27.3 C
Jakarta
Friday, September 20, 2024

Perkara No 6.1/Pdt.G/2023

Oleh WENDOKO

”Saudara Saksi, sebagai karyawan di Perusahaan P, apakah Saudara tahu hubungan Tuan T dengan Perusahaan P?” ”Tahu, Pak Hakim. Perusahaan P adalah penyewa, sedangkan Tuan T adalah pemilik bangunan dua lantai di Distrik D yang disewa Perusahaan P.”

“JADI Perusahaan P adalah penyewa dan Tuan T adalah pemilik yang menyewakan?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Sepengetahuan Saudara, untuk apa Perusahaan P menyewa bangunan milik Tuan T ini?”

”Untuk perluasan restoran di Distrik D, sebagai bisnis Perusahaan P di Distrik D, Pak Hakim.”

”Begitu? Lalu sepengetahuan Saudara, apakah sewa-menyewa ini dibuat tertulis, semacam perjanjian, surat kontrak, atau yang lain?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Yang mana…? Dibuat atau tidak dibuat tertulis?”

”Dibuat tertulis, Pak Hakim!”

Hakim ketua memandang berkas perkara di hadapannya. Sidang di siang bolong ini sudah molor setengah jam dari agenda. Di barisan tengah tempat duduk di ruang sidang itu tampak segelintir orang, yang dari penampilannya pasti tak ada hubungan dengan perkara ini. Mereka adalah laki-laki dan perempuan paro baya, lalu beberapa perempuan muda.

Mungkin mereka adalah saksi-saksi, atau penggugat dan keluarga yang mengantar untuk sidang berikutnya, dan mereka duduk di sana karena sidang ini terbuka untuk umum. Hakim ketua berpikir, masih ada satu sidang lagi, sementara dia punya urusan mendadak dan saksi di depannya cenderung bertele-tele dan menjengkelkan.

Belum lama istrinya menelepon. Karena tak diangkat, istrinya meninggalkan pesan bahwa anak mereka yang masih mahasiswa tahun pertama diringkus polisi gara-gara berdemo di depan Istana Presiden.

”Menurut Saudara, apakah kedua pihak telah memperoleh hak dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian, surat kontrak, atau yang lainnya itu?”

”…Saya tidak tahu.”

”Tidak tahu… Baik. Saudara Saksi, bangunan dua lantai di Distrik D yang disewa Perusahaan P ini lalu rusak akibat penjarahan. Betul begitu?”

”Saya, Pak Hakim!”

”Kapan itu terjadi?”

”Kira-kira setahun lalu.”

”Jadi pada Januari setahun yang lalu?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Siapa yang menjarah?”

”Massa tak dikenal.”

”…Saudara Saksi, apakah Saudara tahu kondisi bangunan di Distrik D ini sebelum penjarahan?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Nah, kalau begitu, bagaimana kondisinya dibanding setelah penjarahan?”

”Rusak parah, Pak!”

”Iya… Tapi seperti apa rusaknya?”

”Semua pintu kaca dan jendela pecah. Semua barang milik Perusahaan P dijarah atau dirusak. Bahkan kabel dan pipa yang ditanam dan keramik lantai juga ikut dicongkel…”

”Sebentar, Saudara Saksi. Bangunan di Distrik D ini dijarah atau dirusak?”

”Mula-mula dijarah, tapi disertai perusakan, Pak Hakim. Tiba-tiba massa tak dikenal itu muncul. Mereka menjarah bangunan-bangunan di Distrik D, tak terkecuali bangunan dua lantai yang disewa Perusahaan P ini. Pintu-pintu kaca dan jendela dipecahkan. Barang-barang di dalam dijarah, seperti meja-kursi, mesin cash register, komputer, dan lain-lain.

Barang-barang yang besar dan berat diangkut ke luar, lalu dibakar… Padahal semua keributan ini hanya karena orang-orang yang marah, setelah anak gembong narkoba itu ditangkap dan menunggu ekstradisi…”

”Sebentar, Saudara Saksi! Dari mana Saudara tahu penjarahan atau perusakan itu gara-gara anak gembong narkoba yang ditangkap dan menunggu ekstradisi…?”

”Dari info yang saya dengar.”

