HINGGA saat ini Masih ada 18 daerah yang belum menandatangani Naskah
Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan KPU dan 42 daerah dengan Bawaslu.
Alasannya, pemerintah daerah dan KPU daerah belum sepakat terkait besaran
anggaran yang akan disetujui.
Komisioner KPU RI, Pramono Ubaid
Tanthowi mengatakan beberapa masalah yang terjadi di 18 daerah tersebut. Di
mana sebagian besar pemerintah daerah mematok angka secara sepihak tanpa
pembahasan dengan pihak KPU di daerah.
Pramono menambahkan, telah
dihasilkan beberapa kesepakatan. Pertama, Kemenkopolhukam bersama Kemendagri
(Otda maupun Keuda) akan turun langsung ke beberapa daerah yang mengalami
kendala soal NPHD.
“Kedua, Kemendagri (keuda) mulai
memanggil Pemda dari daerah-daerah yang belum tanda tangan NPHD ke Jakarta, per
hari ada 3 daerah untuk diarahkan agar segera memproses NPHD,†tutur Pramono di
Jakarta, Rabu (23/10).
Bahkan, kalau diperlukan pos-pos
anggaran tertuntu ditunda dan digeser untuk kepentingan pembiayaan Pilkada
2020. Ia melanjutkan, semua pihak juga menyepakati wacana agar pembiayaan
Pilkada ke depan dianggarkan melalui APBN, dan tidak lagi melalui APBD.
“Beberapa Pemda selama ini
menganggap bahwa Pilkada adalah hajatnya KPU. Dan anggapan ini tidak tepat.
Karena Pilkada adalah agenda strategis nasional dan amanat UU Pilkada, yang
harus disukseskan oleh Pemerintah. Sehingga Pemda tidak boleh menghambat
pelaksanaan Pilkada dengan memperlambat NPHD atau menyediakan anggaran yang
tidak cukup,†bebernya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI
Abhan berharap, persoalan NPHD yang terjadi di beberapa provinsi dan
kabupaten/kota bisa selesai pada 26 Oktober 2019 mendatang. Hal ini agar
Bawaslu tidak terlambat mengawasi tahapan pilkada.
“Kami telah berkoordinasi dengan
Kemendagri dan pemda untuk mendorong agar persoalan ini ada titik temu.
Mudah-mudahan bisa cepat selesai,†ungkap Abhan. Diketahui, beberapa Bawaslu
tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih menghadapi persoalan NPHD.
Menurutnya, ada pemda yang tidak
memiliki anggaran. Ada juga pemda yang anggarannya sedikit sehingga tidak
memenuhi kebutuhan Bawaslu dalam mengawasi Pilkada Serentak 2020. Untuk itu,
Abhan meminta jajarannya menjalin koordinasi dengan pemda di daerahnya
masing-masing.
“Anggaran tidak perlu berlebih
yang penting cukup akan kami terima. Supaya bisa menjalankan tugas-tugas fungsi
pengawasan,†paparnya.
Dia memastikan wewenang Bawaslu
dalam pesta demokrasi yang berlangsung di 270 daerah ini tidak jauh berbeda
dengan wewenang dalam Pemilu 2019 lalu. Meski ada perbedaan antara
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dengan Undang-Undang 10 Tahun 2016
tentang Pilkada.
Polemik anggaran untuk pengawasan pemilihan kepala daerah (pilkada) Kalteng
2020 mendatang tak kunjung rampung. Tenggang waktu yang diberikan oleh
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada pemerintah daerah (pemda), agar
segera meneken naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) sudah lewat, yakni 14
Oktober lalu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ogah menandatangani anggaran yang
diberikan untuk mengawasi jalannya pesta demokrasi tahun depan.
Bawaslu Kalteng tetap menyerahkan sepenuhnya permasalahan anggaran pilkada
Kalteng kepada Bawaslu pusat. Ketua Bawaslu Kalteng Satriadi menyebut, perihal
tidak adanya kesepakatan anggaran pengawasan pilkada untuk ad-hoc ini sudah
disampaikan kepada pemerintah pusat. Sebab, besaran honor untuk pengawas ad-hoc
sudah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Bawaslu pusat
meminta Bawaslu se-Indonesia menerapkan keputusan itu.
“Usai teken ketidaksepakatan anggaran bersama Pemprov Kalteng, kami sudah
sampaikan kepada pusat,†katanya saat dikonfirmasi, Rabu (23/10).
Sampai saat ini, lanjutnya, Bawaslu RI masih tetap mengarahkan Bawaslu
Kalteng untuk tetap bertahan dengan dengan anggaran pada angka Rp95,4 miliar.
Lantaran, ketetapan honor pengawas ad-hoc sudah sesuai surat Kemenkeu RI. (khf/fin/rh/abw/nue/ce/ala/kpc)