33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mengembalikan Hak Ekonomi Masyarakat Desa

IMPLEMENTASI Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
menjadi titik mula diterapkannya paradigma pembangunan dari bawah (desa).
Dikatakan demikian karena secara sosiologis mayoritas penduduk dengan segala
permasalahannya berada di desa dan kebijakan otonomi desa salah satunya
dimaksudkan untuk menggairahkan ekonomi lokal serta penghidupan masyarakat
desa. Karena itulah, UU tersebut mewarisi konsepsi local economic development
(LED).

Sebagai sebuah proses pembangunan
partisipatif, LED mendorong pengaturan kemitraan antarpihak, memungkinkan
terumuskannya rancangan dan implementasi strategi pembangunan bersama,
memanfaatkan sumber daya lokal dan keuntungan kompetitif dalam konteks global,
dengan tujuan akhir menciptakan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan
ekonomi (Gasser dkk, 2005).

LED mengisyaratkan ikhtiar
pembangunan di tingkat lokal desa yang tidak bisa lepas dari potensi desa,
perencanaan yang partisipatif, serta pelaksanaan yang transparan dan akuntabel.
Tidak dibenarkan elite capture menjadi “panglima” dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan desa. Dengan kata lain, pembangunan pada lokal desa
harus mengedepankan pemberdayaan masyarakat, menjadikan masyarakat desa sebagai
subjek dan objek pembangunan sekaligus.

Sejatinya kerangka pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa telah dilaksanakan pemerintah Indonesia
sebelum ditetapkannya UU Desa. Salah satunya untuk mempercepat penanggulangan
kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat pedesaan,
pemerintah melalui Perpres 15/2010 meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM). Salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) yang
dikembangkan dari program pengembangan kecamatan (PPK).

Program itu tersebar di 5.301
kecamatan dan 404 kabupaten/kota. Bentuk kegiatannya adalah bantuan langsung
masyarakat (BLM) yang bersumber dari bantuan sosial/hibah. Pengguliran BLM yang
selanjutnya disebut dana bergulir masyarakat (DBM) dilakukan kelembagaan ad hoc
yang dibentuk musyawarah antardesa (MAD) bernama unit pengelola kegiatan/UPK
(berkedudukan di kecamatan) dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di
desa-desa melalui tim pengelola kegiatan (TPK).

Baca Juga :  Proyek Food Estate Harus Diawasi dan Didukung

Transisi Program Pemberdayaan Desa

Akhir 2014, pelaksanaan PNPM-MPd
berakhir bersamaan dengan lahirnya UU Desa. Pada 2015 Kementerian Desa-PDTT
diresmikan melalui Perpres 12/2015.

Peristiwa hukum ini
ditindaklanjuti dengan serah terima pembiayaan pegawai dan dokumen (P2D) dari
Kementerian Dalam Negeri kepada Kemendes-PDTT pada April 2015. Salah satu
bagian tak terpisahkan dari serah terima adalah penyerahan kewenangan
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat desa serta aset kelembagaan maupun aset
dana bergulir eks PNPM-MPd.

Terjadinya perbedaan tafsir
terkait keberlanjutan pengelolaan DBM oleh UPK telah memunculkan banyak
permasalahan yang bertentangan dengan UU Desa dan bermuara pada penurunan
kualitas partisipatif masyarakat. DBM hanya dinikmati pengelola/pengurus dan
kelompok orang yang terlibat pengelolaan dana bergulir. Sedangkan masyarakat
desa sebagai pemilik DBM tidak dapat menerima manfaatnya.

Pertama, pengelolaan DBM tidak
sesuai dengan petunjuk teknis operasional PNPM-MPd. Dalam kondisi minim
pembinaan dan pengawasan, beberapa UPK mengidentifikasi dirinya sebagai
“penguasa” aset dan dana bergulir. UPK cenderung melakukan perencanaan sendiri
tanpa melalui MAD. Bahkan cenderung mengabaikan pertanggungjawaban kepada badan
kerja sama antardesa (BKAD) sebagai pemegang mandat wakil dari seluruh
masyarakat desa di kecamatan.

Kedua, “privatisasi” kelembagaan
UPK beserta aset-asetnya. Ada upaya pengalihan bentuk kelembagaan yang semula
bersifat ad hoc ke dalam bentuk lembaga privat seperti koperasi,
perusahaan/perseroan terbatas (PT), dan perkumpulan berbadan hukum (PBH).

Ketiga, permasalahan hukum
pengelolaan dan pengguliran DBM. Penyalahgunaan peruntukan atau pengguliran DBM
serta pengelolaan UPK yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan menjadi
penyebab pengelola UPK mempertanggungjawabkan di depan aparat penegak hukum.

BUM Desa Bersama

Berdasar catatan Kemendes-PDTT,
sampai 2017 DBM telah dimanfaatkan langsung oleh 653.759 kelompok masyarakat
(rata-rata kelompok beranggota 20 orang). Selain aset kelembagaan, DBM tercatat
memiliki total aset sekitar Rp 12,6 triliun (laporan dari sebagian besar dinas PMD
provinsi) dengan sebaran sebanyak 46 persen di Pulau Jawa dan 54 persen di luar
Jawa. Apabila dikelola dengan benar dan baik, aset itu akan mempercepat
akselerasi desa. Dari desa tertinggal, bahkan sangat tertinggal, menjadi desa
maju dan desa mandiri.

Baca Juga :  Sugianto-Habib Kompak Resmikan Jembatan Penghubung di Wilayah Barito

Filosofi perguliran dana
masyarakat sejak awal (PNPM-MPd) sangat berbeda dengan praktik lembaga keuangan
mikro. Sehingga pilihan menjadikannya sebagai lembaga keuangan mikro, baik
dalam badan hukum PT ataupun koperasi, bukanlah pilihan tepat. Apalagi, sumber
satu-satunya DBM adalah bantuan langsung pemerintah kepada masyarakat dalam
bentuk uang dan pemupukan modal. Sama sekali tidak mengerahkan dana masyarakat
dalam bentuk/produk apa pun. Sehingga jelas, status kepemilikan atas dana dan
aset lain yang diperoleh dari aktivitas tersebut sepenuhnya milik masyarakat
desa.

UU Desa mengatur kelembagaan
usaha/pelayanan antardesa dengan basis kerja sama antardesa melalui kelembagaan
BKAD. Selanjutnya, terkait reorganisasi UPK, tata kelolanya dapat diatur dalam
AD/ART yang memuat seluruh isi aturan PTO-SOP PNPM-MPd. Dengan demikian, bentuk
yang sesuai untuk lembaga pengelola DBM hasil PNPM-MPd adalah badan usaha milik
desa bersama (BUMDesma), unit pelayanan DBM.

Untuk itu, diperlukan sinergi
antarlembaga untuk menyelesaikan problem kelembagaan ini agar DBM dapat
dimanfaatkan kembali oleh seluruh masyarakat desa, bukan hanya oleh segelintir
elite pengelola. Dengan demikian, DBM akan menjadi salah satu pijakan kita dalam
mewujudkan kebangkitan dan kemandirian desa, kemaslahatan warga, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik dari sisi kesehatan maupun
pendidikan. Inilah salah satu fondasi mewujudkan Desa Surga, Desa Semua untuk
Warga. (*)

(Penulis adalah Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Ketua DPW PKB Jawa Timur)

IMPLEMENTASI Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
menjadi titik mula diterapkannya paradigma pembangunan dari bawah (desa).
Dikatakan demikian karena secara sosiologis mayoritas penduduk dengan segala
permasalahannya berada di desa dan kebijakan otonomi desa salah satunya
dimaksudkan untuk menggairahkan ekonomi lokal serta penghidupan masyarakat
desa. Karena itulah, UU tersebut mewarisi konsepsi local economic development
(LED).

Sebagai sebuah proses pembangunan
partisipatif, LED mendorong pengaturan kemitraan antarpihak, memungkinkan
terumuskannya rancangan dan implementasi strategi pembangunan bersama,
memanfaatkan sumber daya lokal dan keuntungan kompetitif dalam konteks global,
dengan tujuan akhir menciptakan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan
ekonomi (Gasser dkk, 2005).

LED mengisyaratkan ikhtiar
pembangunan di tingkat lokal desa yang tidak bisa lepas dari potensi desa,
perencanaan yang partisipatif, serta pelaksanaan yang transparan dan akuntabel.
Tidak dibenarkan elite capture menjadi “panglima” dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan desa. Dengan kata lain, pembangunan pada lokal desa
harus mengedepankan pemberdayaan masyarakat, menjadikan masyarakat desa sebagai
subjek dan objek pembangunan sekaligus.

Sejatinya kerangka pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa telah dilaksanakan pemerintah Indonesia
sebelum ditetapkannya UU Desa. Salah satunya untuk mempercepat penanggulangan
kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat pedesaan,
pemerintah melalui Perpres 15/2010 meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM). Salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) yang
dikembangkan dari program pengembangan kecamatan (PPK).

Program itu tersebar di 5.301
kecamatan dan 404 kabupaten/kota. Bentuk kegiatannya adalah bantuan langsung
masyarakat (BLM) yang bersumber dari bantuan sosial/hibah. Pengguliran BLM yang
selanjutnya disebut dana bergulir masyarakat (DBM) dilakukan kelembagaan ad hoc
yang dibentuk musyawarah antardesa (MAD) bernama unit pengelola kegiatan/UPK
(berkedudukan di kecamatan) dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di
desa-desa melalui tim pengelola kegiatan (TPK).

Baca Juga :  Proyek Food Estate Harus Diawasi dan Didukung

Transisi Program Pemberdayaan Desa

Akhir 2014, pelaksanaan PNPM-MPd
berakhir bersamaan dengan lahirnya UU Desa. Pada 2015 Kementerian Desa-PDTT
diresmikan melalui Perpres 12/2015.