”Itu hanya isu! Saya minta, dalam sidang ini, Saudara hanya menyampaikan fakta-fakta. Bukan isu!”

”Saya, Pak Hakim.”

”Silakan dilanjutkan!”

”Setelah massa tak dikenal itu pergi, datang rombongan pemulung. Mereka ini yang mencongkel keramik lantai, kabel listrik, dan pipa-pipa. Mereka ini yang membongkar lampu-lampu, kerangka plafon dan penyekat dinding, lalu kusen pintu…”

”Waktu itu, apa ada karyawan Perusahaan P di dalam bangunan?”

”Tidak ada, Pak Hakim. Hari itu restoran tutup karena kerusuhan dan penjarahan sehari sebelumnya. Karena jalan-jalan diblokade dan ada penembakan di bandar udara.”

Baca Juga :  Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

”Hari itu, apakah ada aparat keamanan berjaga-jaga di lokasi?”

”Tidak ada, Pak Hakim.”

”…Saudara Saksi, setelah penjarahan dan perusakan itu, apa ada upaya dari Perusahaan P untuk memperbaiki?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Jadi diperbaiki?”

”Saya, Pak Hakim!”

”Nah, coba jelaskan dalam sidang ini, apa saja yang diperbaiki?”

”…Pertama-tama, puing-puing bekas perusakan dibersihkan. Lalu pintu kaca dan jendela-jendela diganti. Keramik lantai dipasang kembali. Lampu-lampu dan instalasi listrik juga dipasang kembali. Dinding-dinding yang rusak diperbaiki, lalu dicat… Seperti itu, Pak Hakim.”

 

”Setelah diperbaiki, menurut Saudara, apakah bangunan di Distrik D ini layak digunakan kembali?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Yang mana…?! Saudara Saksi, dari tadi Saudara menjawab, ’Saya, Pak Hakim! Saya, Pak Hakim!’ Yang mana ini…?! Layak atau tidak layak digunakan kembali?”

”Layak, Pak Hakim!”

”Kalau layak, kenapa Perusahaan P tidak menggunakan kembali?”

”…Saya tidak tahu.”

”Sebagai karyawan di Perusahaan P, Saudara tidak tahu kenapa Perusahaan P tidak menggunakan lagi bangunan di Distrik D ini?”

”Perusahaan P sudah kehilangan segalanya…”

”Saudara Saksi! Saya bertanya kenapa Perusahaan P tidak menggunakan lagi bangunan di Distrik D ini, meskipun masih layak?!”

”Karena Perusahaan P tak punya modal…”

Advokat pembela, yang duduk di samping kanan, mengangkat tangannya.

”Mohon izin, Yang Mulia! Akibat tindak penjarahan dan perusakan itu, Perusahaan P kehilangan aset dan tak bisa investasi lagi untuk melanjutkan usahanya.”

”…Begitu? Karena itu Perusahaan P ingin mengembalikan bangunan ini lebih awal pada Tuan T. Betul begitu, Saudara Saksi?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Sepengetahuan Saudara, sampai kapan perjanjian sewa-menyewa antara Perusahaan P dengan Tuan T atas bangunan di Distrik D ini?”

”Sampai tahun depan, Pak Hakim.”

”Saudara Saksi… Apakah sekarang bangunan ini dijaga?”

”Tidak, Pak Hakim.”

”Tidak dijaga…? Saudara Pembela, bagaimana ini?! Saksi mengatakan tidak dijaga, tapi dalam sidang sebelumnya Saudara bersikeras bangunan ini dijaga!”

Advokat pembela memandang cepat ke arah saksi. Lalu, seolah tak mengindahkan aturan untuk selalu berbicara lewat hakim, tiba-tiba dia bertanya:

”Saudara Saksi, setelah diperbaiki, apakah bangunan di Distrik D ini lalu dijaga?”

”Oh! Ya, dijaga…”

Hakim ketua mengetukkan palu dengan tak sabar.

”Saudara Saksi! Saudara jangan memberi pernyataan yang simpang siur! Sidang bisa menggugat Saudara telah memberi kesaksian yang menyesatkan! Saya bertanya sekali lagi, dijaga atau tidak dijaga?!”

”Sekarang tidak dijaga, Pak Hakim. Tapi waktu selesai diperbaiki sampai Tuan T menolak pengembalian, bangunan ini pernah dijaga.”

