29.1 C
Jakarta
Saturday, May 4, 2024

Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

Suwarsih Djojopuspito dan Partini Djajadiningrat, dua perempuan terpelajar, yang karyanya dibahas dalam buku ini menyuarakan suara Indonesia dalam hierarki kolonial.

SEJARAH sastra Indonesia nyaris melupakan sastra Hindia Belanda. Sama seperti sejarah perkembangan sastra peranakan Tionghoa Indonesia.

Padahal keduanya memberikan kontribusi perkembangan sastra di Indonesia sampai detik ini. Ada dua lema penting yang disodorkan penyunting bunga rampai ini soal kajian sastra Hindia Belanda, yakni sastra Hindia Belanda serta poskolonial dalam meninjau tema besar buku ini: sastra Hindia Belanda.

Penyunting buku ini menegaskan bahwa konsep poskolonial merujuk pada pendekatan kritis terhadap teks kolonial (halaman 15). Guna memahami peta pengetahuan mengenai sastra Hindia Belanda dan kesinambungannya, penyunting buku menggolongkan babakan periodesasi yang terentang dalam kurun akhir abad XIX hingga babakan waktu sekarang ini. Mulai karya Multatuli, E. Briton de Nijs, Du Perron, hingga Jerome Brouwers serta Dido Michielson.

Lema kedua adalah pendekatan poskolonial. Ketiga belas artikel tentang penulis sastra Hindia Belanda yang terangkum dalam buku ini difokuskan pada karya-karya fiksional dalam bentuk novel, roman serta fiksi di luar drama, serta puisi.

Setiap kajian mewakili produk zaman masing-masing seperti babakan/periode Dari Hindia Lama: Abad Ke-19 yang diwakili novel Multatuli, Max Havelaar, P.A. Daum, dan Louis Couperus. Berikutnya babakan Dari Hindia Belanda ke Indonesia: Paruh Pertama Abad Ke-20 seperti karya Hendricus Scheepstra, Suwarsih Djojopuspito, dan Partini Djajadiningrat/Arti Purbarini. Serta periode 1945 hingga Kini: Retrospeksi dan Penulisan Balik yang terdapat nama Dido Michielson, Frances Willem Karsten, dan Jerome Brouwers.

Mengadopsi gagasan Edward Said dalam Orientalism, pendekatan poskolonial mencerminkan teks yang terdiri atas representasi atas realitas. Hanya, yang dicerminkan oleh representasi tersebut bukanlah realitasnya, melainkan interpretasi terhadap realitas itu.

Batasan Sastra Hindia Belanda

Apa yang membedakan sastra Hindia Belanda dengan sastra Indonesia? Toh istilah Hindia Belanda nantinya mengacu istilah Indonesia sekarang. Serta tema yang diangkat mengenai lingkungan dan kehidupan masyarakat Hindia Belanda (Indonesia tempo doeloe).

Dalam memberikan pengantar, Rhomayda Alfa Aimah yang sekaligus penerjemah menyodorkan batasan sastra Hindia Belanda sebagai karya sastra dalam bahasa Belanda pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia atau yang mengangkat tema Hindia Belanda (halaman iv-v).

Baca Juga :  Kita yang Merumahkan Cemas

Oleh karena itu, nuansa sense of romantic wilayah, kehidupan, masyarakat, di mana penulisnya pernah menjadi bagian di dalamnya mengendap sebagai memori personal diaktualkan dalam goresan novel dan roman. Kenangan terakhir saat mereka harus hengkang saat periode dekolonisasi.

Menjadi pertanyaan apakah sastra Hindia Belanda didominasi oleh penulis Belanda atau Indo Eropa. Ternyata tidak. Terdapat penulis Indonesia yang terklasifikasi sebagai katalog karya sastra Hindia Belanda.

Sebut saja nama Noto Soeroto, priayi terpelajar Pakualaman; Suwarsih Djojopuspito dengan novelnya Buiten heet gareel (1940); Arni Purbarini/Partini Djajadiningrat, Widijawati (1948), dan karya Basuki Gunawan yang menelisik revolusi 1945 serta diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit ternama dengan judul Winarta.

Sepintas Isi Kajian

Pembuka buku ini adalah artikel tentang interpretasi Jacqueline Bel mengenai karya Multatuli, Max Havelaar. Oleh banyak pengamat novel ini menjadi daya dobrak terhadap kolonialisme dan struktur feodalisme masyarakat pribumi Hindia Belanda, khususnya di Lebak, Banten.

