28.7 C
Jakarta
Thursday, August 14, 2025

Tiga Proposal

Si petir Joao Angelo De Sousa Mota bikin film layar lebar. Judulnya belum ia ungkap, tapi sudah selesai dibuat.

Joao sendiri bertindak sebagai eksekutif produser. Tebakan Anda tepat: itu film layar lebar tentang pertanian.

Mungkin karena Anda sudah melihat teaser-nya yang menyertai tulisan ini. Isinya tentang metode bertani merdeka. Seperti yang sudah ia kembangkan di kabupaten Timor Tengah Utara (baca Disway kemarin).

Aktivitas pertanian Joao di TTU ternyata tidak main-main. Setidaknya ia punya tujuh lokasi. Tiap lokasi luasnya tidak sama. Ada yang tiga hektare, 17 hektare, dan 23 hektare. Ada juga yang satu dan tiga hektare.

Semua miliknya sendiri. Bebas. Merdeka. Ia sendiri yang memutuskan mau lakukan apa saja: tanam padi, berbagai sayur atau holtikultura. Suka-suka ia.

Di sana Joao tidak perlu minta persetujuan siapa pun. Ia ingin apa pun bisa langsung dilaksanakan.

Kebiasaan merdeka di TTU itulah rupanya yang membuat ia kaget ketika menjabat direktur utama PT Agrinas Pangan Nusantara. Di TTU ia tidak punya atasan. Justru ia sendirilah atasan paling atas.

Tiba-tiba kini ia punya atasan. Ia tidak boleh berjalan sendiri.

Itu pula yang saya alami 15 tahun lalu. Dari posisi ”orang nomor satu” pindah menjadi orang yang punya atasan. Bahkan, waktu itu, atasan saya langsung banyak. Menteri BUMN adalah atasan saya. Juga menteri ESDM. Lalu menteri keuangan. Menko. Wapres. Presiden. Komisaris. Ketua komisi VI DPR.

Dulunya apa yang saya ucapkan harus dilaksanakan oleh ”bawahan”. Sering tanpa surat keputusan. Tanpa surat tugas. Tanpa lewat rapat. Hanya lewat perintah lisan.

Begitu diangkat menjadi dirut salah satu perusahaan BUMN keadaan berbalik kutub. Serba prosedur. Serba lewat kajian. Lewat persetujuan atasan.

Kurang lebih begitu pula yang dialami Joao. Bahkan atasan Joao lebih banyak lagi. Pemegang sahamnya saja dua: Danantara dan Kementerian BUMN.

Maka enam bulan menjadi dirut Agrinas Pangan, Joao merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Di TTU, dalam enam bulan ia sudah bisa panen padi dua kali. Atau sekali panen padi, sekali panen jagung.

Sayangnya Joao belum mau menjawab: apa rencana besar yang diusulkan ke direksi Danantara untuk dilakukan Agrinas Pangan.

Baca Juga :  Tim Sukses

Mengapa pula sudah tiga kali kirim usulan. Kalau usulan kedua dan ketiga berupa revisi berarti Danantara sebenarnya sudah mempelajari usulan Joao. Lalu minta direvisi.

Anda sudah tahu: PT Agrinas Pangan adalah penjelmaan dari PT Yodya Karya. Ganti nama. Ganti tujuan. Ganti bidang usaha: dari kontraktor dan jasa teknik ke sektor pangan.

Tentu Yodya Karya tidak punya aset dalam bentuk lahan sawah atau kebun. Aset utamanya adalah SDM –dengan keahlian bidang perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek.

Belakangan Yodya punya aset penting: gedung tinggi di dekat Cawang. Lima tahun terakhir Yodya Karya memang sangat maju. Labanya naik terus: terakhir berlaba Rp 150 miliar lebih (2023). Naik drastis dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 21 miliar.

Colbert Thomas Pangaribuan, dirut Yodya Karya saat itu memang orang hebat. Ia dua kali menjabat dirut Yodya Karya. Oktober lalu posisinya digantikan oleh Joao.

Joao memang punya kemampuan di bidang konstruksi. Proyek besar terbarunya adalah rumah sakit Jenderal Sudirman. Di Jakarta Selatan. Besar. Menjulang tinggi. RS baru itu milik Kementerian pertahanan.