Peristiwa hukum ini
ditindaklanjuti dengan serah terima pembiayaan pegawai dan dokumen (P2D) dari
Kementerian Dalam Negeri kepada Kemendes-PDTT pada April 2015. Salah satu
bagian tak terpisahkan dari serah terima adalah penyerahan kewenangan
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat desa serta aset kelembagaan maupun aset
dana bergulir eks PNPM-MPd.

Terjadinya perbedaan tafsir
terkait keberlanjutan pengelolaan DBM oleh UPK telah memunculkan banyak
permasalahan yang bertentangan dengan UU Desa dan bermuara pada penurunan
kualitas partisipatif masyarakat. DBM hanya dinikmati pengelola/pengurus dan
kelompok orang yang terlibat pengelolaan dana bergulir. Sedangkan masyarakat
desa sebagai pemilik DBM tidak dapat menerima manfaatnya.

Pertama, pengelolaan DBM tidak
sesuai dengan petunjuk teknis operasional PNPM-MPd. Dalam kondisi minim
pembinaan dan pengawasan, beberapa UPK mengidentifikasi dirinya sebagai
“penguasa” aset dan dana bergulir. UPK cenderung melakukan perencanaan sendiri
tanpa melalui MAD. Bahkan cenderung mengabaikan pertanggungjawaban kepada badan
kerja sama antardesa (BKAD) sebagai pemegang mandat wakil dari seluruh
masyarakat desa di kecamatan.

Kedua, “privatisasi” kelembagaan
UPK beserta aset-asetnya. Ada upaya pengalihan bentuk kelembagaan yang semula
bersifat ad hoc ke dalam bentuk lembaga privat seperti koperasi,
perusahaan/perseroan terbatas (PT), dan perkumpulan berbadan hukum (PBH).

Ketiga, permasalahan hukum
pengelolaan dan pengguliran DBM. Penyalahgunaan peruntukan atau pengguliran DBM
serta pengelolaan UPK yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan menjadi
penyebab pengelola UPK mempertanggungjawabkan di depan aparat penegak hukum.

BUM Desa Bersama

Berdasar catatan Kemendes-PDTT,
sampai 2017 DBM telah dimanfaatkan langsung oleh 653.759 kelompok masyarakat
(rata-rata kelompok beranggota 20 orang). Selain aset kelembagaan, DBM tercatat
memiliki total aset sekitar Rp 12,6 triliun (laporan dari sebagian besar dinas PMD
provinsi) dengan sebaran sebanyak 46 persen di Pulau Jawa dan 54 persen di luar
Jawa. Apabila dikelola dengan benar dan baik, aset itu akan mempercepat
akselerasi desa. Dari desa tertinggal, bahkan sangat tertinggal, menjadi desa
maju dan desa mandiri.

Baca Juga :  Sugianto-Habib Kompak Resmikan Jembatan Penghubung di Wilayah Barito

Filosofi perguliran dana
masyarakat sejak awal (PNPM-MPd) sangat berbeda dengan praktik lembaga keuangan
mikro. Sehingga pilihan menjadikannya sebagai lembaga keuangan mikro, baik
dalam badan hukum PT ataupun koperasi, bukanlah pilihan tepat. Apalagi, sumber
satu-satunya DBM adalah bantuan langsung pemerintah kepada masyarakat dalam
bentuk uang dan pemupukan modal. Sama sekali tidak mengerahkan dana masyarakat
dalam bentuk/produk apa pun. Sehingga jelas, status kepemilikan atas dana dan
aset lain yang diperoleh dari aktivitas tersebut sepenuhnya milik masyarakat
desa.

UU Desa mengatur kelembagaan
usaha/pelayanan antardesa dengan basis kerja sama antardesa melalui kelembagaan
BKAD. Selanjutnya, terkait reorganisasi UPK, tata kelolanya dapat diatur dalam
AD/ART yang memuat seluruh isi aturan PTO-SOP PNPM-MPd. Dengan demikian, bentuk
yang sesuai untuk lembaga pengelola DBM hasil PNPM-MPd adalah badan usaha milik
desa bersama (BUMDesma), unit pelayanan DBM.

Untuk itu, diperlukan sinergi
antarlembaga untuk menyelesaikan problem kelembagaan ini agar DBM dapat
dimanfaatkan kembali oleh seluruh masyarakat desa, bukan hanya oleh segelintir
elite pengelola. Dengan demikian, DBM akan menjadi salah satu pijakan kita dalam
mewujudkan kebangkitan dan kemandirian desa, kemaslahatan warga, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik dari sisi kesehatan maupun
pendidikan. Inilah salah satu fondasi mewujudkan Desa Surga, Desa Semua untuk
Warga. (*)

(Penulis adalah Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Ketua DPW PKB Jawa Timur)

Terpopuler

Artikel Terbaru