Tak ada kebaruan yang disodorkan Jacqueline Bel soal Max Havelaar, terkecuali telaah fragmen-fragmen tokoh cerita yang didominasi laki-laki kulit putih. Meski terlampir cerita Saijah dan Adinda, tetap tokoh-tokoh pribumi hanya memainkan peran pendukung dan tidak memiliki suara sendiri (halaman 44).

Patut pula disimak karya bacaan kanak-kanak dalam sastra Hindia Belanda. Adalah Hendricus Scheepstra (1859–1913). Ia menulis buku anak-anak Ot en Sien in Nederlandsch Oost Indie. Saking terkenalnya karya ini, terdapat sebuah patung anak-anak melambaikan tangan menyampaikan selamat datang untuk memeriahkan Asian Games 1962. Figur patung itu adalah Ot dan Sien!

Melalui tokoh anak Ot dan Sien, Scheepstra merepresentasikan suasana Hindia Belanda dan masyarakatnya. Artikel yang disusun Amalia Astaria dan Rick Honings menguraikan proses penghindiaan di tengah-tengah semangat etische politieke saat karya ini diterbitkan.

Di antara nama-nama penulis sastra Hindia Belanda, terselip nama penulis Indonesia masing-masing Suwarsih Djojopuspito dengan karya Buiten heet gareel (diterjemahkan menjadi Manusia Bebas) dan Partini Djajadiningrat, Widijawati (diterjemahkan menjadi Widyawati).

Keduanya mewakili perempuan terpelajar. Suwarsih merupakan istri tokoh nasionalis Sugondo Djojopuspito. Sementara Partini merupakan putri raja Mangkunegoro VII dan dipersunting Hoesein Djajadiningrat sejarawan lulusan Leiden. Keduanya dalam karya novel menyuarakan suara Indonesia dalam hierarki kolonial, khususnya feminisme.

Baca Juga :  Kisah-kisah Menakjubkan Muslimah Teladan Sepanjang Sejarah

Buiten het gareel merupakan otobiografi penulisnya yang merefleksikan cerminan keluarga modernis dan educated. Tokoh-tokoh dalam cerita ini seperti ditulis Christina Suprihatin dan Coen van T Veer terbiasa membaca literatur seperti Sigmund Freud, Karl Marx, dan Kunkel (halaman 198). Proses hibridisasi masyarakat terjajah berdampak pada proses konflik perbenturan budaya, pengasingan, dan pengucilan.

Senada dengan novel Partini yang menggunakan nama pena Arti Purbarini melalui novel Widijawati berkisah perempuan aristokrat Widati dan tema besar soal konflik Barat dengan nilai tradisi Jawa. Meski Widati diizinkan untuk melanjutkan studi ke Belanda, toh ia akhirnya memilih kehidupan tradisional dalam balutan tembok keraton.

Sisi Positif

Penerbitan bunga rampai artikel yang meneroka kajian karya-karya penulis sastra Hindia Belanda dari akhir abad XIX hingga sekarang ini memberikan perspektif baru yang selama ini berkutat pada deskripsi Hindia lama. Stigma yang secara eksplisit seperti diuraikan Soebagio Sastrawardoyo (1990) di antaranya prasangka rasial, pencitraan negatif masyarakat pribumi.

Tema-tema yang bervariasi bermunculan dalam penulisan sastra Hindia Belanda seperti narasi tandingan soal Njai yang ditunjukkan dalam karya Dido Michelsen, kisah sisi lain masa revolusi 1946–1949 penulis Adriaan van Dis, dan tema pengalaman di Hindia Belanda dihadirkan dalam nuansa berbeda seperti karya Jeroen Brouwers soal masa kecilnya semasa pendudukan Jepang.

Narasi yang terkumpul dalam artikel ini memang bukan penulisan sejarah kolonial tentang Hindia Belanda. Toh gambaran tempo doeloe melindap kuat dalam penulisan sastra Hindia Belanda meski dari pandangan Belanda soal negeri jajahan mereka. Dia menjadi suara retrospeksi yang tentu akan menambah asupan intelektual seperti kita membaca novel Oeroeg karya Hella S. Haasse yang menyentuh itu. (*)

Judul: Cermin Poskolonial, Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda

Penyunting: Rick Honings, Coen van T Veer, dan Jacqueline Bel

Penerjemah: Rhomayda Alfa Aimah dan Rianti Manullang

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor, Universiteit Leiden, KITLV, dan Indische Letteren

Tahun: 2024

Tebal: 430 halaman + i-xviii

ISBN: 978-623-321-255-7

*) WIJANARTO, Bekerja di Dinbudpar Kabupaten Brebes

 

Suwarsih Djojopuspito dan Partini Djajadiningrat, dua perempuan terpelajar, yang karyanya dibahas dalam buku ini menyuarakan suara Indonesia dalam hierarki kolonial.

SEJARAH sastra Indonesia nyaris melupakan sastra Hindia Belanda. Sama seperti sejarah perkembangan sastra peranakan Tionghoa Indonesia.

Padahal keduanya memberikan kontribusi perkembangan sastra di Indonesia sampai detik ini. Ada dua lema penting yang disodorkan penyunting bunga rampai ini soal kajian sastra Hindia Belanda, yakni sastra Hindia Belanda serta poskolonial dalam meninjau tema besar buku ini: sastra Hindia Belanda.

Penyunting buku ini menegaskan bahwa konsep poskolonial merujuk pada pendekatan kritis terhadap teks kolonial (halaman 15). Guna memahami peta pengetahuan mengenai sastra Hindia Belanda dan kesinambungannya, penyunting buku menggolongkan babakan periodesasi yang terentang dalam kurun akhir abad XIX hingga babakan waktu sekarang ini. Mulai karya Multatuli, E. Briton de Nijs, Du Perron, hingga Jerome Brouwers serta Dido Michielson.

Lema kedua adalah pendekatan poskolonial. Ketiga belas artikel tentang penulis sastra Hindia Belanda yang terangkum dalam buku ini difokuskan pada karya-karya fiksional dalam bentuk novel, roman serta fiksi di luar drama, serta puisi.

Setiap kajian mewakili produk zaman masing-masing seperti babakan/periode Dari Hindia Lama: Abad Ke-19 yang diwakili novel Multatuli, Max Havelaar, P.A. Daum, dan Louis Couperus. Berikutnya babakan Dari Hindia Belanda ke Indonesia: Paruh Pertama Abad Ke-20 seperti karya Hendricus Scheepstra, Suwarsih Djojopuspito, dan Partini Djajadiningrat/Arti Purbarini. Serta periode 1945 hingga Kini: Retrospeksi dan Penulisan Balik yang terdapat nama Dido Michielson, Frances Willem Karsten, dan Jerome Brouwers.

Mengadopsi gagasan Edward Said dalam Orientalism, pendekatan poskolonial mencerminkan teks yang terdiri atas representasi atas realitas. Hanya, yang dicerminkan oleh representasi tersebut bukanlah realitasnya, melainkan interpretasi terhadap realitas itu.

Batasan Sastra Hindia Belanda

Apa yang membedakan sastra Hindia Belanda dengan sastra Indonesia? Toh istilah Hindia Belanda nantinya mengacu istilah Indonesia sekarang. Serta tema yang diangkat mengenai lingkungan dan kehidupan masyarakat Hindia Belanda (Indonesia tempo doeloe).

Dalam memberikan pengantar, Rhomayda Alfa Aimah yang sekaligus penerjemah menyodorkan batasan sastra Hindia Belanda sebagai karya sastra dalam bahasa Belanda pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia atau yang mengangkat tema Hindia Belanda (halaman iv-v).

Baca Juga :  Kita yang Merumahkan Cemas

Oleh karena itu, nuansa sense of romantic wilayah, kehidupan, masyarakat, di mana penulisnya pernah menjadi bagian di dalamnya mengendap sebagai memori personal diaktualkan dalam goresan novel dan roman. Kenangan terakhir saat mereka harus hengkang saat periode dekolonisasi.

Menjadi pertanyaan apakah sastra Hindia Belanda didominasi oleh penulis Belanda atau Indo Eropa. Ternyata tidak. Terdapat penulis Indonesia yang terklasifikasi sebagai katalog karya sastra Hindia Belanda.

Sebut saja nama Noto Soeroto, priayi terpelajar Pakualaman; Suwarsih Djojopuspito dengan novelnya Buiten heet gareel (1940); Arni Purbarini/Partini Djajadiningrat, Widijawati (1948), dan karya Basuki Gunawan yang menelisik revolusi 1945 serta diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit ternama dengan judul Winarta.

Sepintas Isi Kajian

Pembuka buku ini adalah artikel tentang interpretasi Jacqueline Bel mengenai karya Multatuli, Max Havelaar. Oleh banyak pengamat novel ini menjadi daya dobrak terhadap kolonialisme dan struktur feodalisme masyarakat pribumi Hindia Belanda, khususnya di Lebak, Banten.

Tak ada kebaruan yang disodorkan Jacqueline Bel soal Max Havelaar, terkecuali telaah fragmen-fragmen tokoh cerita yang didominasi laki-laki kulit putih. Meski terlampir cerita Saijah dan Adinda, tetap tokoh-tokoh pribumi hanya memainkan peran pendukung dan tidak memiliki suara sendiri (halaman 44).

Patut pula disimak karya bacaan kanak-kanak dalam sastra Hindia Belanda. Adalah Hendricus Scheepstra (1859–1913). Ia menulis buku anak-anak Ot en Sien in Nederlandsch Oost Indie. Saking terkenalnya karya ini, terdapat sebuah patung anak-anak melambaikan tangan menyampaikan selamat datang untuk memeriahkan Asian Games 1962. Figur patung itu adalah Ot dan Sien!

Melalui tokoh anak Ot dan Sien, Scheepstra merepresentasikan suasana Hindia Belanda dan masyarakatnya. Artikel yang disusun Amalia Astaria dan Rick Honings menguraikan proses penghindiaan di tengah-tengah semangat etische politieke saat karya ini diterbitkan.

Di antara nama-nama penulis sastra Hindia Belanda, terselip nama penulis Indonesia masing-masing Suwarsih Djojopuspito dengan karya Buiten heet gareel (diterjemahkan menjadi Manusia Bebas) dan Partini Djajadiningrat, Widijawati (diterjemahkan menjadi Widyawati).

Keduanya mewakili perempuan terpelajar. Suwarsih merupakan istri tokoh nasionalis Sugondo Djojopuspito. Sementara Partini merupakan putri raja Mangkunegoro VII dan dipersunting Hoesein Djajadiningrat sejarawan lulusan Leiden. Keduanya dalam karya novel menyuarakan suara Indonesia dalam hierarki kolonial, khususnya feminisme.

Baca Juga :  Kisah-kisah Menakjubkan Muslimah Teladan Sepanjang Sejarah

Buiten het gareel merupakan otobiografi penulisnya yang merefleksikan cerminan keluarga modernis dan educated. Tokoh-tokoh dalam cerita ini seperti ditulis Christina Suprihatin dan Coen van T Veer terbiasa membaca literatur seperti Sigmund Freud, Karl Marx, dan Kunkel (halaman 198). Proses hibridisasi masyarakat terjajah berdampak pada proses konflik perbenturan budaya, pengasingan, dan pengucilan.

Senada dengan novel Partini yang menggunakan nama pena Arti Purbarini melalui novel Widijawati berkisah perempuan aristokrat Widati dan tema besar soal konflik Barat dengan nilai tradisi Jawa. Meski Widati diizinkan untuk melanjutkan studi ke Belanda, toh ia akhirnya memilih kehidupan tradisional dalam balutan tembok keraton.

Sisi Positif

Penerbitan bunga rampai artikel yang meneroka kajian karya-karya penulis sastra Hindia Belanda dari akhir abad XIX hingga sekarang ini memberikan perspektif baru yang selama ini berkutat pada deskripsi Hindia lama. Stigma yang secara eksplisit seperti diuraikan Soebagio Sastrawardoyo (1990) di antaranya prasangka rasial, pencitraan negatif masyarakat pribumi.

Tema-tema yang bervariasi bermunculan dalam penulisan sastra Hindia Belanda seperti narasi tandingan soal Njai yang ditunjukkan dalam karya Dido Michelsen, kisah sisi lain masa revolusi 1946–1949 penulis Adriaan van Dis, dan tema pengalaman di Hindia Belanda dihadirkan dalam nuansa berbeda seperti karya Jeroen Brouwers soal masa kecilnya semasa pendudukan Jepang.

Narasi yang terkumpul dalam artikel ini memang bukan penulisan sejarah kolonial tentang Hindia Belanda. Toh gambaran tempo doeloe melindap kuat dalam penulisan sastra Hindia Belanda meski dari pandangan Belanda soal negeri jajahan mereka. Dia menjadi suara retrospeksi yang tentu akan menambah asupan intelektual seperti kita membaca novel Oeroeg karya Hella S. Haasse yang menyentuh itu. (*)

Judul: Cermin Poskolonial, Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda

Penyunting: Rick Honings, Coen van T Veer, dan Jacqueline Bel

Penerjemah: Rhomayda Alfa Aimah dan Rianti Manullang

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor, Universiteit Leiden, KITLV, dan Indische Letteren

Tahun: 2024

Tebal: 430 halaman + i-xviii

ISBN: 978-623-321-255-7

*) WIJANARTO, Bekerja di Dinbudpar Kabupaten Brebes

 

Terpopuler

Artikel Terbaru