SEBELUM menghadiri ulang tahun Jenderal Luhut Pandjaitan saya ke Cibinong. Ke kebun raya bambu. Di tepian sungai Citarum.
Itulah hutan bambu yang ditangani Yayasan Bambu Indonesia. Panjangnya 11 Km. Tentu saya tidak menyusuri sungai sejauh itu. Juga tidak mungkin: bambunya ditanam dalam sangat padat. Apalagi sudah beranak pinak. Sudah jadi untaian rumpun yang padat.
Saya menuju sungai Citarum yang sedang melewati kota Cibinong. Agak di pinggirnya. Tidak menyangka sungai yang membelah kota Jakarta itu begitu hijaunya saat melewati Cibinong.
Saya ke rumah Pak Jatnika. Ia ketua yayasan. Sejak tahun 1986. Sejak zaman menteri perindustrian dijabat Hartarto –-ayah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Zaman itulah lahir Dekranas –dewan kerajinan nasional. Dilakukanlah inventarisasi: Indonesia memiliki kerajinan apa saja. Agar bisa dikembangkan.
“Dari 1.500-an jenis kerajinan yang 80 persen berbahan baku bambu,” ujar Jatnika.
Maka pemerintah mencari perajin bambu unggul. Untuk mendidik perajin bambu di pusat-pusat bambu. Ketemulah Jatnika.
Jatnika orang Cikadang. Kampung itu terletak antara Cibadak dan Pelabuhan Ratu. Sukabumi selatan. Sampai SMA masih di situ.
Sejak kecil Jatnika sudah membantu orang tua menganyam bambu. Lulus SMA Jatnika sudah menguasai kerajinan bambu. Sejak memilih bahan baku, mengolahnya, sampai membuat kerajinannya.
Ia juga menguasai pembuatan alat-alat musik dari bambu. Dan memainkannya. Ia Sunda tulen: menguasai juga tari Sunda dan pencak silatnya.
Mottonya:
Serumpun bambu sejuta makna.
Serumpun bambu sejuta guna.
Serumpun bambu sejuta karya.
Serumpun bambu sejuta pesona.
Makna diambil dari kegunaan yang tidak hanya fisik. Pun sampai dipakai alat menenangkan jiwa. ”Guna”, Anda sudah tahu, tidak ada bagian dari bambu yang terbuang percuma.
Pun daunnya. Daun bambu mengeluarkan oksigen. Terbanyak dibanding daun apa saja.
Satu batang bambu bisa mengeluarkan oksigen untuk seribu orang. Daun itu juga jadi pembungkus bakcang terbaik. Seminggu bakcangnya tidak basi.
Saya sendiri merasakan manfaat bambu secara pribadi. Yakni ketika beranjak remaja. Saat saya harus menjalani sunat. Yang dipakai mengiris ujung pagian luar penis saya adalah sembilu: kulit bambu yang dibuat sangat tajam.
“Bambu itu mengandung antibiotik,” ujar Jatnika. “Yang untuk sunat itu jenis bambu apus. Kulit bambunya,” ujar Jatnika.
Jatnika mendalami bambu sangat dalam. Membaca literatur. Bertemu ahli-ahli bambu dunia. Seminar-seminar. Di banyak negara.
Yayasan Jatnikalah yang menanam bambu di sepanjang 11 km pinggiran Ciliwung. Di daerah itu sudah ditanam 161 jenis bambu. Yang 70-an untuk penyelamatan: hampir saja punah.
Dari jenis sebanyak itu yang manfaat ekonominya paling besar adalah bambu apus. Hampir semua kerajinan dibuat dari jenis bambu apus: lentur, bisa diiris tipis sekali, mudah ditanam.
Yang kedua adalah petung. Karena besarnya. Ketebalannya. Juga karena jarak ruasnya yang pendek-pendek. Kuat. Kokoh. Maskulin. Jadi andalan untuk tiang-tiang rumah bambu.
Dan ternyata begitu banyak jenis bambu petung. Ssmua ada di situ.
Jatnika memang juga ahli membuat rumah bambu. Di komplek yayasannya itu dibangun lebih dari 20 rumah bambu. Ada yang berlantai tiga. Berkamar-kamar. Untuk penginapan peserta didik pelatihan bambu.
“Saya sudah membangun lebih 1.500 rumah bambu. Di 26 negara,” ujar Jatnika. Ia baru pulang umrah ketika saya ke sana. Bersama istrinya.
Rumah bambu terakhir yang ia bangun di Ukraina. Di ibu kota Kiev.
Sebelum perang. Sebelum Covid-19.
Waktu itu duta besar kita di sana adalah Prof Dr Yudi Latif. Intelektual-budayawan. Ahli Pancasila. Ketika pemerintah Ukraina membangun kawasan budaya internasional di Kiev, Indonesia ikut. Dubes Yudi menawarkan rumah bambu khas Indonesia. Sekaligus lima rumah: berbentuk rumah Jawa, Minang dan lumbung khas daerah.
“Saya hampir setahun di sana. Setelah jadi, yang meresmikannya empat kepala negara. Dari Indonesia Wakil Presiden Jusuf Kalla,” katanya.
Dari semua bambu yang ada, saya tertarik satu jenis. Belum pernah saya dengar namanya: Bambu Ampel. Hijau dan kuning. Besar dan tingginya sama dengan bambu ori yang berduri-duri itu. Tidak sebesar petung, tidak sekecil apus.
“Tanamnya mudah. Tumbuhnya cepat,” kata Jatnika.
Nama Ampel disodorkan Jatnika saat saya bertanya: jenis bambu apa yang paling cepat tumbuh. Yang mestinya cocok untuk dikembangkan sebagai bahan baku biomas.
Saya pun minta diantar ke rumpun bambu Ampel. Yang hijau. Tempatnya di bibir Citarum. Satu rumpun ini saja berisi lebih 50 batang. Rimbun.
Saya ingin mencoba menanamnya. Membuktikannya. Apakah benar lebih cepat berkembang. Kalau tidak, pasti kalah dengan petung. Yang dinding batangnya tebal sekali. Ampel tidak setebal petung.
Maka saya minta didongkelkan satu bonggol bambu Ampel. Mendongkel bambu tidak tergolong melawan hukum. Bambu tidak punya kekuasaan.
Usai menghadiri ultah Pak Luhut, bonggol itu saya bawa terbang ke Surabaya. Aman. Pagi harinya saya tanam di Pacet, pegunungan Mojokerto. Tanah lagi kering. Hujan belum juga datang. Sang bonggol harus membuktikan dirinya sebagai makhluk yang mudah ditanam.
Di situ saya juga membeli tali ijuk. Yang warna hitam itu. Jatnika ternyata juga membina perajin tali ijuk. Bangunan bambu memang hampir tidak bisa dipisahkan dari tali ijuk.
“Bambu itu laki-laki. Kaku tapi lemes. Ijuk itu perempuan. Mampu mengikat bambu sampai lengket,” katanya.
Sejak kecil saya ingin jadi bambu. Sejak saya sering tidur di bawah rumpun bambu, sambil mengawasi domba yang saya gembala. Tapi tidak ada ijuk di sana saat itu.(Dahlan Iskan)