26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kartika MK

Saya kirim potongan berita itu (lihat ilustrasi di atas) ke pengacara Bonyamin Saiman. Benarkah seperti itu. ”Hubungi pengacaranya saja. Mas Arif Sahudi. Saya lagi di Malaysia,” jawab Bonyamin.

Arif Sahudi ternyata partner Bonyamin di kantor pengacara Kartika Law Firm, Solo. ”Iya, kantor itu milik kami berdua,” ujar Arif.

Arif pun bercerita mengapa di berkas di Mahkamah Konstitusi itu tidak ada tanda tangan penggugat maupun pengacaranya.

Penggugat (persyaratan umur calon presiden/wakil)-nya Anda masih ingat: Almas. Ia mahasiswa semester akhir Universitas Surakarta. Putra sulung Bonyamin. Pengacaranya, Arif Sahudi, partner Bonyamin.

Arif bercerita: seluruh sidang gugatan umur capres/cawapres itu dilaksanakan secara online. Penggugat dan pengacara berada di Solo. Para hakim MK di ruang sidang Jakarta –tidak jauh dari Istana.

Di Solo memang ada ”ruang sidang” jarak jauh. Yakni di kampus Universitas 11 Maret (UNS). Di situ dibangun studio mirip ruang sidang pengadilan. Pun di beberapa kampus lain. Termasuk di Undip Semarang dan Unair Surabaya.

Menurut Arif, para penggugat memang bisa memilih: boleh hadir di gedung MK di Jakarta atau dari studio jarak jauh yang ada. Arif pilih di Universitas 11 Maret.

Semua dokumen pun dikirim secara online. Pakai email.

Arif masih ingat sidang pertama dilakukan tanggal 5 Oktober. Saat itu hakim memberi pengarahan apa saja yang masih harus dilengkapi. Termasuk agar legal standing penggugatnya terpenuhi.

Hakim memberi arahan?

”Iya. Itu biasa terjadi. Tidak aneh. Tidak baru. Tidak melanggar. Ada aturan beracaranya,” kata Arif.

Beberapa kali saya konfirmasi kepadanya apakah yang seperti itu boleh. Arif bilang: boleh.

”Saya ini sudah banyak sekali menggugat ke MK. Selalu begitu,” tegasnya.

”Ada 10 gugatan?”

”Lebih,” jawabnya.

”Berapa yang menang?”

”Hanya dua”.

Salah satunya Anda sudah tahu: soal Peninjauan Kembali (PK). Berkat gugatan Arif PK bisa dilakukan berkali-kali. Dari asalnya hanya sekali.

Satunya lagi, yang Anda ributkan sekarang ini: persyaratan umur capres/cawapres.

Yang soal PK, Arif mengingat keberhasilannya itu sambil tertawa-tawa. ”Sialan, ternyata dimanfaatkan oleh para koruptor,” katanya.

Koruptor yang PK pertamanya ditolak Mahkamah Agung bisa mengajukan PK lagi.

Mengapa Anda minta PK harus boleh berkali-kali?

‘Kepastian hukum dan keadilan hukum itu dua hal yang bisa berbeda,” ujar Arif.

Baca Juga :  Safari Harmoko

Kepastian hukum bisa didapat dari putusan pengadilan. Kadang putusan itu belum tentu adil. Maka usaha mencari keadilan tidak boleh dibatasi.

Bagaimana dengan heboh soal etika di MK sekarang ini?

”Itu urusan hakim MK. Waktu mengadili gugatan kami, hakim berpegang pada kode etik atau tidak,” jawabnya. Tidak ada hubungannya dengan penggugat dan pengacaranya.

Seperti juga Bonyamin, Arif mengatakan gugatan itu tidak punya latar belakang politik dinasti. ”Saya tidak kenal Mas Gibran. Bertemu pun seingat saya belum pernah,” katanya.

Arif bercerita, hampir saja ia bertemu Gibran. Baru hampir. Waktu itu ia mengajukan surat. Minta audiensi. Yang akan menghadap wali kota Solo itu adalah pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Solo.

”Kami tidak berhasil menghadap. Pak wali kota tidak punya waktu,” ujar Arif.

Seperti juga Bonyamin, Arif ternyata aktivis PPP. Pernah jadi ketua cabang Solo. Sekarang menjadi ketua pembelaan hukum di pengurus pusat partai.

Berarti sudah dua gugatan yang ditangani Arif dimanfaatkan pihak lain. Yakni para koruptor dan kini para pemburu kekuasaan. Yang pro maupun yang anti.

