30.1 C
Jakarta
Sunday, November 17, 2024

Nonfiksi Luwes yang Tak Sampai Memasung Misi Utama

Seperti roti lapis, John Roosa membuat pembaca dengan nikmat menyantap kisah (yang sama sekali tidak nikmat), lalu diberi alat bantu teori dan konsep demi menguak kebenaran, lalu dipungkasi dengan cerita lagi.

NONFIKSI yang baik adalah yang membuat pembacanya keenakan seperti didongengi dan Riwayat Terkubur adalah salah satunya. Sepanjang 512 halaman, kekerasan antikomunis tahun 1960-an di Indonesia, ketika ratusan ribu bahkan jutaan warga dibantai sesamanya, ditulis dengan begitu menghanyutkan oleh John Roosa.

Riwayat Terkubur adalah keping terakhir trilogi ”kekerasan antikomunis di Indonesia” oleh Roosa sendiri. Dua pendahulunya, Dalih Pembunuhan Massal jadi karya ilmiah komprehensif soal Gerakan 30 September yang oleh orde Soeharto diimbuhi PKI dan Tahun yang Tidak Pernah Berakhir bertujuan mengangkat narasi korban.

Riwayat Terkubur menggabungkan pedihnya suara korban di buku kedua dengan ketatnya kerangka berpikir di buku pertama. Di sinilah kualitas buku peraih Kahin Prize 2023 itu terlihat sebagai ”nonfiksi rasa fiksi”.

Pada bab ”Kata-Kata di Bawah Siksa”, misalnya, Roosa bolak-balik secara mulus antara narasi dan teori. Bab dibuka dengan perubahan Studio Infico yang selama 1950–1960-an dihidupi para sineas progresif untuk kemudian disita angkatan darat dan jadi pusat interogasi… plus penyiksaan.

Puitis sekaligus ironis. ”Adegan rekaan yang dimainkan di studio digantikan oleh adegan sungguhan yang menyebabkan para tahanan cacat permanen” (hal 162). Begitu cara Roosa mengatakan bahwa interogasi ibarat riset sebelum menulis skenario film belaka. Teorinya meminjam dari Lindsay Dubois yang meriset soal interogasi dalam pembantaian dan penculikan sipil oleh junta militer Argentina.

Kemudian, untuk mengingatkan bahwa ini semuanya riwayat manusia, bukan angka bukan teori belaka, Roosa menutupnya dengan kisah begini:

Seorang veteran Angkatan Udara difitnah sebagai PKI bawah tanah. Diinterogasi sebagai formalitas, lalu dibui belasan tahun. Istrinya bilang tetap bahagia meski hidup mereka minus. ”Kami tinggal di daerah Sukasenang, di Jalan Senang Hati, tidak jauh dari jalan besar: Jalan Pahlawan.” (hal 214)

Baca Juga :  Pendulum

Struktur penulisan ”Kisah-Teori-Kisah” dipakai di nyaris semua bab. Seperti roti lapis, Roosa membuat pembaca dengan nikmat menyantap kisah (yang sama sekali tidak nikmat), lalu diberi alat bantu teori dan konsep demi menguak kebenaran, lalu dipungkasi dengan cerita lagi.

Ingat, Ini Nonfiksi

Betapa pun luwesnya naratif Riwayat Terkubur, ingat, ini nonfiksi. Bukan dongeng. Karena itu, terbitan Marjin Kiri ini adalah kebalikan koran-koran militer pasca 30 September 1965 yang justru mewartakan berita-berita palsu. Yang justru jadi fiksi. Yang, celakanya, ”fiksi jempolan” sebab sukses menyihir pembaca sehingga mereka seolah sedang menghadapi kenyataan hakiki.

”Kenyataan” bahwa pembantaian adalah konflik dari bawah. Bahwa angkatan darat justru berusaha mengendalikan keberingasan murka rakyat atas setan kuminis. Bahwa ”kita” sedang berperang dengan PKI laknat.

”Kenyataan-kenyataan” tersebut dibongkar oleh Roosa lewat tiga simpulan besar. Bahwa kekerasan brutal antarwarga bukanlah pola yang lazim di Indonesia, bahkan hingga beberapa waktu setelah 30 September 1965. Bahwa justru angkatan daratlah yang terlibat aktif maupun pasif dalam pembantaian di semua tempat. Bahwa bukan perang namanya bila musuh yang dibabat tangannya terikat, matanya tertutup, tanpa senjata.

Simpulan-simpulan itu didapat sang profesor sejarah lewat kerja akademik selama dua dekade. Roosa punya misi untuk menggabungkan dua karya bertopik kekerasan antikomunis di Indonesia: Berkas Genosida karya Jess Melvin dan Musim Menjagal karya Geoffrey Robinson.