”Ngomong kok mencla-mencle… Jadi Perusahaan P pernah mencoba mengembalikan bangunan ini pada Tuan T?”

Gak perlu lagi gigi palsu! Gigi patah dan gak rata? Veneer adalah cara terbaik untuk sekarang ini

Alat yang akan mengembalikan pertumbuhan rambut hingga 100%! Rambut akan kembali tumbuh tebal dengan

Advertisement

Produk inovatif untuk pertumbuhan rambut. Apa yang harus dilakukan untuk rambut mulai tumbuh lagi?

Advertisement

Apa yang harus dilakukan untuk rambut mulai tumbuh lagi? Metode rumah

”Saya, Pak Hakim.”

”Tapi tidak diterima?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Alasannya?”

”Tuan T menolak karena, setelah diperbaiki, bangunan di Distrik D ini dianggap tidak sesuai kondisi sebelum disewakan. Tuan T menginginkan, jika mau dikembalikan, kondisi bangunan harus sama seperti waktu serah terima dulu. Sebagai contoh, dulu ada pintu lipat di depan bangunan, sebelum rusak dan diganti dengan pintu dan jendela kaca. Dulu ada sekat-sekat ruangan berikut pintu-pintu di lantai dua. Tuan T menuntut, jika mau dikembalikan, pintu lipat dan sekat-sekat ruangan itu mesti dipasang kembali. Jika tidak, Perusahaan P harus membayar sejumlah uang pada Tuan T…”

”Karena itu Perusahaan P menolak?”

”Perusahaan P menolak karena tuntutan harus sesuai kondisi sebelum disewakan itu tidak dibicarakan sebelum perbaikan. Jika hal itu disampaikan sebelumnya, kan bisa didiskusikan atau mungkin dikondisikan waktu perbaikan. Selain itu, Perusahaan P menolak karena dalam surat perjanjian tidak ada klausul bahwa pengembalian bangunan harus sama seperti waktu serah terima…”

Baca Juga :  Sajak Angga Trio Sanjaya

”Begitu? …Saudara Saksi, apakah Saudara tahu isi surat perjanjian antara Perusahaan P dengan Tuan T?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Di situ dinyatakan bahwa Perusahaan P selaku penyewa dan Tuan T selaku pemilik harus mengasuransikan barang miliknya pada perusahaan asuransi tertentu terhadap sebab-sebab seperti bencana alam, huru-hara, kebakaran, dan sebab-sebab lain di luar kuasa para pihak. …Apakah Perusahaan P sudah mengasuransikan barang miliknya, sesuai isi perjanjian itu?”

”Sudah, Pak Hakim!”

”Sudah? Sudah diasuransikan…? Saudara Pembela, kenapa dalam sidang sebelumnya Saudara mengatakan Perusahaan P tidak mengasuransikan barang miliknya? Bagaimana ini?!”

Advokat pembela tampak gelagapan.

”…Saya tidak tahu.”

”Tidak tahu? Bagaimana bisa tidak tahu?! Seharusnya Saudara lebih tahu! Saudara Saksi… apa betul Perusahaan P sudah mengasuransikan barang miliknya?!”

”…Betul, Pak Hakim.”

”Dari mana Saudara tahu kalau sudah diasuransikan?”

”Dari info yang saya dengar.”

”Dari info yang Saudara dengar? Jadi info itu bisa betul, bisa juga salah… Begitu? Saudara Penuntut, apakah Tuan T juga mengasuransikan barang miliknya, sesuai isi perjanjian itu?”

Advokat penuntut menggelengkan kepala.

”Tidak, Yang Mulia.”

”Tidak? Kenapa tidak diasuransikan?! Coba kalau sama-sama mengasuransikan, kan tidak perlu datang kemari!”

Sepuluh hari kemudian, telepon di meja kerjaku berdering.

”Selamat sore, Pak Andres Chaves! Ini dari kantor advokat… Betul, Pak! Saya Cesar Alvarez. Saya ingin mengabarkan bahwa kesimpulan dari kedua advokat, maksudnya saya dan advokat Tuan T, sudah disampaikan Selasa lalu.

