Kedelai itu awalnya tidak untuk tempe. Bukan juga untuk tahu. Anda sudah tahu –dari komentar perusuh Liang kemarin– lebih 100 tahun lalu Kedelai dikembangkan di Amerika Serikat untuk menghasilkan minyak. Sebagai bahan bakar. Amerika kekurangan BBM kala itu.
Lalu ketika minyak mentah melimpah, kedelai kembali jadi makanan. Di Tiongkok –negeri pertama ditemukannya kedelai– tidak pernah untuk BBM.
Baru saat di Indiana pekan lalu saya membaca literatur kedelai awalnya dikembangkan untuk bahan bakar.
Semula saya yakin kedelai hanya untuk tahu. Pun di Amerika. Untuk kecap. Lalu untuk tempe. Pokoknya, untuk makanan. Hanya orang Jawa yang menjadikan kedelai untuk bahan cemooh. Untuk mengejek orang yang punya sikap tidak konsisten: sore tempe, paginya kembali jadi kedelai.
Sejarah ”BBM kedelai” itulah yang membuat Amerika kini kembali punya program biodiesel dari kedelai.
Tahun lalu sudah menghasilkan biodiesel kedelai melebihi dari bahan apa pun. Setelah lebih 100 tahun berlalu Amerika mengembalikan sejarah kedelai.
Tentu harga BBM kedelai masih lebih mahal dari minyak diesel (solar). Masih selisih 1,8 dolar/gallon. Selisih itulah yang ditanggung pemerintah federal. Lewat subsidi untuk green energy.
Program itu menjadi berita penting bagi petani kedelai Amerika. Termasuk bagi para petani di Indiana yang sedang saya kunjungi.
Seharusnya saya ke Indiana bersama perusuh Liang. Pasti diskusi kami lebih seru. Apalagi ekspor kedelai ke Tiongkok –untuk makanan babi– merosot drastis. Tiongkok kini impor kedelai dari Brasil dan Argentina.
Itulah sebabnya petani seperti Charles (lihat Disway 28 Mei 2025: Kedelai Gajah) punya mesin pemroses kedelai. Dijadikan minyak. Minyak mentah. Ia jual minyak itu ke kilang untuk dimurnikan jadi BBM. Ampasnya bisa dipakai makanan ternaknya sendiri. Setiap petani seperti Charles punya ternak. Sapi. Angus. Ratusan. Charles sendiri punya 200 sapi.
Program B20 –solar wajib dicampur 20 persen minyak kedelai– akan terus diperluas. Tahun ini sudah berdiri 76 kilang BBM kedelai. Masih akan terus bertambah. Setiap refinery berkapasitas antara 50.000 sampai 150.000 barel per hari. Sekitar 4.000 ton/hari.
BBM B20 itu untuk truk-truk raksasa. Untuk kereta api –di Amerika kereta api masih menggunakan diesel. Juga untuk kapal-kapal di laut –sumber emisi terbesar.
Mungkinkah B20 ditingkatkan menjadi B100?
Tidak mungkin. Kecuali, mesin-mesin kendaraan yang ada diubah dulu. Disesuaikan dengan bahan bakar barunya. Mengubah seluruh mesin yang telanjur ada sangatlah berat. Bisa keburu kedahuluan mobil listrik. Atau, seperti ditulis perusuh Wilwa kemarin, disalip tenaga gelombang.
Kalau saja tenaga gelombang menjadi kenyataan ia akan menghancurkan semua jenis bahan bakar yang ada.
Itu tidak bertentangan dengan hukum kekekalan energi. Gelombang adalah juga energi. Bisa diubah menjadi energi lain –kalau ada yang menemukan caranya.
Anda sudah tahu: benda terkecil bukan lagi inti atom, tapi gelombang. Berarti tubuh kita pun terdiri dari kumpulan jutaan triliun gelombang.
Karena kumpulan gelombang, maka suatu saat nanti kumpulan gelombang itu bisa dikompresi. Lalu dikirim dengan wifi ke mana pun. Setelah sampai ke alamat, kompresi itu didekompresi. Jadi manusia utuh lagi.
Maka Anda pun, semua perusuh, akan bisa nonton Indy 500 dengan cara itu. Tidak perlu lagi beli tiket pesawat antara benua. Tidak perlu menunggu kesempatan gratisan. Cukup bayar pulsa Wi-Fi. Kalau amal ibadah Anda banyak, mungkin biaya pulsanya lebih murah.
Itu kelak. Yang jelas, saat ini, produksi kedelai Amerika terus meningkat. Tidak mungkin diserap semua sebagai makanan manusia. Maka dicari jalan: untuk makanan ternak. Ke depan harus pula disiapkan cadangan jalan keluar baru: untuk bahan bakar.
Sampai kapan? Mungkin sampai para petani itu tidak mau lagi tanam kedelai. Pindah ke tanam saham di pasar modal. Atau tanam uang di bisnis valuta asing beserta derivasinya.
Tentu kedelai dibawa ke Amerika dari Tiongkok. Tapi ”darah kedelai” di Amerika sudah mengalir turun-temurun. Ketergantungan pada rezeki kedelai sudah seperti ketergantungan kita memperebutkan jadi pegawai negeri.
Petani kedelai Amerika sudah sampai pada tahap tidak mau menggantungkan diri pada siapa pun, termasuk pada pemerintah. Mereka punya asosiasi sendiri: ISA –Indiana Soybean Alliance.
Di Illinois ada ISA-nya sendiri: Illinois Soybean Association. Di Iowa juga punya ISA: Iowa Soybean Association. Tiga negara bagian itu memang penghasil kedelai terbesar. Ditambah Ohio dan Minnesota.
Kuatnya petani kedelai bukan main. Mampu menggalang lobi. Sampai membiayai riset.
Saya pun ke pusat risetnya ISA yang Indiana. Di dekat Purdue University. Termasuk riset lapangan. Lahan risetnya 300 hektare.
Saya juga ke pusat riset jagung dan kedelai di Purdue University. Bertemu Prof Yang Yang. Orang Amerika. Asal Wuhan.
Di sana kedelai bisa 3,7 ton per hektare karena matahari bersinar lebih panjang dari di Indonesia. Bisa selisih empat jam. Tapi hanya sekali panen setahun. Kita memang bisa dua kali panen –tetap saja 0,6 x 2 = 1,2 ton/hektare.
Petani kedelai –juga jagung– di Amerika begitu mandirinya. Mereka seperti memegang teguh prinsip ini: “Tidak akan ada orang lain yang membantu kita kecuali kita sendiri”.(Dahlan Iskan)