Yang pertama fokus pada pembuktian lewat arsip tertulis bahwa angkatan daratlah aktor utama pembantaian antikomunis pasca 30 September 1965. Sementara yang kedua memotret gambar besar pembantaian di level nasional untuk memetakan polanya.

Baca Juga :  Tiga Generasi Perempuan Oman Berkisah Ketimpangan

Dengan berdiri di atas bahu ”dua raksasa” tersebut, Riwayat Terkubur berusaha menyusun kerangka analisis pola kekerasan nasional sambil meneliti situasi tiap-tiap lokal yang khas. Ada empat daerah yang jadi fokusnya, yakni Solo, Bali, Sumatera Selatan, dan Riau.

Mendayung antara lokal-nasional, profesor sejarah ini menghasilkan teori ”analisis empat aktor”, yakni bahwa kekerasan antikomunis di tiap daerah sejalan dengan imbangan kekuatan antara komando tinggi (pusat), komando daerah, unsur politik antikomunis (partai dan ormas), dan PKI.

Teori ini merupakan sumbangsih penting. Analisis empat aktor menjelaskan alasan Bali yang PKI-nya lemah dan Jawa Tengah sebagai benteng komunis sama-sama jadi wilayah dengan jumlah korban terbanyak. Jawabannya: kedatangan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Sarwo Edhie, mertua SBY.

Di Bali, Roosa berbicara dengan saksi mata yang mengatakan bahwa tahanan tak berdaya diberondong RPKAD langsung dengan panser. Sementara di Jawa Tengah, kedatangan RPKAD mengubah konflik ”kecil” angkatan darat menjadi kubangan darah sipil tertuduh komunis.

Pada akhirnya, Riwayat Terkubur adalah riwayat. Bukan dongeng. Ini nonfiksi. Dan kenikmatan membaca sebuah nonfiksi yang baik tidak boleh memasung misi utamanya: sebagai rujukan valid. Riwayat Terkubur, lewat wawancara 400+ narasumber dan segudang arsip serta pustaka, sama sekali tidak melupakan tugas utamanya. (*)

Judul: Riwayat Terkubur (judul asli: Buried Histories)

Penulis: John Roosa

Penerjemah: Hendarto Setiadi

Penerbit: Marjin Kiri

Terbit: Mei 2024

Tebal: xviii + 512 hlm; 14 x 20,3 x 3 cm

ISBN 978-602-0788-51-7

*) Ardhias Nauvaly Azzuhry, anggota Komunitas Radiobuku

Seperti roti lapis, John Roosa membuat pembaca dengan nikmat menyantap kisah (yang sama sekali tidak nikmat), lalu diberi alat bantu teori dan konsep demi menguak kebenaran, lalu dipungkasi dengan cerita lagi.

NONFIKSI yang baik adalah yang membuat pembacanya keenakan seperti didongengi dan Riwayat Terkubur adalah salah satunya. Sepanjang 512 halaman, kekerasan antikomunis tahun 1960-an di Indonesia, ketika ratusan ribu bahkan jutaan warga dibantai sesamanya, ditulis dengan begitu menghanyutkan oleh John Roosa.

Riwayat Terkubur adalah keping terakhir trilogi ”kekerasan antikomunis di Indonesia” oleh Roosa sendiri. Dua pendahulunya, Dalih Pembunuhan Massal jadi karya ilmiah komprehensif soal Gerakan 30 September yang oleh orde Soeharto diimbuhi PKI dan Tahun yang Tidak Pernah Berakhir bertujuan mengangkat narasi korban.

Riwayat Terkubur menggabungkan pedihnya suara korban di buku kedua dengan ketatnya kerangka berpikir di buku pertama. Di sinilah kualitas buku peraih Kahin Prize 2023 itu terlihat sebagai ”nonfiksi rasa fiksi”.

Pada bab ”Kata-Kata di Bawah Siksa”, misalnya, Roosa bolak-balik secara mulus antara narasi dan teori. Bab dibuka dengan perubahan Studio Infico yang selama 1950–1960-an dihidupi para sineas progresif untuk kemudian disita angkatan darat dan jadi pusat interogasi… plus penyiksaan.

Puitis sekaligus ironis. ”Adegan rekaan yang dimainkan di studio digantikan oleh adegan sungguhan yang menyebabkan para tahanan cacat permanen” (hal 162). Begitu cara Roosa mengatakan bahwa interogasi ibarat riset sebelum menulis skenario film belaka. Teorinya meminjam dari Lindsay Dubois yang meriset soal interogasi dalam pembantaian dan penculikan sipil oleh junta militer Argentina.