Ia hanya ingat dua gugatan yang ditolak. Satu, agar seorang menteri jangan jadi caleg. Gagal. MK memutuskan para menteri tetap bisa jadi calon anggota DPR.

Kedua, bagi hasil minyak untuk Blora. Arif ingin Blora yang miskin itu dapat bagi hasil lebih banyak dari minyak mentah blok Cepu. Minyak itu memang disedot dari sumur di Bojonegoro, Jatim, tapi lumbung minyaknya di bawah tanah Blora.

Karena gugatan Arif ditolak, Blora hanya tetap dapat bagian 2,5 persen.

Arif lahir di desa Ringin Pitu, Tulungagung, Jatim. Ia lulus Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di sana. Lalu ke Jombang. Ia kuliah hukum di Universitas Darul Ulum.

Sejak aliyah Arif sudah bercita-cita jadi pengacara.

”Ingin menjadi seperti Adnan Buyung Nasution,” kata Arif. Buyung adalah tokoh nasional di bidang hukum, keadilan dan demokrasi. Reputasi Buyung begitu tinggi sampai menjadi idola banyak anak muda.

Karena itu begitu bergelar SH, Arif  sekolah lagi di Yogyakarta. Di SHAPI (Sekolah Hukum Advokad Profesional Indonesia). ‘

‘Itu sekolah yang didirikan dan dipimpin Pak Artidjo (Alkostar),” ujar Arif. Artidjo adalah pengacara dengan idealisme tinggi. Puncak karirnya: menjadi hakim agung. Ia hakim agung yang sangat ditakuti oleh para koruptor. ‘

Baca Juga :  Jalan Zulhas

‘Saya ini murid beliau,” katanya.

Sekolah di SHAPI hanya satu tahun. Lalu magang di kantor pengacara ternama di Solo: pengacara Mugono SH. Di Mugono-lah Arif bertemu Bonyamin. ‘

‘Pak Bonyamin itu alamat di KTP-nya di rumah pak Mugono,” kata Arif.

Seperti juga Bonyamin, Arif tidak mau memperdagangkan hukum. Termasuk memolitisasikan.

Soal penggugat tidak tanda tangan, Arif balik bertanya: sejak kapan ada aturan penggugat harus tanda tangan.

”Semua sarjana hukum tahu begitu penggugat menunjuk pengacara cukup pengacara yang tanda tangan,” katanya.

”Anda tanda tangan?”

”Pasti,” tegasnya.

Memang Arif mengakui pernah terhambat saat kirim email. Dokumen itu sudah terkirim. Ada bukti digitalnya. Tapi di MK tidak bisa dibuka. Baik yang berbentuk text maupun PDF.

Maka, katanya, dokumen agar dikirim dalam bentuk hard copy. Sambil menunggu datangnya kiriman, Arif diminta mengirimkan secara digital dalam dalam bentuk word. Lewat WA.

Begitulah sidang dengan sistem digital. Sistem online itu bukan karena sejak Covid. Sudah ada jauh sebelum Covid.

Seingat saya prakarsa itu dari Prof Jimly Assiddiqie. Saat itu beliau jadi ketua MK.

Tujuan sidang jarak jauh saat itu untuk pemerataan hukum. Jangan sampai hanya orang Jakarta yang mampu menggugat. Orang daerah juga punya hak.

Maka, jauh sebelum ada sistem zoom, Pak Jimly dan kemudian Prof Mahfud MD, sudah ke sana. Bahwa diadakannya di kampus-kampus itu sekalian agar mahasiswa bisa dapat pengalaman langsung.

Kantor pengacara yang banyak memanfaatkannya ya Kartika Law Firm milik Bonyamin dan Arif.

Nama Kartika dipilih karena  diilhami oleh kehebatan idealisme Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kartika Chandra. Yakni LBH yang didirikan para tokoh mantan aktivis Partai Masyumi dan PPP.

”Kartika Chandra itu artinya kan bulan bintang,” kata Arif. Bulan bintang adalah logo partai Islam Masyumi di masa lalu.

”Kami ambil Kartika-nya saja,” ujarnya.

Pun sampai sekarang, Arif masih jadi sekretaris Yayasan Mega Bintang yang legendaris itu. Ketuanya adalah Bonyamin.