Hasil sidang akan dibacakan Selasa depan… Pak, saya mau mengabarkan bahwa kita menang. Saya bisa memastikan kita menang, Pak! Seperti yang pernah saya sampaikan pada direktur Bapak, Tuan Gerardo Antuna, aduan pihak penuntut itu lemah.

Bagaimanapun perusahaan Bapak tak bisa dituntut untuk mengembalikan kondisi bangunan di Distrik D seperti waktu serah terima, karena surat perjanjian tidak dibuat dengan melibatkan pejabat akta alias di bawah tangan.

Perusahaan Bapak juga tak bisa dituntut telah melakukan pembiaran, karena apa yang terjadi setahun lalu adalah kondisi di luar dugaan, di mana negara tidak hadir untuk melindungi warganya… Bahkan saya menduga Tuan T punya maksud buruk, karena dia meminta tebusan uang setelah perusahaan Bapak menolak tuntutannya.

Menurut saya, itu tidak sepantasnya! Apalagi perusahaan Bapak sudah menunjukkan iktikad baik, dengan memperbaiki bangunan itu dan tak menagih kembali uang sewa yang sudah dilunasi sampai tahun depan.

Karena itu saya bilang pada direktur Bapak, orang macam Tuan T harus dilawan dan kita mesti menang, agar orang-orang lain tak melakukan hal yang sama… Oh ya, meskipun saya bisa memastikan bahwa kita menang, tetap ada dana taktis yang harus disiapkan sebelum Selasa depan.

Kuitansinya sudah saya berikan pada direktur Bapak. Ini dana taktis untuk memperlancar, Pak… Soal sidang kemarin, saya memang tak bisa datang. Jadi diwakilkan pada partner saya.

Tapi kalau saya bisa datang, kita malah kalah… Betul, Pak! Kalau saya bisa datang, kita malah kalah! Saya banyak mendengar dari partner saya. Terus terang, saya tidak senang Bapak ditekan seperti itu. Kalau waktu itu saya yang datang, pasti saya lawan! Akan saya permalukan hakim itu di depan banyak orang. Tapi… yaahh, inilah hukum di negara kita! …Dana taktis itu bisa diambil besok, Pak?” (*)

WENDOKO, Menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya Gerimis di Kuta terbit pada 2018.

Oleh WENDOKO

”Saudara Saksi, sebagai karyawan di Perusahaan P, apakah Saudara tahu hubungan Tuan T dengan Perusahaan P?” ”Tahu, Pak Hakim. Perusahaan P adalah penyewa, sedangkan Tuan T adalah pemilik bangunan dua lantai di Distrik D yang disewa Perusahaan P.”

“JADI Perusahaan P adalah penyewa dan Tuan T adalah pemilik yang menyewakan?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Sepengetahuan Saudara, untuk apa Perusahaan P menyewa bangunan milik Tuan T ini?”

”Untuk perluasan restoran di Distrik D, sebagai bisnis Perusahaan P di Distrik D, Pak Hakim.”

”Begitu? Lalu sepengetahuan Saudara, apakah sewa-menyewa ini dibuat tertulis, semacam perjanjian, surat kontrak, atau yang lain?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Yang mana…? Dibuat atau tidak dibuat tertulis?”

”Dibuat tertulis, Pak Hakim!”

Hakim ketua memandang berkas perkara di hadapannya. Sidang di siang bolong ini sudah molor setengah jam dari agenda. Di barisan tengah tempat duduk di ruang sidang itu tampak segelintir orang, yang dari penampilannya pasti tak ada hubungan dengan perkara ini. Mereka adalah laki-laki dan perempuan paro baya, lalu beberapa perempuan muda.

Mungkin mereka adalah saksi-saksi, atau penggugat dan keluarga yang mengantar untuk sidang berikutnya, dan mereka duduk di sana karena sidang ini terbuka untuk umum. Hakim ketua berpikir, masih ada satu sidang lagi, sementara dia punya urusan mendadak dan saksi di depannya cenderung bertele-tele dan menjengkelkan.

Belum lama istrinya menelepon. Karena tak diangkat, istrinya meninggalkan pesan bahwa anak mereka yang masih mahasiswa tahun pertama diringkus polisi gara-gara berdemo di depan Istana Presiden.

”Menurut Saudara, apakah kedua pihak telah memperoleh hak dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian, surat kontrak, atau yang lainnya itu?”