Kemudian, untuk mengingatkan bahwa ini semuanya riwayat manusia, bukan angka bukan teori belaka, Roosa menutupnya dengan kisah begini:

Seorang veteran Angkatan Udara difitnah sebagai PKI bawah tanah. Diinterogasi sebagai formalitas, lalu dibui belasan tahun. Istrinya bilang tetap bahagia meski hidup mereka minus. ”Kami tinggal di daerah Sukasenang, di Jalan Senang Hati, tidak jauh dari jalan besar: Jalan Pahlawan.” (hal 214)

Baca Juga :  Pendulum

Struktur penulisan ”Kisah-Teori-Kisah” dipakai di nyaris semua bab. Seperti roti lapis, Roosa membuat pembaca dengan nikmat menyantap kisah (yang sama sekali tidak nikmat), lalu diberi alat bantu teori dan konsep demi menguak kebenaran, lalu dipungkasi dengan cerita lagi.

Ingat, Ini Nonfiksi

Betapa pun luwesnya naratif Riwayat Terkubur, ingat, ini nonfiksi. Bukan dongeng. Karena itu, terbitan Marjin Kiri ini adalah kebalikan koran-koran militer pasca 30 September 1965 yang justru mewartakan berita-berita palsu. Yang justru jadi fiksi. Yang, celakanya, ”fiksi jempolan” sebab sukses menyihir pembaca sehingga mereka seolah sedang menghadapi kenyataan hakiki.

”Kenyataan” bahwa pembantaian adalah konflik dari bawah. Bahwa angkatan darat justru berusaha mengendalikan keberingasan murka rakyat atas setan kuminis. Bahwa ”kita” sedang berperang dengan PKI laknat.

”Kenyataan-kenyataan” tersebut dibongkar oleh Roosa lewat tiga simpulan besar. Bahwa kekerasan brutal antarwarga bukanlah pola yang lazim di Indonesia, bahkan hingga beberapa waktu setelah 30 September 1965. Bahwa justru angkatan daratlah yang terlibat aktif maupun pasif dalam pembantaian di semua tempat. Bahwa bukan perang namanya bila musuh yang dibabat tangannya terikat, matanya tertutup, tanpa senjata.

Simpulan-simpulan itu didapat sang profesor sejarah lewat kerja akademik selama dua dekade. Roosa punya misi untuk menggabungkan dua karya bertopik kekerasan antikomunis di Indonesia: Berkas Genosida karya Jess Melvin dan Musim Menjagal karya Geoffrey Robinson.

Yang pertama fokus pada pembuktian lewat arsip tertulis bahwa angkatan daratlah aktor utama pembantaian antikomunis pasca 30 September 1965. Sementara yang kedua memotret gambar besar pembantaian di level nasional untuk memetakan polanya.

Baca Juga :  Tiga Generasi Perempuan Oman Berkisah Ketimpangan

Dengan berdiri di atas bahu ”dua raksasa” tersebut, Riwayat Terkubur berusaha menyusun kerangka analisis pola kekerasan nasional sambil meneliti situasi tiap-tiap lokal yang khas. Ada empat daerah yang jadi fokusnya, yakni Solo, Bali, Sumatera Selatan, dan Riau.

Mendayung antara lokal-nasional, profesor sejarah ini menghasilkan teori ”analisis empat aktor”, yakni bahwa kekerasan antikomunis di tiap daerah sejalan dengan imbangan kekuatan antara komando tinggi (pusat), komando daerah, unsur politik antikomunis (partai dan ormas), dan PKI.

Teori ini merupakan sumbangsih penting. Analisis empat aktor menjelaskan alasan Bali yang PKI-nya lemah dan Jawa Tengah sebagai benteng komunis sama-sama jadi wilayah dengan jumlah korban terbanyak. Jawabannya: kedatangan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Sarwo Edhie, mertua SBY.

Di Bali, Roosa berbicara dengan saksi mata yang mengatakan bahwa tahanan tak berdaya diberondong RPKAD langsung dengan panser. Sementara di Jawa Tengah, kedatangan RPKAD mengubah konflik ”kecil” angkatan darat menjadi kubangan darah sipil tertuduh komunis.

Pada akhirnya, Riwayat Terkubur adalah riwayat. Bukan dongeng. Ini nonfiksi. Dan kenikmatan membaca sebuah nonfiksi yang baik tidak boleh memasung misi utamanya: sebagai rujukan valid. Riwayat Terkubur, lewat wawancara 400+ narasumber dan segudang arsip serta pustaka, sama sekali tidak melupakan tugas utamanya. (*)

Judul: Riwayat Terkubur (judul asli: Buried Histories)

Penulis: John Roosa

Penerjemah: Hendarto Setiadi

Penerbit: Marjin Kiri

Terbit: Mei 2024

Tebal: xviii + 512 hlm; 14 x 20,3 x 3 cm

ISBN 978-602-0788-51-7

*) Ardhias Nauvaly Azzuhry, anggota Komunitas Radiobuku

Terpopuler

Artikel Terbaru