“SAYA menyesal telah menghubungi polisi di 911”.
Sang ibu tidak menyangka teleponnyi itu menyebabkan dua polisi tewas. Anaknyi sendiri ikut mati.
Sore itu, pukul 17.09, sang ibu memang bertengkar dengan salah seorang anak laki-lakinyi. Jumat sore lalu.
Rupanya pertengkaran itu hebat sekali. Sang ibu merasa terancam. Lalu call 911.
“Apakah ada yang terluka?” tanya petugas penerima telepon. Itu pertanyaan standar. Agar polisi menyiapkan ambulans atau tim medis.
“Saya tidak terluka apa-apa,” jawab sang ibu.
“Apakah ada senjata api di situ?” tanya petugas lagi.
“Tidak ada,” jawabnyi.
Tiga polisi pun berangkat ke rumah sang ibu: di Harlem. Lokasinya hanya 5 menit dari Central Park, New York.
Sang ibu menunggu kedatangan polisi di depan apartemen. Dia ditemani anak laki-laki satunya lagi. Mereka memang bertiga di apartemen itu.
Ketika di lokasi tiga polisi tersebut berbincang dengan sang ibu.
“Di mana posisinya?” tanya polisi tentang anak yang membuatnyi terancam.
“Di belakang kamar tidur,” jawab sang ibu.
“Membawa senjata api?”
“Tidak,” jawab sang ibu dengan keyakinan penuh.
Dua di antara tiga polisi itu pun menuju kamar dimaksud. Mereka menelusuri lorong apartemen yang sempit. Mungkin si anak sudah curiga bakal ada polisi yang datang. Ia tahu ibunya menghubungi polisi.
Apalagi langkah polisi di lorong sempit itu cukup tegap. Bisa terdengar dari dalam kamar.
Begitu langkah sepatu sampai di depan pintu, tiba-tiba pintu kamar itu seperti dibuka dari dalam dengan kasar: dor-dor-dor-dor… Dua polisi itu pun tumbang. Bahkan sebelum sempat menarik senjata mereka.
Polisi satunya, yang masih ngobrol dengan sang ibu, melihat adegan brutal itu. Ia langsung menembakkan senjatanya ke arah penembak yang mencoba lari di koridor sempit. Yang ditembak terjengkang. Senjata masih di tangannya. Ia masih berusaha menembakkan senjatanya ke arah yang tidak terkontrol lagi. Lalu terkulai. Mati.
Masih ada 40 peluru lagi yang sudah terpasang di magasin hasil modifikasi.
Jason Rivera, polisi yang baru berumur 22 tahun itu tewas di tempat. Jason baru 2 tahun jadi polisi. Baru 3 bulan lalu menikah.
Wilbert Mora, polisi berumur 27 tahun, luka berat. Peluru bersarang di dalam kepalanya. Harus dibawa ke rumah sakit untuk dikeluarkan. Peluru lainnya menembus dadanya.
Lashawn McNeil, si anak nakal yang sudah berumur 47 tahun, tewas di tempat. Ia sudah lama cerai. Anaknya 4 orang, semua ikut ibu mereka.
Shirley Sourzes, sang ibu, hanya bisa menyesali diri: mengapa dia menghubungi polisi. Bagaimana pula dia tidak tahu kalau anaknyi menyimpan senjata ”Glock 45” di bawah tempat tidurnya. Bahkan masih ditemukan lagi senjata kedua di bawah kasurnya.
First Street, Manhattan, ditutup total. Sampai keesokan harinya. Terutama di sekitar kantor polisi tempat Jason bertugas. Karangan bunga, poster, lilin, ucapan duka memenuhi kawasan itu.
Saya pernah ditangkap polisi di dekat sini: salah jalan. Ketika saya tunjukkan paspor dan SIM Indonesia saya disuruh memutar balik. Saya mengucapkan kata ‘maafkan’ –dengan kesopanan Indonesia– lebih 10 kali saat itu.
Tahun ini sudah lima orang polisi New York tewas dalam tugas. Itu seperti menampar wali kota baru New York yang pensiunan polisi: Eric Adams.
