27.8 C
Jakarta
Wednesday, May 8, 2024

Polemik Frasa ”Tanpa Persetujuan Korban”

Tidak peduli apakah remaja itu memiliki latar belakang orang tua yang agamais maupun tidak, semua berisiko terjerumus melakukan praktik hubungan seksual yang salah sepanjang kesempatan tersedia.

Logika Oposisi Biner Dalam Permendikbudristek 30/2021, salah satu pasal yang menimbulkan kegaduhan adalah definisi kekerasan seksual yang dikaitkan dengan ada-tidaknya persetujuan korban. Dalam logika berpikir oposisi biner seperti dibahas filsuf Jacques Derrida, penggunaan satu terminologi memang berkecenderungan untuk dilawankan dengan terminologi lainnya.

Sebuah tindakan seksual disebut kekerasan seksual jika dilakukan ”tanpa persetujuan korban”. Lantas, apakah itu berarti jika dilakukan dengan ”persetujuan korban” dianggap tidak masalah dan karenanya dibenarkan? Logika berpikir oposisi biner jelas menyimplifikasi masalah dan karena itu harus didekonstruksi.

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban” tentu tidak harus dipahami bahwa aturan itu bisa ditafsirkan melegalisasi perzinaan. Dalam upaya pencegahan dan penanganan korban tindak kekerasan seksual, frasa ”tanpa persetujuan korban” digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam relasi yang tidak seimbang atau asimetris, risiko mahasiswa menjadi korban tindak kekerasan seksual dosen, pembimbingnya, seniornya, dan sebagainya sangat tinggi karena di sana hubungan yang terjalin adalah relasi ketertundukan.

Seperti relasi bos dengan sekretaris, anak dengan orang tua, murid dengan guru, dan sebagainya. Relasi yang berkembang di antara mahasiswa dan dosen sering kali terjalin tidak seimbang –yang memungkinkan dosen melakukan tindak pelecehan seksual dengan berbagai kamuflase pembenarnya.

Penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban”, oleh sebab itu, justru harus dinyatakan dengan jelas, terutama ketika korban dihadapkan pada konteks relasi yang tidak seimbang dengan dosen maupun seniornya. Mencegah agar remaja, terutama mahasiswa, tidak terjerumus dalam tindakan asusila sudah seharusnya menjadi concern semua pihak.

Baca Juga :  Negara Perlu Waspada, Pengaruh Tren Medsos dan Game Online Berbahaya

Daripada meminta aturan PPKS direvisi, apakah tidak sebaiknya jika dibuat aturan lain tentang larangan terhadap tindakan seksual di luar institusi perkawinan? Kekerasan seksual di kampus terjadi sering kali karena relasi yang tidak seimbang.

Sementara tindak perzinaan sering kali dipicu meruyaknya cyberporn, sikap permisif, dan pengaruh keluarga yang broken home. Keduanya adalah hal yang berbeda dan membutuhkan aturan sendiri-sendiri.

(*) BAGONG SUYANTO, Dekan FISIP Universitas Airlangga

Tidak peduli apakah remaja itu memiliki latar belakang orang tua yang agamais maupun tidak, semua berisiko terjerumus melakukan praktik hubungan seksual yang salah sepanjang kesempatan tersedia.

Logika Oposisi Biner Dalam Permendikbudristek 30/2021, salah satu pasal yang menimbulkan kegaduhan adalah definisi kekerasan seksual yang dikaitkan dengan ada-tidaknya persetujuan korban. Dalam logika berpikir oposisi biner seperti dibahas filsuf Jacques Derrida, penggunaan satu terminologi memang berkecenderungan untuk dilawankan dengan terminologi lainnya.

Sebuah tindakan seksual disebut kekerasan seksual jika dilakukan ”tanpa persetujuan korban”. Lantas, apakah itu berarti jika dilakukan dengan ”persetujuan korban” dianggap tidak masalah dan karenanya dibenarkan? Logika berpikir oposisi biner jelas menyimplifikasi masalah dan karena itu harus didekonstruksi.

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban” tentu tidak harus dipahami bahwa aturan itu bisa ditafsirkan melegalisasi perzinaan. Dalam upaya pencegahan dan penanganan korban tindak kekerasan seksual, frasa ”tanpa persetujuan korban” digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam relasi yang tidak seimbang atau asimetris, risiko mahasiswa menjadi korban tindak kekerasan seksual dosen, pembimbingnya, seniornya, dan sebagainya sangat tinggi karena di sana hubungan yang terjalin adalah relasi ketertundukan.

Seperti relasi bos dengan sekretaris, anak dengan orang tua, murid dengan guru, dan sebagainya. Relasi yang berkembang di antara mahasiswa dan dosen sering kali terjalin tidak seimbang –yang memungkinkan dosen melakukan tindak pelecehan seksual dengan berbagai kamuflase pembenarnya.

Penggunaan frasa ”tanpa persetujuan korban”, oleh sebab itu, justru harus dinyatakan dengan jelas, terutama ketika korban dihadapkan pada konteks relasi yang tidak seimbang dengan dosen maupun seniornya. Mencegah agar remaja, terutama mahasiswa, tidak terjerumus dalam tindakan asusila sudah seharusnya menjadi concern semua pihak.

Baca Juga :  Negara Perlu Waspada, Pengaruh Tren Medsos dan Game Online Berbahaya

Daripada meminta aturan PPKS direvisi, apakah tidak sebaiknya jika dibuat aturan lain tentang larangan terhadap tindakan seksual di luar institusi perkawinan? Kekerasan seksual di kampus terjadi sering kali karena relasi yang tidak seimbang.

Sementara tindak perzinaan sering kali dipicu meruyaknya cyberporn, sikap permisif, dan pengaruh keluarga yang broken home. Keduanya adalah hal yang berbeda dan membutuhkan aturan sendiri-sendiri.

(*) BAGONG SUYANTO, Dekan FISIP Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru