33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Karyanya Ditulis Sekarang, Terkenal Puluhan Tahun Kemudian

Manisnya karier tak
didapat Didi Kempot begitu saja. Ada perjuangan berat yang dilalui. Kuncinya
adalah terus berjalan di jalur yang diyakini. Tak berhenti meski dalam kondisi
terburuk sekalipun.

 

SHAFA
NADIA,

Jakarta

 

SEKITAR 33 tahun
lalu Didi Kempot datang ke ibu kota. Mau memperbaiki nasib, ceritanya.Mengetuk
pintu studio satu ke yang lain sembari mengamen, sebelum akhirnya dilirik
Musica Studio. Rekaman dilakukan pada 1989. Debut albumnya rilis setahun
kemudian. Salah satu lagu andalannya adalah Cidro.

 

Namun, jangan bayangkan
Didi sudah langsung menjadi superstar. Lagu-lagu campursari yang dia bawakan
belum mampu menarik banyak orang. Padahal, undangan tampil dari Suriname dan
Belanda sudah mulai berdatangan. Meski demikian, tak banyak penikmat musik
Indonesia yang mampu merasakan klik dengan lantunan Didi itu.

 

Meski tidak mengetahui
detail perjuangan Didi waktu awal karier, Blontank Poer yang dikenal meyakinkan
bahwa perjalanan hidup sahabatnya tersebut tidaklah mudah. ”Bisa dibilang
lumayan berdarah-darah,” kata pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, Minggu (10/5).

 

Blontank mengingat Didi
sebagai pribadi sederhana. Yang juga selalu diingatnya adalah Didi tidak pernah
mau terlibat konflik dengan siapa pun. Itulah alasan Didi tak pernah
mempermasalahkan lagu-lagunya dibawakan siapa saja. Tak ada niat meminta
kompensasi hak cipta.

 

Bahkan, beberapa kali
Didi malah berkolaborasi dengan para penyanyi itu. ”Mas Didi memang begitu.
Banyak orang yang membahas copyright lagu-lagunya dan menawarkan untuk
mengurus, dia nggak mau. Katanya biarin aja, mereka sedang mencari rezeki, cuma
jalannya aja yang salah,” kenang Blontank.

 

Selama menjalani karier,
Didi Kempot setia di jalur campursari. Lagu-lagunya juga dibuat dalam bahasa
Jawa. Dia tak peduli meski pendengarnya terbatas. Biasanya hanya mereka yang
masuk usia sepuh yang mendengarkan lagu-lagunya. Kalaupun ada yang muda, mereka
pastilah dari sekolah seni.

Baca Juga :  Indahnya Sunrise dan Sunset dari Bukit Baranahu

Namun, semua itu
berubah dua tahun terakhir. Fansnya jadi didominasi generasi milenial.
Konser-konsernya dipenuhi penonton anak muda. Di mata pengamat musik Bens Leo,
baru kali ini terjadi fenomena pertunjukan musik yang lagunya menggunakan
bahasa daerah ditonton remaja belasan hingga 20 tahunan dari kota-kota besar.

 

Mereka datang dengan
penampilan modis, wangi, dan bergaya khas kekinian. Menurut Bens, Didi bisa
menjadikan anak muda yang tidak mengerti bahasa Jawa penasaran dan akhirnya mau
belajar dari lirik lagu yang dia ciptakan. Menyukai lagu-lagu lawas yang bahkan
sudah ada sebelum mereka lahir.

”Ini yang nggak pernah
terjadi sejak dulu, unik. Udah lintas generasi dan budaya juga. Sampai akhirnya
pada asyik ikut joget bersama dan tahu arti liriknya meski bukan orang Jawa,”
ujarnya.

Bens menilai fans The
Godfather of Broken Heart itu sama ekstremnya dengan fans K-pop yang dikenal
militan ketika menyukai idolanya. Bens menarik benang merah dari fenomena
tersebut. ”Bahwa anak muda sekarang suka musik dengan beat ringan, tapi tetap
memiliki lirik mendalam,” katanya.

Kebangkitan karier Didi
itu, jelas Bens, sebetulnya bisa menjadi pelajaran bagi musisi lain di tanah
air. Bahwa jika ingin eksis, harus memiliki sesuatu yang berbeda. Setahun dua
tahun berkarier tak juga dikenal, jangan berhenti. Tetap tingkatkan kemampuan
dan terus berusaha. ”Jangan lupakan Cidro. Ingat, lagu itu baru terkenal bahkan
setelah puluhan tahun rilis,” ungkap Bens.

Seminggu sebelum
kepergiannya pada usia 53 tahun, Didi Kempot merilis single Ojo Mudik. Lagu
tersebut diciptakan untuk mengampanyekan agar orang-orang tidak mudik terkait
pandemi Covid-19. ”Lagu itu punya potensi kuat untuk melejit. Selain karena
tema dan liriknya, juga karena histori penyanyinya,” ujar Bens.

Baca Juga :  Upaya Pelaku Usaha Bertahan Saat Objek Wisata di Palangka Raya Tutup

Bens juga menyinggung
ratusan lagu ciptaan Didi. Dia meyakini banyak lagu Didi yang tidak jelas
keberadaannya. Mungkin belum direkam atau sudah direkam, tapi belum sampai
menjadi hit. Dia menegaskan, pihak keluarga harus sesegera mungkin mencari,
menggali, mendata, dan mematenkan harta karun itu sebelum jatuh ke tangan orang
lain.

”Selama ini kan lagunya
yang kita dengar itu-itu aja. Sekitar 30-an yang populer, sisanya ke mana?
Harus didapatkan kembali itu oleh ahli waris,” tegasnya.

Beberapa kali karier
pelantun lagu Pamer Bojo tersebut sempat tak terdengar kabarnya alias redup.
Menurut Bens, bahasa dan penggunaan kata yang dipakai Didi dalam lagu-lagunya
itulah yang membuat dirinya gampang-gampang susah berkawan dengan ketenaran.
Namun, Didi tak putus asa.

”Dia gunakan
kreativitasnya dengan menciptakan lagu sendiri dalam bahasa Jawa, meski dia
sendiri yakin banyak orang yang sulit untuk mengikuti itu,” tambah Bens.

Bagi pengamat musik
Erie Setiawan, Lord Didi tak pernah meredup. Dia lebih suka menyebut saat itu
nama Didi sedang tidak di permukaan. Sebab, puluhan karya lagu baru tetap
dihasilkannya. ”Jadi, tidak ada fase berhenti. Dia tetap berkarya, tapi tidak
jadi perhatian. Mungkin karena memang beberapa lagu yang dibuatnya kurang
menarik perhatian ya,” imbuh Erie.

Berkat ketelatenan
menjalani karier, Didi mampu menunjukkan kualifikasinya ketika akhirnya
spotlight mengarah kepadanya. Dia berhasil menunjukkan lagu-lagunya yang
memiliki kekuatan lirik luar biasa. Dia berhasil berada di puncak tanpa perlu
mendompleng nama siapa pun selain dirinya sendiri.

Erie juga mengklaim tak
ada suara fals yang keluar dari Didi saat bernyanyi. ”Belum ada yang seistimewa
skill beliau. Sejauh ini juga belum tergantikan, kalau misalnya ada yang
bersaing, minimal cuma menyamai,” ulas Erie.

Manisnya karier tak
didapat Didi Kempot begitu saja. Ada perjuangan berat yang dilalui. Kuncinya
adalah terus berjalan di jalur yang diyakini. Tak berhenti meski dalam kondisi
terburuk sekalipun.

 

SHAFA
NADIA,

Jakarta

 

SEKITAR 33 tahun
lalu Didi Kempot datang ke ibu kota. Mau memperbaiki nasib, ceritanya.Mengetuk
pintu studio satu ke yang lain sembari mengamen, sebelum akhirnya dilirik
Musica Studio. Rekaman dilakukan pada 1989. Debut albumnya rilis setahun
kemudian. Salah satu lagu andalannya adalah Cidro.

 

Namun, jangan bayangkan
Didi sudah langsung menjadi superstar. Lagu-lagu campursari yang dia bawakan
belum mampu menarik banyak orang. Padahal, undangan tampil dari Suriname dan
Belanda sudah mulai berdatangan. Meski demikian, tak banyak penikmat musik
Indonesia yang mampu merasakan klik dengan lantunan Didi itu.

 

Meski tidak mengetahui
detail perjuangan Didi waktu awal karier, Blontank Poer yang dikenal meyakinkan
bahwa perjalanan hidup sahabatnya tersebut tidaklah mudah. ”Bisa dibilang
lumayan berdarah-darah,” kata pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, Minggu (10/5).

 

Blontank mengingat Didi
sebagai pribadi sederhana. Yang juga selalu diingatnya adalah Didi tidak pernah
mau terlibat konflik dengan siapa pun. Itulah alasan Didi tak pernah
mempermasalahkan lagu-lagunya dibawakan siapa saja. Tak ada niat meminta
kompensasi hak cipta.

 

Bahkan, beberapa kali
Didi malah berkolaborasi dengan para penyanyi itu. ”Mas Didi memang begitu.
Banyak orang yang membahas copyright lagu-lagunya dan menawarkan untuk
mengurus, dia nggak mau. Katanya biarin aja, mereka sedang mencari rezeki, cuma
jalannya aja yang salah,” kenang Blontank.

 

Selama menjalani karier,
Didi Kempot setia di jalur campursari. Lagu-lagunya juga dibuat dalam bahasa
Jawa. Dia tak peduli meski pendengarnya terbatas. Biasanya hanya mereka yang
masuk usia sepuh yang mendengarkan lagu-lagunya. Kalaupun ada yang muda, mereka
pastilah dari sekolah seni.

Baca Juga :  Indahnya Sunrise dan Sunset dari Bukit Baranahu

Namun, semua itu
berubah dua tahun terakhir. Fansnya jadi didominasi generasi milenial.
Konser-konsernya dipenuhi penonton anak muda. Di mata pengamat musik Bens Leo,
baru kali ini terjadi fenomena pertunjukan musik yang lagunya menggunakan
bahasa daerah ditonton remaja belasan hingga 20 tahunan dari kota-kota besar.

 

Mereka datang dengan
penampilan modis, wangi, dan bergaya khas kekinian. Menurut Bens, Didi bisa
menjadikan anak muda yang tidak mengerti bahasa Jawa penasaran dan akhirnya mau
belajar dari lirik lagu yang dia ciptakan. Menyukai lagu-lagu lawas yang bahkan
sudah ada sebelum mereka lahir.

”Ini yang nggak pernah
terjadi sejak dulu, unik. Udah lintas generasi dan budaya juga. Sampai akhirnya
pada asyik ikut joget bersama dan tahu arti liriknya meski bukan orang Jawa,”
ujarnya.

Bens menilai fans The
Godfather of Broken Heart itu sama ekstremnya dengan fans K-pop yang dikenal
militan ketika menyukai idolanya. Bens menarik benang merah dari fenomena
tersebut. ”Bahwa anak muda sekarang suka musik dengan beat ringan, tapi tetap
memiliki lirik mendalam,” katanya.

Kebangkitan karier Didi
itu, jelas Bens, sebetulnya bisa menjadi pelajaran bagi musisi lain di tanah
air. Bahwa jika ingin eksis, harus memiliki sesuatu yang berbeda. Setahun dua
tahun berkarier tak juga dikenal, jangan berhenti. Tetap tingkatkan kemampuan
dan terus berusaha. ”Jangan lupakan Cidro. Ingat, lagu itu baru terkenal bahkan
setelah puluhan tahun rilis,” ungkap Bens.

Seminggu sebelum
kepergiannya pada usia 53 tahun, Didi Kempot merilis single Ojo Mudik. Lagu
tersebut diciptakan untuk mengampanyekan agar orang-orang tidak mudik terkait
pandemi Covid-19. ”Lagu itu punya potensi kuat untuk melejit. Selain karena
tema dan liriknya, juga karena histori penyanyinya,” ujar Bens.

Baca Juga :  Upaya Pelaku Usaha Bertahan Saat Objek Wisata di Palangka Raya Tutup

Bens juga menyinggung
ratusan lagu ciptaan Didi. Dia meyakini banyak lagu Didi yang tidak jelas
keberadaannya. Mungkin belum direkam atau sudah direkam, tapi belum sampai
menjadi hit. Dia menegaskan, pihak keluarga harus sesegera mungkin mencari,
menggali, mendata, dan mematenkan harta karun itu sebelum jatuh ke tangan orang
lain.

”Selama ini kan lagunya
yang kita dengar itu-itu aja. Sekitar 30-an yang populer, sisanya ke mana?
Harus didapatkan kembali itu oleh ahli waris,” tegasnya.

Beberapa kali karier
pelantun lagu Pamer Bojo tersebut sempat tak terdengar kabarnya alias redup.
Menurut Bens, bahasa dan penggunaan kata yang dipakai Didi dalam lagu-lagunya
itulah yang membuat dirinya gampang-gampang susah berkawan dengan ketenaran.
Namun, Didi tak putus asa.

”Dia gunakan
kreativitasnya dengan menciptakan lagu sendiri dalam bahasa Jawa, meski dia
sendiri yakin banyak orang yang sulit untuk mengikuti itu,” tambah Bens.

Bagi pengamat musik
Erie Setiawan, Lord Didi tak pernah meredup. Dia lebih suka menyebut saat itu
nama Didi sedang tidak di permukaan. Sebab, puluhan karya lagu baru tetap
dihasilkannya. ”Jadi, tidak ada fase berhenti. Dia tetap berkarya, tapi tidak
jadi perhatian. Mungkin karena memang beberapa lagu yang dibuatnya kurang
menarik perhatian ya,” imbuh Erie.

Berkat ketelatenan
menjalani karier, Didi mampu menunjukkan kualifikasinya ketika akhirnya
spotlight mengarah kepadanya. Dia berhasil menunjukkan lagu-lagunya yang
memiliki kekuatan lirik luar biasa. Dia berhasil berada di puncak tanpa perlu
mendompleng nama siapa pun selain dirinya sendiri.

Erie juga mengklaim tak
ada suara fals yang keluar dari Didi saat bernyanyi. ”Belum ada yang seistimewa
skill beliau. Sejauh ini juga belum tergantikan, kalau misalnya ada yang
bersaing, minimal cuma menyamai,” ulas Erie.

Terpopuler

Artikel Terbaru