuk bencana lainnya.

Di tengah masih terpuruknya kondisi perekonomian masyarakat akibat pandemi Covid-19, potensi hantaman La Nina beserta dampak destruktifnya dapat memperburuk keadaan. Pertanyaannya, sudah siapkah kita menyambut La Nina? Dan seberapa jauh kesiapan negara (pemerintah) menghadapi fenomena ini?

Terjebak Pendekatan Kuratif

Sejauh ini, politik kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi potensi bencana relatif lemah. Karena pemerintah masih terjebak pada pendekatan kuratif, yakni bertindak ketika peristiwa bencana sudah terjadi. Kemampuan pemerintah untuk bertindak preventif (mencegah), apalagi promotif (meningkatkan kesadaran publik untuk sadar bencana), masih sangat kurang.

Berdasar penelitian yang dilakukan Martha Carolina (2018) mengenai kelemahan-kelemahan penanggulangan bencana alam di Indonesia, hal paling mendasar dari tata kelola penanganan bencana yang perlu diperbaiki adalah belum adanya aturan turunan yang detail dari UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Memang ada PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana sebagai turunan pasal 58 dan 59 UU No 24/2007. Akan tetapi, seharusnya tidak hanya itu. Masih banyak pasal dalam UU No 24/2007 yang membutuhkan PP atau perpres sebagai landasan implementasinya. Misalnya, urgensi aturan turunan mengenai status dan tingkat bencana, analisis risiko bencana maupun standar pelayanan minimal ketika terjadi bencana, dan sebagainya.

Baca Juga :  Ekspektasi Tinggi pada KTT ASEAN

Artinya, kehadiran UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana selama itu relatif terabaikan. Indikasinya, belum ada political will yang kuat untuk membuat aturan turunan yang memadai. UU No 24/2007 baru mendapatkan atensi publik ketika merebak pandemi Covid-19. Karena Covid-19 dianggap sebagai bencana nasional non-alam, banyak kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 yang berlandasan UU No 24/2007. Dari situ, bermunculan debat mengenai efektivitas UU No 24 Tahun 2007. Bahkan, muncul beberapa aspirasi yang menginginkan UU tersebut direvisi agar bisa adaptif dengan kondisi kekinian.

Bagi penulis, usulan untuk merevisi UU No 24/2007 itu relevan. Harapannya, kita memiliki regulasi penanggulangan bencana alam maupun non-alam yang representatif. Sebab, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), semangat penanggulangan bencana didasarkan pada tiga pilar: (1) internalisasi pengurangan risiko bencana; (2) penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana; dan (3) peningkatan kapasitas dalam penanggulangan bencana. Artinya, spirit manajemen bencana di Indonesia seharusnya berporos pada langkah promotif dan preventif sebagaimana termaktub dalam pilar pertama.

Belum tersedianya payung hukum yang proporsional mengenai manajemen bencana membuat tata kelola pencegahan maupun penanggulangan bencana di pusat maupun daerah masih centang perenang. Itulah kenapa, berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020, indeks rawan bencana (IRB) 34 provinsi di Indonesia, 20 di antaranya berstatus tinggi. Sisanya berstatus sedang.

Dalam catatan Carolina (2018), kelemahan lain pemerintah dalam manajemen bencana adalah: (1) belum optimalnya dukungan anggaran bencana; (2) lambatnya mekanisme proses pencairan dana penanggulangan bencana; (3) lambatnya upaya mitigasi dan tanggap darurat bencana; dan (4) amburadulnya koordinasi antarinstansi terkait.

Baca Juga :  Muktamar Bahagia

Sebagai contoh kasus, alokasi anggaran bencana dalam postur APBD Jawa Timur 2021 masih belum ideal. Alokasi anggaran penanggulangan bencana yang besar dimasukkan dalam pos belanja tidak terduga (BTT), bukan melekat dalam anggaran kerja organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Hal tersebut membuktikan paradigma pemerintah masih kuratif, yakni baru bertindak ketika secara ’’tidak terduga” bencana terjadi. Nahasnya, sering kali proses pencairan dana tanggap bencana tersebut cukup lama dan harus melalui prosedur birokrasi yang berbelit. Dalam konteks penanganan gempa bumi di Malang, April 2021, misalnya. DPRD Jawa Timur mengkritisi pencairan dana tanggap bencana dari APBD Jawa Timur yang sangat terlambat dibandingkan dengan dana tanggap darurat yang bersumber dari APBN. Hal tersebut ironis karena seharusnya pemerintah daerah lebih sigap dibandingkan pemerintah pusat.

Idealnya, porsi belanja yang besar dialokasikan untuk program-program promotif dan preventif. Misalnya, memasukkan kurikulum sadar bencana di sekolah dan pesantren maupun membuat kegiatan sosialisasi yang masif. Sehingga pemerintah berkontribusi dalam mendorong kemampuan adaptif warga menghadapi potensi bencana.

 

Mencegah Sindrom Negara Gagal

Meskipun nyaris setiap tahun kita dirundung bencana alam, jangan pernah menganggap hal itu lumrah karena bersifat alamiah. Jared Diamond dalam bukunya, Collapse (2005), memberi peringatan robohnya peradaban suatu bangsa, salah satunya, disebabkan oleh bencana alam karena rusaknya lingkungan dan perubahan iklim. Di mana pemerintah gagal untuk mengantisipasi dan menangani persoalan tersebut.

Agar kita tidak terjangkit sindrom negara gagal, pemerintah harus segera berbenah. Sembari kita berharap kepada Tuhan agar La Nina menyapa kita tahun ini tidak dalam perangainya yang menyeramkan. (*)

 

*) MOHAMMAD AFIFUDDIN, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura

LA Nina diprediksi akan kembali menyapa Indonesia. Di laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), La Nina diperkirakan terjadi mulai November 2021 hingga Februari 2022. La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudra Pasifik hingga melewati batas normal. Kondisi tersebut memengaruhi sirkulasi udara yang menyebabkan udara lembap mengalir lebih kuat dari Samudra Pasifik ke arah Indonesia. Dampaknya, ada peningkatan curah hujan secara konsisten yang berpotensi memicu banjir dan bencana hidrometeorologi lainnya di berbagai daerah.

BMKG memperkirakan curah hujan di Indonesia akan meningkat 20–70 persen dibandingkan biasanya. Selain berpotensi menimbulkan kerusakan infrastruktur dan kerugian ekonomi, La Nina juga membawa kabar buruk bagi realisasi target ketahanan pangan. La Nina bisa menyebabkan banjir yang merusak tanaman pertanian sehingga mengganggu target panen para petani. Pun La Nina akan menghasilkan gelombang tinggi di lautan yang menyebabkan para nelayan gagal melaut sehingga mengurangi stok ikan di pasaran. Pertanian dan perikanan adalah sedikit contoh sektor pangan yang terganggu. Belum lagi potensi gangguan jalur distribusi logistik yang terdistraksi oleh banjir, longsor, badai, dan berbagai bentuk bencana lainnya.

Di tengah masih terpuruknya kondisi perekonomian masyarakat akibat pandemi Covid-19, potensi hantaman La Nina beserta dampak destruktifnya dapat memperburuk keadaan. Pertanyaannya, sudah siapkah kita menyambut La Nina? Dan seberapa jauh kesiapan negara (pemerintah) menghadapi fenomena ini?

Terjebak Pendekatan Kuratif

Sejauh ini, politik kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi potensi bencana relatif lemah. Karena pemerintah masih terjebak pada pendekatan kuratif, yakni bertindak ketika peristiwa bencana sudah terjadi. Kemampuan pemerintah untuk bertindak preventif (mencegah), apalagi promotif (meningkatkan kesadaran publik untuk sadar bencana), masih sangat kurang.

Berdasar penelitian yang dilakukan Martha Carolina (2018) mengenai kelemahan-kelemahan penanggulangan bencana alam di Indonesia, hal paling mendasar dari tata kelola penanganan bencana yang perlu diperbaiki adalah belum adanya aturan turunan yang detail dari UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Memang ada PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana sebagai turunan pasal 58 dan 59 UU No 24/2007. Akan tetapi, seharusnya tidak hanya itu. Masih banyak pasal dalam UU No 24/2007 yang membutuhkan PP atau perpres sebagai landasan implementasinya. Misalnya, urgensi aturan turunan mengenai status dan tingkat bencana, analisis risiko bencana maupun standar pelayanan minimal ketika terjadi bencana, dan sebagainya.

Baca Juga :  Ekspektasi Tinggi pada KTT ASEAN

Artinya, kehadiran UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana selama itu relatif terabaikan. Indikasinya, belum ada political will yang kuat untuk membuat aturan turunan yang memadai. UU No 24/2007 baru mendapatkan atensi publik ketika merebak pandemi Covid-19. Karena Covid-19 dianggap sebagai bencana nasional non-alam, banyak kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 yang berlandasan UU No 24/2007. Dari situ, bermunculan debat mengenai efektivitas UU No 24 Tahun 2007. Bahkan, muncul beberapa aspirasi yang menginginkan UU tersebut direvisi agar bisa adaptif dengan kondisi kekinian.

Bagi penulis, usulan untuk merevisi UU No 24/2007 itu relevan. Harapannya, kita memiliki regulasi penanggulangan bencana alam maupun non-alam yang representatif. Sebab, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), semangat penanggulangan bencana didasarkan pada tiga pilar: (1) internalisasi pengurangan risiko bencana; (2) penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana; dan (3) peningkatan kapasitas dalam penanggulangan bencana. Artinya, spirit manajemen bencana di Indonesia seharusnya berporos pada langkah promotif dan preventif sebagaimana termaktub dalam pilar pertama.

Belum tersedianya payung hukum yang proporsional mengenai manajemen bencana membuat tata kelola pencegahan maupun penanggulangan bencana di pusat maupun daerah masih centang perenang. Itulah kenapa, berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020, indeks rawan bencana (IRB) 34 provinsi di Indonesia, 20 di antaranya berstatus tinggi. Sisanya berstatus sedang.

Dalam catatan Carolina (2018), kelemahan lain pemerintah dalam manajemen bencana adalah: (1) belum optimalnya dukungan anggaran bencana; (2) lambatnya mekanisme proses pencairan dana penanggulangan bencana; (3) lambatnya upaya mitigasi dan tanggap darurat bencana; dan (4) amburadulnya koordinasi antarinstansi terkait.

Baca Juga :  Muktamar Bahagia

Sebagai contoh kasus, alokasi anggaran bencana dalam postur APBD Jawa Timur 2021 masih belum ideal. Alokasi anggaran penanggulangan bencana yang besar dimasukkan dalam pos belanja tidak terduga (BTT), bukan melekat dalam anggaran kerja organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Hal tersebut membuktikan paradigma pemerintah masih kuratif, yakni baru bertindak ketika secara ’’tidak terduga” bencana terjadi. Nahasnya, sering kali proses pencairan dana tanggap bencana tersebut cukup lama dan harus melalui prosedur birokrasi yang berbelit. Dalam konteks penanganan gempa bumi di Malang, April 2021, misalnya. DPRD Jawa Timur mengkritisi pencairan dana tanggap bencana dari APBD Jawa Timur yang sangat terlambat dibandingkan dengan dana tanggap darurat yang bersumber dari APBN. Hal tersebut ironis karena seharusnya pemerintah daerah lebih sigap dibandingkan pemerintah pusat.

Idealnya, porsi belanja yang besar dialokasikan untuk program-program promotif dan preventif. Misalnya, memasukkan kurikulum sadar bencana di sekolah dan pesantren maupun membuat kegiatan sosialisasi yang masif. Sehingga pemerintah berkontribusi dalam mendorong kemampuan adaptif warga menghadapi potensi bencana.

 

Mencegah Sindrom Negara Gagal

Meskipun nyaris setiap tahun kita dirundung bencana alam, jangan pernah menganggap hal itu lumrah karena bersifat alamiah. Jared Diamond dalam bukunya, Collapse (2005), memberi peringatan robohnya peradaban suatu bangsa, salah satunya, disebabkan oleh bencana alam karena rusaknya lingkungan dan perubahan iklim. Di mana pemerintah gagal untuk mengantisipasi dan menangani persoalan tersebut.

Agar kita tidak terjangkit sindrom negara gagal, pemerintah harus segera berbenah. Sembari kita berharap kepada Tuhan agar La Nina menyapa kita tahun ini tidak dalam perangainya yang menyeramkan. (*)

 

*) MOHAMMAD AFIFUDDIN, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura

Terpopuler

Artikel Terbaru