Program baru Eric adalah memerangi kejahatan di New York –yang selama Januari naik hampir 100 persen dibanding bulan yang sama tahun lalu.
Sebenarnya Eric baru saja menemukan obat ajaib untuk kesuksesan programnya itu: semua polisi New York harus tinggal di New York. Dengan demikian di rumah pun polisi masih bisa ikut mengamankan lingkungan mereka.
Bukanlah tugas polisi itu 24/7 –24 jam sehari, tujuh hari seminggu? Bagaimana bisa 24/7 kalau tinggalnya di luar kota?
Selama ini hanya sekitar 30 persen polisi New York yang tinggal di New York. Selebihnya tinggal di pinggiran New Jersey atau pinggiran Pennsylvania yang dekat dengan New York.
Tapi obat ajaib Eric itu mendapat reaksi yang ajaib pula: tidak satu pun komentar yang menyetujuinya. “Mana ada polisi-biasa yang kuat membeli rumah di kota New York,” ujar seorang polisi seperti disiarkan harian The New York Post. “Apakah Eric akan membelikan kita rumah?” kata yang lain.
Belum lagi soal hak asasi. “Masak Eric tidak tahu bahwa ia tidak boleh mencampuri hidup kita,” kata yang lain lagi.
Akhirnya disadari: Eric kini seorang politisi. Ia harus memilih kata-kata manis meski tidak realistis. Politisi harus kelihatan cerdas –setidaknya lewat kata-katanya.
Untuk urusan kriminalitas, seperti penembakan di apartemen itu, saya tidak membaca New York Times. Saya pilih New York Post –seperti Kompas dan Pos Kota-nya Jakarta.
McNeil, si pemilik senjata gelap, belum lama tinggal di New York. Ia memang dipanggil sang ibu untuk kumpul di New York. Sang ibu lagi sakit. Adik laki-lakinya lebih sakit lagi: livernya dalam keadaan berat.
Inginnyi, McNeil bisa meringankan beban keluarga. Tapi selama jadi satu rumah, sang ibu lebih banyak bertengkar dengan McNeil. Ternyata McNeil sudah tidak seperti yang dibayangkan dulu. Ia kini sudah menjadi penganut vegetarian yang ekstrem. Ibunya dipaksa ikut keyakinanya.
McNeil bukan vegetarian biasa. Ia juga punya keyakinan bahwa polisi harus dimusuhi. Polisi harus dibunuh. Polisi telah menjadi musuh warga kulit hitam. Ia selalu mengikuti media yang mengutamakan teori konspirasi. Otaknya tercemar.
Senjata itu sendiri hasil curian saat McNeil tinggal di Maryland. Ia sudah beberapa kali ditangkap: terkait narkoba.
Perubahan jiwanya lebih terlihat parah setelah matanya tinggal satu. Dalam suatu bentrokan antar gang, dua tahun lalu, mata sebelahnya terkena pecahan botol kaca.
Si pengantin baru, Ny Jason Rivera, malam itu sedang menunggu kepulangan suami. Jumat adalah hari kelima dalam tugas. Malam itu suaminyi memasuki hari libur tiga hari.
Yang pulang ternyata hanya kabar duka. Besoknya, Ny Jason mengunggah IG dengan kalimat heroik. Dia istri polisi yang tahu risiko itu. “Terbanglah tinggi kau ke sorga kehormatan,” tulisnyi. Lalu menyertakan berbagai foto, termasuk foto perkawinan tiga bulan sebelumnya.
Di kantor polisi, Ny Jason minta diantar ke ruang ganti: dari ruang itulah suaminyi menghubunginyi via video call untuk terakhir kali.
Dokter sudah berusaha keras menyelamatkan nyawa polisi satunya: Mora. Lukanya terlalu parah. Peluru yang ngendon di dalam otaknya telah merusak semuanya.
Akhirnya dokter hanya bisa mempertahankan nyawa Mora sementara: sampai seluruh organnya bisa diambil untuk donor transplant ginjal, lever, jantung dan paru. Kornea matanya juga masih bisa dipertahankan.
Mora lantas meninggal dunia. Tapi Mora masih bisa hidup lebih lama. (Dahlan Iskan)