”…Saya tidak tahu.”

”Tidak tahu… Baik. Saudara Saksi, bangunan dua lantai di Distrik D yang disewa Perusahaan P ini lalu rusak akibat penjarahan. Betul begitu?”

”Saya, Pak Hakim!”

”Kapan itu terjadi?”

”Kira-kira setahun lalu.”

”Jadi pada Januari setahun yang lalu?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Siapa yang menjarah?”

”Massa tak dikenal.”

”…Saudara Saksi, apakah Saudara tahu kondisi bangunan di Distrik D ini sebelum penjarahan?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Nah, kalau begitu, bagaimana kondisinya dibanding setelah penjarahan?”

”Rusak parah, Pak!”

”Iya… Tapi seperti apa rusaknya?”

”Semua pintu kaca dan jendela pecah. Semua barang milik Perusahaan P dijarah atau dirusak. Bahkan kabel dan pipa yang ditanam dan keramik lantai juga ikut dicongkel…”

”Sebentar, Saudara Saksi. Bangunan di Distrik D ini dijarah atau dirusak?”

”Mula-mula dijarah, tapi disertai perusakan, Pak Hakim. Tiba-tiba massa tak dikenal itu muncul. Mereka menjarah bangunan-bangunan di Distrik D, tak terkecuali bangunan dua lantai yang disewa Perusahaan P ini. Pintu-pintu kaca dan jendela dipecahkan. Barang-barang di dalam dijarah, seperti meja-kursi, mesin cash register, komputer, dan lain-lain.

Barang-barang yang besar dan berat diangkut ke luar, lalu dibakar… Padahal semua keributan ini hanya karena orang-orang yang marah, setelah anak gembong narkoba itu ditangkap dan menunggu ekstradisi…”

”Sebentar, Saudara Saksi! Dari mana Saudara tahu penjarahan atau perusakan itu gara-gara anak gembong narkoba yang ditangkap dan menunggu ekstradisi…?”

”Dari info yang saya dengar.”

”Itu hanya isu! Saya minta, dalam sidang ini, Saudara hanya menyampaikan fakta-fakta. Bukan isu!”

”Saya, Pak Hakim.”

”Silakan dilanjutkan!”

”Setelah massa tak dikenal itu pergi, datang rombongan pemulung. Mereka ini yang mencongkel keramik lantai, kabel listrik, dan pipa-pipa. Mereka ini yang membongkar lampu-lampu, kerangka plafon dan penyekat dinding, lalu kusen pintu…”

”Waktu itu, apa ada karyawan Perusahaan P di dalam bangunan?”

”Tidak ada, Pak Hakim. Hari itu restoran tutup karena kerusuhan dan penjarahan sehari sebelumnya. Karena jalan-jalan diblokade dan ada penembakan di bandar udara.”

Baca Juga :  Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

”Hari itu, apakah ada aparat keamanan berjaga-jaga di lokasi?”

”Tidak ada, Pak Hakim.”

”…Saudara Saksi, setelah penjarahan dan perusakan itu, apa ada upaya dari Perusahaan P untuk memperbaiki?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Jadi diperbaiki?”

”Saya, Pak Hakim!”

”Nah, coba jelaskan dalam sidang ini, apa saja yang diperbaiki?”

”…Pertama-tama, puing-puing bekas perusakan dibersihkan. Lalu pintu kaca dan jendela-jendela diganti. Keramik lantai dipasang kembali. Lampu-lampu dan instalasi listrik juga dipasang kembali. Dinding-dinding yang rusak diperbaiki, lalu dicat… Seperti itu, Pak Hakim.”

 

”Setelah diperbaiki, menurut Saudara, apakah bangunan di Distrik D ini layak digunakan kembali?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Yang mana…?! Saudara Saksi, dari tadi Saudara menjawab, ’Saya, Pak Hakim! Saya, Pak Hakim!’ Yang mana ini…?! Layak atau tidak layak digunakan kembali?”

”Layak, Pak Hakim!”

”Kalau layak, kenapa Perusahaan P tidak menggunakan kembali?”

”…Saya tidak tahu.”

”Sebagai karyawan di Perusahaan P, Saudara tidak tahu kenapa Perusahaan P tidak menggunakan lagi bangunan di Distrik D ini?”