Hanya beberapa bulan Joao menjabat dirut Yodya Karya. Danantara pun lahir. Maka Yodya Karya menjadi anak perusahaan Danantara.

Begitu mendesaknya program pangan Presiden Prabowo sampai Yodya Karya diubah misinya: jadi perusahaan produksi pangan.

Joao mungkin punya pikiran ini: pangan adalah program terpenting Prabowo. Pasti dapat prioritas. Semangatnya pun naik tinggi. Ia mengira akan bisa langsung tancap gas.

Ternyata dana pertama Danantara justru dialirkan ke Garuda. Rp 6 triliun. Sifatnya memang pinjaman tapi tetap saja ada yang mengalir ke sana. Rasanya tidak pernah ada penjelasan Garuda menjadi prioritas program presiden. Ternyata Garuda bisa menyalip di udara –karena sulit membayangkan Garuda menyalip di tikungan.

Uang kedua Danantara lari ke Chandra Asri. Uang ketiga ke proyek energi bersih bersama investor Arab Saudi.

Tentu Joao membaca berita mengalirnya uang Danantara ke berbagai proyek tersebut. Mengapa tidak ada yang untuk Agrinas Pangan.

Mungkinkah Danantara kurang tertarik dengan proposal yang diajukan Joao?

Daya tarik dari seseorang sering ditentukan oleh latar belakangnya. Yang biasa bisnis di keuangan akan lebih antusias melihat proposal bidang itu. Lalu siapa yang tertarik melihat proposal bidang pertanian? Kalau pun dipaksakan ”tertarik” apakah bisa langsung memahami ruh bisnis pertanian?

Baca Juga :  Tertimpa Tangga

Apakah di antara direksi Danantara ada yang punya minat di bidang pertanian? Kalau tidak, siapa yang menilai bagus tidaknya proposal dari Agrinas Pangan? Konsultan?

Sangat jengkel kalau misalnya atasan lebih percaya konsultan daripada proposal dirut. Berarti sang dirut dianggap tidak ahli di bidangnya.

Problem terbanyak di BUMN ada di sini: tidak memahami bisnis tertentu tapi punya kuasa untuk memutuskan. Akhirnya mengandalkan jasa konsultan. Hilanglah motivasi eksekutif BUMN untuk maju.

Awalnya saya memahami posisi Danantara: belum punya uang untuk Agrinas Pangan. Lalu saya ingat: uang ada. Hanya Agrinas Pangan kalah dalam prioritas.

Sebagai alumni Norwich University, Joao pasti tidak mudah menyerah. Norwich adalah kampus untuk pendidikan militer yang ternama. Lokasinya di negara bagian paling utara Amerika Serikat: Vermont.

Norwich sudah menghasilkan lebih dari 100 jenderal bintang empat –melebihi kampus militer mana pun.

Apalagi dari Norwich, Joao masih ke UNAM di Meksiko. Tiga pemenang hadiah Nobel asal Meksiko semuanya alumni UNAM –Universidad Nacional Autónoma de México.

UNAM adalah universitas terbesar di Meksiko. Mahasiswanya 350.000 orang. Kampusnya masuk heritage UNESCO. Luasnya 7 km2. Joao kuliah di Centro Escuela Para Estrangero (CEPE) di kampus Ciudad. “Yo hablo Espanyol,” kata Joao.

Sebenarnya agak aneh kalau PT Agrinas Pangan tidak punya uang sama sekali. Kalau hanya untuk operasional mestinya punya uang. Bahkan untuk memulai proyek kecil-kecilan sekali pun. Bukankah laba Yodya otomatis pindah buku menjadi saldo keuangan Agrinas Pangan?

Mungkin Joao tidak mau kecil-kecilan. Ia ingin segera punya proyek pangan besar-besaran. Perlu dana besar. Saldo warisan Yodya Karya tidak cukup.

Maka lebih baik mundur.

Lima bulan lagi Agrinas Pangan sudah harus tutup buku. Bagaimana isi laporan keuangannya tahun 2025 kalau di enam bulan pertama perusahaan belum bisa jalan.

Waktu memang cepat sekali berlalu. Sejak Danantara dibentuk, enam bulan lalu, para petani sudah panen dua kali: kecuali Agrinas Pangan. (DAHLAN ISKAN)

Si petir Joao Angelo De Sousa Mota bikin film layar lebar. Judulnya belum ia ungkap, tapi sudah selesai dibuat.

Joao sendiri bertindak sebagai eksekutif produser. Tebakan Anda tepat: itu film layar lebar tentang pertanian.

Mungkin karena Anda sudah melihat teaser-nya yang menyertai tulisan ini. Isinya tentang metode bertani merdeka. Seperti yang sudah ia kembangkan di kabupaten Timor Tengah Utara (baca Disway kemarin).

Aktivitas pertanian Joao di TTU ternyata tidak main-main. Setidaknya ia punya tujuh lokasi. Tiap lokasi luasnya tidak sama. Ada yang tiga hektare, 17 hektare, dan 23 hektare. Ada juga yang satu dan tiga hektare.

Semua miliknya sendiri. Bebas. Merdeka. Ia sendiri yang memutuskan mau lakukan apa saja: tanam padi, berbagai sayur atau holtikultura. Suka-suka ia.

Di sana Joao tidak perlu minta persetujuan siapa pun. Ia ingin apa pun bisa langsung dilaksanakan.

Kebiasaan merdeka di TTU itulah rupanya yang membuat ia kaget ketika menjabat direktur utama PT Agrinas Pangan Nusantara. Di TTU ia tidak punya atasan. Justru ia sendirilah atasan paling atas.

Tiba-tiba kini ia punya atasan. Ia tidak boleh berjalan sendiri.

Itu pula yang saya alami 15 tahun lalu. Dari posisi ”orang nomor satu” pindah menjadi orang yang punya atasan. Bahkan, waktu itu, atasan saya langsung banyak. Menteri BUMN adalah atasan saya. Juga menteri ESDM. Lalu menteri keuangan. Menko. Wapres. Presiden. Komisaris. Ketua komisi VI DPR.

Dulunya apa yang saya ucapkan harus dilaksanakan oleh ”bawahan”. Sering tanpa surat keputusan. Tanpa surat tugas. Tanpa lewat rapat. Hanya lewat perintah lisan.

Begitu diangkat menjadi dirut salah satu perusahaan BUMN keadaan berbalik kutub. Serba prosedur. Serba lewat kajian. Lewat persetujuan atasan.

Kurang lebih begitu pula yang dialami Joao. Bahkan atasan Joao lebih banyak lagi. Pemegang sahamnya saja dua: Danantara dan Kementerian BUMN.

Maka enam bulan menjadi dirut Agrinas Pangan, Joao merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Di TTU, dalam enam bulan ia sudah bisa panen padi dua kali. Atau sekali panen padi, sekali panen jagung.

Sayangnya Joao belum mau menjawab: apa rencana besar yang diusulkan ke direksi Danantara untuk dilakukan Agrinas Pangan.

Baca Juga :  Tim Sukses

Mengapa pula sudah tiga kali kirim usulan. Kalau usulan kedua dan ketiga berupa revisi berarti Danantara sebenarnya sudah mempelajari usulan Joao. Lalu minta direvisi.

Anda sudah tahu: PT Agrinas Pangan adalah penjelmaan dari PT Yodya Karya. Ganti nama. Ganti tujuan. Ganti bidang usaha: dari kontraktor dan jasa teknik ke sektor pangan.

Tentu Yodya Karya tidak punya aset dalam bentuk lahan sawah atau kebun. Aset utamanya adalah SDM –dengan keahlian bidang perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek.

Belakangan Yodya punya aset penting: gedung tinggi di dekat Cawang. Lima tahun terakhir Yodya Karya memang sangat maju. Labanya naik terus: terakhir berlaba Rp 150 miliar lebih (2023). Naik drastis dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 21 miliar.

Colbert Thomas Pangaribuan, dirut Yodya Karya saat itu memang orang hebat. Ia dua kali menjabat dirut Yodya Karya. Oktober lalu posisinya digantikan oleh Joao.

Joao memang punya kemampuan di bidang konstruksi. Proyek besar terbarunya adalah rumah sakit Jenderal Sudirman. Di Jakarta Selatan. Besar. Menjulang tinggi. RS baru itu milik Kementerian pertahanan.

Hanya beberapa bulan Joao menjabat dirut Yodya Karya. Danantara pun lahir. Maka Yodya Karya menjadi anak perusahaan Danantara.

Begitu mendesaknya program pangan Presiden Prabowo sampai Yodya Karya diubah misinya: jadi perusahaan produksi pangan.

Joao mungkin punya pikiran ini: pangan adalah program terpenting Prabowo. Pasti dapat prioritas. Semangatnya pun naik tinggi. Ia mengira akan bisa langsung tancap gas.

Ternyata dana pertama Danantara justru dialirkan ke Garuda. Rp 6 triliun. Sifatnya memang pinjaman tapi tetap saja ada yang mengalir ke sana. Rasanya tidak pernah ada penjelasan Garuda menjadi prioritas program presiden. Ternyata Garuda bisa menyalip di udara –karena sulit membayangkan Garuda menyalip di tikungan.

Uang kedua Danantara lari ke Chandra Asri. Uang ketiga ke proyek energi bersih bersama investor Arab Saudi.

Tentu Joao membaca berita mengalirnya uang Danantara ke berbagai proyek tersebut. Mengapa tidak ada yang untuk Agrinas Pangan.

Mungkinkah Danantara kurang tertarik dengan proposal yang diajukan Joao?

Daya tarik dari seseorang sering ditentukan oleh latar belakangnya. Yang biasa bisnis di keuangan akan lebih antusias melihat proposal bidang itu. Lalu siapa yang tertarik melihat proposal bidang pertanian? Kalau pun dipaksakan ”tertarik” apakah bisa langsung memahami ruh bisnis pertanian?

Baca Juga :  Tertimpa Tangga

Apakah di antara direksi Danantara ada yang punya minat di bidang pertanian? Kalau tidak, siapa yang menilai bagus tidaknya proposal dari Agrinas Pangan? Konsultan?

Sangat jengkel kalau misalnya atasan lebih percaya konsultan daripada proposal dirut. Berarti sang dirut dianggap tidak ahli di bidangnya.

Problem terbanyak di BUMN ada di sini: tidak memahami bisnis tertentu tapi punya kuasa untuk memutuskan. Akhirnya mengandalkan jasa konsultan. Hilanglah motivasi eksekutif BUMN untuk maju.

Awalnya saya memahami posisi Danantara: belum punya uang untuk Agrinas Pangan. Lalu saya ingat: uang ada. Hanya Agrinas Pangan kalah dalam prioritas.

Sebagai alumni Norwich University, Joao pasti tidak mudah menyerah. Norwich adalah kampus untuk pendidikan militer yang ternama. Lokasinya di negara bagian paling utara Amerika Serikat: Vermont.

Norwich sudah menghasilkan lebih dari 100 jenderal bintang empat –melebihi kampus militer mana pun.

Apalagi dari Norwich, Joao masih ke UNAM di Meksiko. Tiga pemenang hadiah Nobel asal Meksiko semuanya alumni UNAM –Universidad Nacional Autónoma de México.

UNAM adalah universitas terbesar di Meksiko. Mahasiswanya 350.000 orang. Kampusnya masuk heritage UNESCO. Luasnya 7 km2. Joao kuliah di Centro Escuela Para Estrangero (CEPE) di kampus Ciudad. “Yo hablo Espanyol,” kata Joao.

Sebenarnya agak aneh kalau PT Agrinas Pangan tidak punya uang sama sekali. Kalau hanya untuk operasional mestinya punya uang. Bahkan untuk memulai proyek kecil-kecilan sekali pun. Bukankah laba Yodya otomatis pindah buku menjadi saldo keuangan Agrinas Pangan?

Mungkin Joao tidak mau kecil-kecilan. Ia ingin segera punya proyek pangan besar-besaran. Perlu dana besar. Saldo warisan Yodya Karya tidak cukup.

Maka lebih baik mundur.

Lima bulan lagi Agrinas Pangan sudah harus tutup buku. Bagaimana isi laporan keuangannya tahun 2025 kalau di enam bulan pertama perusahaan belum bisa jalan.

Waktu memang cepat sekali berlalu. Sejak Danantara dibentuk, enam bulan lalu, para petani sudah panen dua kali: kecuali Agrinas Pangan. (DAHLAN ISKAN)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/