Hukum rupanya seperti kitab suci. Ayat yang menyenangkan pihaknya saja yang lebih banyak dimanfaatkan. (Dahlan Iskan)

Saya kirim potongan berita itu (lihat ilustrasi di atas) ke pengacara Bonyamin Saiman. Benarkah seperti itu. ”Hubungi pengacaranya saja. Mas Arif Sahudi. Saya lagi di Malaysia,” jawab Bonyamin.

Arif Sahudi ternyata partner Bonyamin di kantor pengacara Kartika Law Firm, Solo. ”Iya, kantor itu milik kami berdua,” ujar Arif.

Arif pun bercerita mengapa di berkas di Mahkamah Konstitusi itu tidak ada tanda tangan penggugat maupun pengacaranya.

Penggugat (persyaratan umur calon presiden/wakil)-nya Anda masih ingat: Almas. Ia mahasiswa semester akhir Universitas Surakarta. Putra sulung Bonyamin. Pengacaranya, Arif Sahudi, partner Bonyamin.

Arif bercerita: seluruh sidang gugatan umur capres/cawapres itu dilaksanakan secara online. Penggugat dan pengacara berada di Solo. Para hakim MK di ruang sidang Jakarta –tidak jauh dari Istana.

Di Solo memang ada ”ruang sidang” jarak jauh. Yakni di kampus Universitas 11 Maret (UNS). Di situ dibangun studio mirip ruang sidang pengadilan. Pun di beberapa kampus lain. Termasuk di Undip Semarang dan Unair Surabaya.

Menurut Arif, para penggugat memang bisa memilih: boleh hadir di gedung MK di Jakarta atau dari studio jarak jauh yang ada. Arif pilih di Universitas 11 Maret.

Semua dokumen pun dikirim secara online. Pakai email.

Arif masih ingat sidang pertama dilakukan tanggal 5 Oktober. Saat itu hakim memberi pengarahan apa saja yang masih harus dilengkapi. Termasuk agar legal standing penggugatnya terpenuhi.

Hakim memberi arahan?

”Iya. Itu biasa terjadi. Tidak aneh. Tidak baru. Tidak melanggar. Ada aturan beracaranya,” kata Arif.

Beberapa kali saya konfirmasi kepadanya apakah yang seperti itu boleh. Arif bilang: boleh.

”Saya ini sudah banyak sekali menggugat ke MK. Selalu begitu,” tegasnya.

”Ada 10 gugatan?”

”Lebih,” jawabnya.

”Berapa yang menang?”

”Hanya dua”.

Salah satunya Anda sudah tahu: soal Peninjauan Kembali (PK). Berkat gugatan Arif PK bisa dilakukan berkali-kali. Dari asalnya hanya sekali.

Satunya lagi, yang Anda ributkan sekarang ini: persyaratan umur capres/cawapres.

Yang soal PK, Arif mengingat keberhasilannya itu sambil tertawa-tawa. ”Sialan, ternyata dimanfaatkan oleh para koruptor,” katanya.

Koruptor yang PK pertamanya ditolak Mahkamah Agung bisa mengajukan PK lagi.

Mengapa Anda minta PK harus boleh berkali-kali?

‘Kepastian hukum dan keadilan hukum itu dua hal yang bisa berbeda,” ujar Arif.

Baca Juga :  Safari Harmoko

Kepastian hukum bisa didapat dari putusan pengadilan. Kadang putusan itu belum tentu adil. Maka usaha mencari keadilan tidak boleh dibatasi.

Bagaimana dengan heboh soal etika di MK sekarang ini?

”Itu urusan hakim MK. Waktu mengadili gugatan kami, hakim berpegang pada kode etik atau tidak,” jawabnya. Tidak ada hubungannya dengan penggugat dan pengacaranya.

Seperti juga Bonyamin, Arif mengatakan gugatan itu tidak punya latar belakang politik dinasti. ”Saya tidak kenal Mas Gibran. Bertemu pun seingat saya belum pernah,” katanya.

Arif bercerita, hampir saja ia bertemu Gibran. Baru hampir. Waktu itu ia mengajukan surat. Minta audiensi. Yang akan menghadap wali kota Solo itu adalah pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Solo.

”Kami tidak berhasil menghadap. Pak wali kota tidak punya waktu,” ujar Arif.

Seperti juga Bonyamin, Arif ternyata aktivis PPP. Pernah jadi ketua cabang Solo. Sekarang menjadi ketua pembelaan hukum di pengurus pusat partai.

Berarti sudah dua gugatan yang ditangani Arif dimanfaatkan pihak lain. Yakni para koruptor dan kini para pemburu kekuasaan. Yang pro maupun yang anti.