”Perusahaan P sudah kehilangan segalanya…”

”Saudara Saksi! Saya bertanya kenapa Perusahaan P tidak menggunakan lagi bangunan di Distrik D ini, meskipun masih layak?!”

”Karena Perusahaan P tak punya modal…”

Advokat pembela, yang duduk di samping kanan, mengangkat tangannya.

”Mohon izin, Yang Mulia! Akibat tindak penjarahan dan perusakan itu, Perusahaan P kehilangan aset dan tak bisa investasi lagi untuk melanjutkan usahanya.”

”…Begitu? Karena itu Perusahaan P ingin mengembalikan bangunan ini lebih awal pada Tuan T. Betul begitu, Saudara Saksi?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Sepengetahuan Saudara, sampai kapan perjanjian sewa-menyewa antara Perusahaan P dengan Tuan T atas bangunan di Distrik D ini?”

”Sampai tahun depan, Pak Hakim.”

”Saudara Saksi… Apakah sekarang bangunan ini dijaga?”

”Tidak, Pak Hakim.”

”Tidak dijaga…? Saudara Pembela, bagaimana ini?! Saksi mengatakan tidak dijaga, tapi dalam sidang sebelumnya Saudara bersikeras bangunan ini dijaga!”

Advokat pembela memandang cepat ke arah saksi. Lalu, seolah tak mengindahkan aturan untuk selalu berbicara lewat hakim, tiba-tiba dia bertanya:

”Saudara Saksi, setelah diperbaiki, apakah bangunan di Distrik D ini lalu dijaga?”

”Oh! Ya, dijaga…”

Hakim ketua mengetukkan palu dengan tak sabar.

”Saudara Saksi! Saudara jangan memberi pernyataan yang simpang siur! Sidang bisa menggugat Saudara telah memberi kesaksian yang menyesatkan! Saya bertanya sekali lagi, dijaga atau tidak dijaga?!”

”Sekarang tidak dijaga, Pak Hakim. Tapi waktu selesai diperbaiki sampai Tuan T menolak pengembalian, bangunan ini pernah dijaga.”

”Ngomong kok mencla-mencle… Jadi Perusahaan P pernah mencoba mengembalikan bangunan ini pada Tuan T?”

Gak perlu lagi gigi palsu! Gigi patah dan gak rata? Veneer adalah cara terbaik untuk sekarang ini

Alat yang akan mengembalikan pertumbuhan rambut hingga 100%! Rambut akan kembali tumbuh tebal dengan

Advertisement

Produk inovatif untuk pertumbuhan rambut. Apa yang harus dilakukan untuk rambut mulai tumbuh lagi?

Advertisement

Apa yang harus dilakukan untuk rambut mulai tumbuh lagi? Metode rumah

”Saya, Pak Hakim.”

”Tapi tidak diterima?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Alasannya?”

”Tuan T menolak karena, setelah diperbaiki, bangunan di Distrik D ini dianggap tidak sesuai kondisi sebelum disewakan. Tuan T menginginkan, jika mau dikembalikan, kondisi bangunan harus sama seperti waktu serah terima dulu. Sebagai contoh, dulu ada pintu lipat di depan bangunan, sebelum rusak dan diganti dengan pintu dan jendela kaca. Dulu ada sekat-sekat ruangan berikut pintu-pintu di lantai dua. Tuan T menuntut, jika mau dikembalikan, pintu lipat dan sekat-sekat ruangan itu mesti dipasang kembali. Jika tidak, Perusahaan P harus membayar sejumlah uang pada Tuan T…”

”Karena itu Perusahaan P menolak?”

”Perusahaan P menolak karena tuntutan harus sesuai kondisi sebelum disewakan itu tidak dibicarakan sebelum perbaikan. Jika hal itu disampaikan sebelumnya, kan bisa didiskusikan atau mungkin dikondisikan waktu perbaikan. Selain itu, Perusahaan P menolak karena dalam surat perjanjian tidak ada klausul bahwa pengembalian bangunan harus sama seperti waktu serah terima…”

Baca Juga :  Sajak Angga Trio Sanjaya

”Begitu? …Saudara Saksi, apakah Saudara tahu isi surat perjanjian antara Perusahaan P dengan Tuan T?”

”Saya, Pak Hakim.”

”Di situ dinyatakan bahwa Perusahaan P selaku penyewa dan Tuan T selaku pemilik harus mengasuransikan barang miliknya pada perusahaan asuransi tertentu terhadap sebab-sebab seperti bencana alam, huru-hara, kebakaran, dan sebab-sebab lain di luar kuasa para pihak. …Apakah Perusahaan P sudah mengasuransikan barang miliknya, sesuai isi perjanjian itu?”

”Sudah, Pak Hakim!”

”Sudah? Sudah diasuransikan…? Saudara Pembela, kenapa dalam sidang sebelumnya Saudara mengatakan Perusahaan P tidak mengasuransikan barang miliknya? Bagaimana ini?!”

Advokat pembela tampak gelagapan.

”…Saya tidak tahu.”

”Tidak tahu? Bagaimana bisa tidak tahu?! Seharusnya Saudara lebih tahu! Saudara Saksi… apa betul Perusahaan P sudah mengasuransikan barang miliknya?!”

”…Betul, Pak Hakim.”

”Dari mana Saudara tahu kalau sudah diasuransikan?”

”Dari info yang saya dengar.”

”Dari info yang Saudara dengar? Jadi info itu bisa betul, bisa juga salah… Begitu? Saudara Penuntut, apakah Tuan T juga mengasuransikan barang miliknya, sesuai isi perjanjian itu?”

Advokat penuntut menggelengkan kepala.

”Tidak, Yang Mulia.”

”Tidak? Kenapa tidak diasuransikan?! Coba kalau sama-sama mengasuransikan, kan tidak perlu datang kemari!”

Sepuluh hari kemudian, telepon di meja kerjaku berdering.

”Selamat sore, Pak Andres Chaves! Ini dari kantor advokat… Betul, Pak! Saya Cesar Alvarez. Saya ingin mengabarkan bahwa kesimpulan dari kedua advokat, maksudnya saya dan advokat Tuan T, sudah disampaikan Selasa lalu.

Hasil sidang akan dibacakan Selasa depan… Pak, saya mau mengabarkan bahwa kita menang. Saya bisa memastikan kita menang, Pak! Seperti yang pernah saya sampaikan pada direktur Bapak, Tuan Gerardo Antuna, aduan pihak penuntut itu lemah.

Bagaimanapun perusahaan Bapak tak bisa dituntut untuk mengembalikan kondisi bangunan di Distrik D seperti waktu serah terima, karena surat perjanjian tidak dibuat dengan melibatkan pejabat akta alias di bawah tangan.

Perusahaan Bapak juga tak bisa dituntut telah melakukan pembiaran, karena apa yang terjadi setahun lalu adalah kondisi di luar dugaan, di mana negara tidak hadir untuk melindungi warganya… Bahkan saya menduga Tuan T punya maksud buruk, karena dia meminta tebusan uang setelah perusahaan Bapak menolak tuntutannya.

Menurut saya, itu tidak sepantasnya! Apalagi perusahaan Bapak sudah menunjukkan iktikad baik, dengan memperbaiki bangunan itu dan tak menagih kembali uang sewa yang sudah dilunasi sampai tahun depan.

Karena itu saya bilang pada direktur Bapak, orang macam Tuan T harus dilawan dan kita mesti menang, agar orang-orang lain tak melakukan hal yang sama… Oh ya, meskipun saya bisa memastikan bahwa kita menang, tetap ada dana taktis yang harus disiapkan sebelum Selasa depan.

Kuitansinya sudah saya berikan pada direktur Bapak. Ini dana taktis untuk memperlancar, Pak… Soal sidang kemarin, saya memang tak bisa datang. Jadi diwakilkan pada partner saya.

Tapi kalau saya bisa datang, kita malah kalah… Betul, Pak! Kalau saya bisa datang, kita malah kalah! Saya banyak mendengar dari partner saya. Terus terang, saya tidak senang Bapak ditekan seperti itu. Kalau waktu itu saya yang datang, pasti saya lawan! Akan saya permalukan hakim itu di depan banyak orang. Tapi… yaahh, inilah hukum di negara kita! …Dana taktis itu bisa diambil besok, Pak?” (*)

WENDOKO, Menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya Gerimis di Kuta terbit pada 2018.

Terpopuler

Artikel Terbaru