“Ini bagaimana? Saya terima atau tidak?”
Yang bertanya itu pengusaha besar dari Semarang. Anda sudah kenal namanya: Irwan Hidayat. Si pemilik raksasa pabrik jamu Sido Muncul.
Rupanya hati Pak Irwan sedang gundah. Ia harus menerima gelar doktor honoris causa. Yang memberikan: Universitas Negeri Semarang. Ia pun minta pertimbangan saya.
Saya menangkap kegundahan itu. Medsos lagi menghebohkan pemberian gelar serupa kepada seorang artis ibu kota Jakarta. Saya lupa lembaga apa yang memberikannya.
Juga lagi heboh soal gelar doktor afdruk kilat untuk menteri ESDM sekaligus ketua umum Golkar: Bahlil Lahadalia.
Dua peristiwa itu membuat hati Irwan Hidayat tidak nyaman. Saya sendiri pernah menerima gelar seperti itu dua kali –lebih banyak lagi yang saya tolak.
Orang yang mendesak agar saya mau menerimanya adalah: rahasia. Tidak. Tidak lagi rahasia. Beliau sudah meninggal: Letnan Jenderal TNI T.B. Silalahi.
Pertimbangan beliau: saya akan diikutkan konvensi calon presiden. Saya hanya lulusan Madrasah Aliyah –setingkat SMA. Itu beliau anggap kelemahan. Perlu ditutupi. Agar bisa memenangkan konvensi Partai Demokrat.
Saya sendiri punya syarat tambahan untuk mau menerimanya: harus ada ilmuwan yang menyampaikan pidato pertanggungan jawab ilmiah: bahwa saya berhak menerimanya.
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang menampilkan Prof Dr Nur Syam. Beliau yang membuat naskah pertanggungan jawab itu.
Saya awalnya tidak terlalu kenal beliau. Ternyata beliau adalah sekjen Kementerian Agama. Belakangan saya tahu: beliau satu RT dengan saya di Ketintang Surabaya. Beliau adalah guru besar di UIN Sunan Ampel atau UINSA.
Karya ilmiah penelitiannya lebih 20 artikel. Karya bukunya lebih 15 buku. Ia alumni UIN Sunan Ampel Surabaya dan Universitas Airlangga untuk master dan doktornya.
Sejak menerima gelar itu saya belum pernah satu kali pun menggunakannya. Saya harus tahu diri. Itu hanya gelar kehormatan. Tidak layak dibawa-bawa ke forum publik apalagi forum ilmiah.
Saya adalah saya: lulusan Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqin di desa Takeran, Magetan.
Memang banyak pihak yang menuliskan gelar itu di depan nama saya. Di banyak forum. Saya sering minta agar jangan sebut gelar itu. Sesekali tidak sempat melakukannya.
Maka saya memahami kalau Pak Irwan Hidayat juga gundah. Saran saya: terima saja. Pak Irwan layak mendapat kehormatan itu. Lebih layak daripada saya.
Kebetulan saya pernah diminta menjadi editor buku mengenai Pak Irwan dan Jamu Sido Muncul. Saya mau.
Saya tertarik pada begitu banyak kiat yang ditemukannya. Itu bukan kiat-kiat biasa. Itu kiat-kiat kelas berat yang untuk menemukannya harus lewat perenungan yang dalam.
Saya pun membaca seluruh isi draf buku itu. Menarik. Lalu mengeditnya. Saya selesaikan itu dalam satu minggu.
Saya sudah lupa itu tahun berapa. Rasanya di masa Covid-19. Lalu saya tunggu-tunggu: kok tidak ada kabar buku tersebut sudah diterbitkan. Lalu saya tanya mengapa.
“Saya sungkan. Masak sekelas saya menerbitkan buku,” jawabnya.
Begitulah Irwan Hidayat. Sangat rendah hati. Sederhana. Termasuk dalam caranya berpakaian. Serba sungkan. Serba merendah.
Rupanya ia takut kalau sudah bergelar doktor harus lebih sering pakai dasi dan sepatu mengilap.
Buku, dasi, gelar doktor HC, sebenarnya tidak diperlukan oleh orang seperti Irwan Hidayat. Yang ia perlukan adalah pikiran-pikiran baru agar jamu Jawa tetap relevan di zaman farmasi.
Di situlah karya terbesar Irwan Hidayat: menemukan cara menyejajarkan jamu dengan farmasi. Termasuk dalam teknologi processing-nya.
Itulah sebabnya saya melihat gelar tersebut boleh diterima. Yang lebih saya inginkan: agar buku yang saya edit tersebut segera diterbitkan.
Orang harus tahu bagaimana Irwan Hidayat menemukan karya penting itu. Cara baru itu. Yang tidak mudah ditemukan oleh doktor beneran sekali pun.
Mungkin buku itu bisa diterbitkan bersamaan dengan penerimaan gelar doktor HC tanggal 13 November pagi ini.
Sekaligus bisa jadi pertanggungan jawab ilmiah: tepat atau tidak Irwan Hidayat mendapatkan gelar doktor kehormatan tersebut.
Yang penting: setelah bergelar doktor nanti tetaplah jadi Irwan Hidayat.
Janganlah gaya hidupnya berubah. Sedikit-sedikit pakai gelar itu. Orang justru bisa pangling: mana Irwan Hidayat yang asli. Yang cerdas. Banyak akal. Yang sering hanya pakai sandal.(Dahlan Iskan)