Ia hanya ingat dua gugatan yang ditolak. Satu, agar seorang menteri jangan jadi caleg. Gagal. MK memutuskan para menteri tetap bisa jadi calon anggota DPR.

Kedua, bagi hasil minyak untuk Blora. Arif ingin Blora yang miskin itu dapat bagi hasil lebih banyak dari minyak mentah blok Cepu. Minyak itu memang disedot dari sumur di Bojonegoro, Jatim, tapi lumbung minyaknya di bawah tanah Blora.

Karena gugatan Arif ditolak, Blora hanya tetap dapat bagian 2,5 persen.

Arif lahir di desa Ringin Pitu, Tulungagung, Jatim. Ia lulus Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di sana. Lalu ke Jombang. Ia kuliah hukum di Universitas Darul Ulum.

Sejak aliyah Arif sudah bercita-cita jadi pengacara.

”Ingin menjadi seperti Adnan Buyung Nasution,” kata Arif. Buyung adalah tokoh nasional di bidang hukum, keadilan dan demokrasi. Reputasi Buyung begitu tinggi sampai menjadi idola banyak anak muda.

Karena itu begitu bergelar SH, Arif  sekolah lagi di Yogyakarta. Di SHAPI (Sekolah Hukum Advokad Profesional Indonesia). ‘

‘Itu sekolah yang didirikan dan dipimpin Pak Artidjo (Alkostar),” ujar Arif. Artidjo adalah pengacara dengan idealisme tinggi. Puncak karirnya: menjadi hakim agung. Ia hakim agung yang sangat ditakuti oleh para koruptor. ‘

Baca Juga :  Jalan Zulhas

‘Saya ini murid beliau,” katanya.

Sekolah di SHAPI hanya satu tahun. Lalu magang di kantor pengacara ternama di Solo: pengacara Mugono SH. Di Mugono-lah Arif bertemu Bonyamin. ‘

‘Pak Bonyamin itu alamat di KTP-nya di rumah pak Mugono,” kata Arif.

Seperti juga Bonyamin, Arif tidak mau memperdagangkan hukum. Termasuk memolitisasikan.

Soal penggugat tidak tanda tangan, Arif balik bertanya: sejak kapan ada aturan penggugat harus tanda tangan.

”Semua sarjana hukum tahu begitu penggugat menunjuk pengacara cukup pengacara yang tanda tangan,” katanya.

”Anda tanda tangan?”

”Pasti,” tegasnya.

Memang Arif mengakui pernah terhambat saat kirim email. Dokumen itu sudah terkirim. Ada bukti digitalnya. Tapi di MK tidak bisa dibuka. Baik yang berbentuk text maupun PDF.

Maka, katanya, dokumen agar dikirim dalam bentuk hard copy. Sambil menunggu datangnya kiriman, Arif diminta mengirimkan secara digital dalam dalam bentuk word. Lewat WA.

Begitulah sidang dengan sistem digital. Sistem online itu bukan karena sejak Covid. Sudah ada jauh sebelum Covid.

Seingat saya prakarsa itu dari Prof Jimly Assiddiqie. Saat itu beliau jadi ketua MK.

Tujuan sidang jarak jauh saat itu untuk pemerataan hukum. Jangan sampai hanya orang Jakarta yang mampu menggugat. Orang daerah juga punya hak.

Maka, jauh sebelum ada sistem zoom, Pak Jimly dan kemudian Prof Mahfud MD, sudah ke sana. Bahwa diadakannya di kampus-kampus itu sekalian agar mahasiswa bisa dapat pengalaman langsung.

Kantor pengacara yang banyak memanfaatkannya ya Kartika Law Firm milik Bonyamin dan Arif.

Nama Kartika dipilih karena  diilhami oleh kehebatan idealisme Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kartika Chandra. Yakni LBH yang didirikan para tokoh mantan aktivis Partai Masyumi dan PPP.

”Kartika Chandra itu artinya kan bulan bintang,” kata Arif. Bulan bintang adalah logo partai Islam Masyumi di masa lalu.

”Kami ambil Kartika-nya saja,” ujarnya.

Pun sampai sekarang, Arif masih jadi sekretaris Yayasan Mega Bintang yang legendaris itu. Ketuanya adalah Bonyamin.

Hukum rupanya seperti kitab suci. Ayat yang menyenangkan pihaknya saja yang lebih banyak dimanfaatkan. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru