30.1 C
Jakarta
Saturday, May 11, 2024

Memotivasi Anak Pedalaman Terus Bersekolah

Guru terbaik adalah
guru yang bisa membuat anak didiknya bersemangat sekolah. Entah di mana dan
seperti apa bentuk sekolahnya.

 

ANISA
B WAHDAH-AGUS PRAMONO,
Tamiang Layang

 

MURID-murid
tampak sedikit sibuk pada hari pertama masuk sekolah. Mereka menata bangku dan
kursi yang sebelumnya tersusun. Dibentuk dua baris. Di ruang kelas yang disekat
menjadi dua. Menyapu lantai yang berdebu. Maklum, ruangan sedikit kotor karena
lama tak digunakan selama libur sekolah.


Para guru sedikit
melonggarkan soal pelajaran. Mereka lebih fokus mengenalkan lingkungan sekolah
kepada murid-murid baru. Tetapi, guru wali kelas tetap masuk kelas dan
memberikan beberapa pesan.

Kepala SDN Gandrung,
Rintong, menemani kami mengitari sekolah. Memperlihatkan isi ruang kelas dan
kondisi bangunan sekolah model panggung itu. Bagian luar bercat biru, kuning,
dan putih.

Masih sangat layak
untuk sebuah sekolah di pedalaman. Bendera merah putih tampak berkibar
mengikuti arah angin.

Rintong sudah 22 tahun
mengabdi di SDN Gandrung. Langsung menjadi kepala sekolah. Kala itu tak ada
tenaga pendidik. Mereka mengundurkan diri. Tidak sanggup mengajar di pelosok.
Infrastruktur menjadi alasan utama.

“Akses jalan dulu
begitu susah. Mungkin alasan itu mereka tidak betah. Di era saat ini saja masih
susah (akses jalan, red),” kata Rintong memulai pembicaraan.

Rintong menjadi kepala
sekolah sekaligus guru bersama istrinya Rusdiana. Keduanya mengajar seluruh
murid di enam kelas. Ruang kelas disekat. Ia bersama istrinya membagi tugas
mengajar. Hal ini berjalan hingga tahun 2005. Satu tahun setelah itu, bertambah
satu guru. Namun, tidak lama kemudian mengundurkan diri. Tidak betah. Saat ini
sudah ada lima guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan lima berstatus guru
honor.

Saban hari, Rintong
harus menyusuri jalan makadam. Berangkat dari rumahnya di Desa Patung. Tak
sampai sejam jika menggunakan kendaraan. Tak ada keraguan baginya mengabdi
menjadi pahlawan tanpa tanda jasa di wilayah pedalaman. Medan licin, berdebu,
dan kendaraan mogok sudah sering dirasakan.

“Jika ditanya kenapa
bapak betah? Bukan karena apa-apa. Nasib anak-anak di sana, jika bukan kita,
siapa lagi?” ucapnya.

“Ini merupakan tugas
yang telah mendarah daging, menjadi sebuah komitmen dalam diri,” tegas pria
berusia 54 tahun ini.

Antusiasme anak-anak
pelosok untuk bersekolah, membuatnya semakin bersemangat. Meskipun masih ada
murid-murid yang tak bersepatu saat sekolah, dirinya memaklumi itu.

Baca Juga :  Kalteng Raih 5 Besar Capaian Aksi Korsupgah

“Saya sadar, perekonomian
orang tua murid masih ada yang rendah. Jangankan membeli sepatu untuk anaknya
sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah,” ungkap Rintong dengan nada sedih.

Pernah, lanjut Rintong,
saking tidak tega melihat kondisi anak didiknya, ia terpaksa memakai dana
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membeli sepatu baru kepada puluhan
murid. Murid-murid pun sangat senang.

Beberapa minggu
kemudian, dirinya ditegur pihak Dinas Pendidikan. Ternyata, berdasarkan
petunjuk teknis (juknis), dana BOS hanya boleh digunakan untuk membeli
perlengkapan sekolah bagi murid baru.

“Saya dinyatakan
bersalah. Saya mengganti dana itu, tetapi dinas tidak menerima. Saya hanya
dilarang mengulangi kembali,” ungkapnya.

Hampir semua murid
berjalan kaki ketika berangkat dan pulang dari sekolah. Alan dan kakaknya (Indra)
yang paling jauh jarak tempuhnya.

Keberadaan jalan
hauling memang sangat membantu para orang tua mengantar anaknya bersekolah. Akan
tetapi, yang menjadi persoalan adalah debu yang bertebaran sepanjang jalan itu.
Truk-truk pembawa hasil tambang yang mondar-mandir sepanjang hari, menimbulkan
debu yang sangat tak baik untuk kesehatan anak-anak.

“Saya sering bilang kepada
wali murid, bahwa pendidikan adalah hal paling penting. Saya minta mereka terus
mendorong anaknya untuk bersekolah,” imbuh kakek lima cucu ini.

Apakah perusahaan yang
ada di Desa Gandrung atau perusahaan yang membawa hasil bumi melewati Desa
Gandrung pernah memberi bantuan? “Selama 22 tahun saya di sini, tidak pernah
ada bantuan dari perusahaan dalam bidang pendidikan. Saya pun tidak meminta,
karena bantuan atau dana dari Pemkab Bartim sudah cukup untuk membangun sekolah
yang layak,” ungkapnya.

 

Kami juga berbincang
dengan Rika, salah satu guru honorer yang mengabdi di sekolah itu. Ia juga
berasal dari Dusun Pimping. Lulusan SMK Keperawatan di Kecamatan Tanjung,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Rika mendapat dukungan
orang tua untuk mengajar di SDN Gandrung. Rika berstatus mahasiswi. Masih
semester tujuh di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Tanjung, Kalsel. Kuliahnya
pada hari Sabtu dan Minggu. Sudah delapan bulan ia menjadi guru. Delapan bulan
juga berjalan kaki bersama Alan dan Indra membelah hutan dan menyusuri sungai.

Rika memiliki sepeda motor.
Namun, ia lebih memilih berjalan kaki bersama kedua adik sepupunya itu.
Tujuannya untuk memotivasi. Bukan hanya untuk adik-adiknya, tapi juga dirinya
sendiri.

Baca Juga :  Kaltengpos.co Resmi Sebagai Media Terverifikasi Dewan Pers

Tak hanya itu, dia
masih menyisihkan waktu untuk menyadap karet. Itu ia lakukan pukul 04.00 WIB.

“Menyadap karet milik
orang tua. Nanti hasilnya saya jual ke orang tua dan uang itu untuk biaya
kuliah. Honor saya di sekolah Rp400 ribu saya tabung,” kata perempuan kelahiran
1998 silam.

Perempuan berparas ayu ini
ingin hadir memberikan motivasi bagi murid-murid agar terus bersekolah. Meraih
prestasi. Mewujudkan cita-cita yang tak hanya sekadar digantung, tapi harus
diraih. Menggapainya dengan tangan sendiri, meski butuh perjuangan.

“Saya ingin memotivasi
mereka agar terus bersekolah,” kata perempuan bernama lengkap Rika Sisni ini.

Terkadang, memang
alasan ekonomi menjadi jawaban paling gampang menjawab pertanyaan. Akan tetapi,
ia berkeyakinan bahwa alasan seperti itu bisa ditepis, apabila dalam pribadi
seseorang telah tertanam pentingnya pendidikan.

“Jika orang tua
memiliki komitmen bahwa pendidikan itu penting, maka anak-anak akan
termotivasi. Apabila keduanya sudah termotivasi, maka alasan ekonomi akan bisa
ditepis,” tegasnya lantang.

Rika teringat kehidupan
orang tuanya sebagai penyadap karet. Bekerja keras sepanjang hari untuk dia dan
kakaknya. Rasa tak tega. Jika teringat peluh keringat kerja keras ayahnya. Kini,
dia harus membuat orang tuanya bahagia. Mengangkat derajat mereka. Perempuan
berperawakan kurus itu memiliki tekad turut andil memajukan SDN Gandrung. Dirinya
tak akan ke mana-mana.

“Saya ingin mengabdi di
sini (SDN Gandrung, red). Saya sayang pada mereka. Saya ingin melahirkan
orang-orang hebat yang datang dari sekolah ini,” ucapnya haru.

Dirinya tak ingin orang
memandang rendah pendidikan anak-anak pedalaman. Ia yakin bahwa anak-anak
pedalaman bisa menjadi orang pintar. Bisa menjadi orang-orang sukses. “Biasanya
orang kota menilai kami di pedalaman tidak ada yang maju. Itulah tugas saya,
memotivasi mereka agar bisa dipandang orang lebih bagus lagi,” tambah perempuan
murah senyum yang lahir tepat pada bulan di mana Indonesia memperingati Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini.

Mengutip dari novel berjudul Negeri di Ujung
Tanduk karya Tere Liye; Sebuah karakter dan prinsip yang cemerlang tidak akan
pernah datang dari sekolah dengan gedung megah. Karakter dan prinsip yang
cemerlang selalu datang dari tempat yang cemerlang, sesederhana apa pun
tempatnya, datang dari proses pendidikan yang baik, dari guru-guru yang tulus
dan berdedikasi tinggi. (*/ce)

Guru terbaik adalah
guru yang bisa membuat anak didiknya bersemangat sekolah. Entah di mana dan
seperti apa bentuk sekolahnya.

 

ANISA
B WAHDAH-AGUS PRAMONO,
Tamiang Layang

 

MURID-murid
tampak sedikit sibuk pada hari pertama masuk sekolah. Mereka menata bangku dan
kursi yang sebelumnya tersusun. Dibentuk dua baris. Di ruang kelas yang disekat
menjadi dua. Menyapu lantai yang berdebu. Maklum, ruangan sedikit kotor karena
lama tak digunakan selama libur sekolah.


Para guru sedikit
melonggarkan soal pelajaran. Mereka lebih fokus mengenalkan lingkungan sekolah
kepada murid-murid baru. Tetapi, guru wali kelas tetap masuk kelas dan
memberikan beberapa pesan.

Kepala SDN Gandrung,
Rintong, menemani kami mengitari sekolah. Memperlihatkan isi ruang kelas dan
kondisi bangunan sekolah model panggung itu. Bagian luar bercat biru, kuning,
dan putih.

Masih sangat layak
untuk sebuah sekolah di pedalaman. Bendera merah putih tampak berkibar
mengikuti arah angin.

Rintong sudah 22 tahun
mengabdi di SDN Gandrung. Langsung menjadi kepala sekolah. Kala itu tak ada
tenaga pendidik. Mereka mengundurkan diri. Tidak sanggup mengajar di pelosok.
Infrastruktur menjadi alasan utama.

“Akses jalan dulu
begitu susah. Mungkin alasan itu mereka tidak betah. Di era saat ini saja masih
susah (akses jalan, red),” kata Rintong memulai pembicaraan.

Rintong menjadi kepala
sekolah sekaligus guru bersama istrinya Rusdiana. Keduanya mengajar seluruh
murid di enam kelas. Ruang kelas disekat. Ia bersama istrinya membagi tugas
mengajar. Hal ini berjalan hingga tahun 2005. Satu tahun setelah itu, bertambah
satu guru. Namun, tidak lama kemudian mengundurkan diri. Tidak betah. Saat ini
sudah ada lima guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan lima berstatus guru
honor.

Saban hari, Rintong
harus menyusuri jalan makadam. Berangkat dari rumahnya di Desa Patung. Tak
sampai sejam jika menggunakan kendaraan. Tak ada keraguan baginya mengabdi
menjadi pahlawan tanpa tanda jasa di wilayah pedalaman. Medan licin, berdebu,
dan kendaraan mogok sudah sering dirasakan.

“Jika ditanya kenapa
bapak betah? Bukan karena apa-apa. Nasib anak-anak di sana, jika bukan kita,
siapa lagi?” ucapnya.

“Ini merupakan tugas
yang telah mendarah daging, menjadi sebuah komitmen dalam diri,” tegas pria
berusia 54 tahun ini.

Antusiasme anak-anak
pelosok untuk bersekolah, membuatnya semakin bersemangat. Meskipun masih ada
murid-murid yang tak bersepatu saat sekolah, dirinya memaklumi itu.

Baca Juga :  Kalteng Raih 5 Besar Capaian Aksi Korsupgah

“Saya sadar, perekonomian
orang tua murid masih ada yang rendah. Jangankan membeli sepatu untuk anaknya
sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah,” ungkap Rintong dengan nada sedih.

Pernah, lanjut Rintong,
saking tidak tega melihat kondisi anak didiknya, ia terpaksa memakai dana
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membeli sepatu baru kepada puluhan
murid. Murid-murid pun sangat senang.

Beberapa minggu
kemudian, dirinya ditegur pihak Dinas Pendidikan. Ternyata, berdasarkan
petunjuk teknis (juknis), dana BOS hanya boleh digunakan untuk membeli
perlengkapan sekolah bagi murid baru.

“Saya dinyatakan
bersalah. Saya mengganti dana itu, tetapi dinas tidak menerima. Saya hanya
dilarang mengulangi kembali,” ungkapnya.

Hampir semua murid
berjalan kaki ketika berangkat dan pulang dari sekolah. Alan dan kakaknya (Indra)
yang paling jauh jarak tempuhnya.

Keberadaan jalan
hauling memang sangat membantu para orang tua mengantar anaknya bersekolah. Akan
tetapi, yang menjadi persoalan adalah debu yang bertebaran sepanjang jalan itu.
Truk-truk pembawa hasil tambang yang mondar-mandir sepanjang hari, menimbulkan
debu yang sangat tak baik untuk kesehatan anak-anak.

“Saya sering bilang kepada
wali murid, bahwa pendidikan adalah hal paling penting. Saya minta mereka terus
mendorong anaknya untuk bersekolah,” imbuh kakek lima cucu ini.

Apakah perusahaan yang
ada di Desa Gandrung atau perusahaan yang membawa hasil bumi melewati Desa
Gandrung pernah memberi bantuan? “Selama 22 tahun saya di sini, tidak pernah
ada bantuan dari perusahaan dalam bidang pendidikan. Saya pun tidak meminta,
karena bantuan atau dana dari Pemkab Bartim sudah cukup untuk membangun sekolah
yang layak,” ungkapnya.

 

Kami juga berbincang
dengan Rika, salah satu guru honorer yang mengabdi di sekolah itu. Ia juga
berasal dari Dusun Pimping. Lulusan SMK Keperawatan di Kecamatan Tanjung,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Rika mendapat dukungan
orang tua untuk mengajar di SDN Gandrung. Rika berstatus mahasiswi. Masih
semester tujuh di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Tanjung, Kalsel. Kuliahnya
pada hari Sabtu dan Minggu. Sudah delapan bulan ia menjadi guru. Delapan bulan
juga berjalan kaki bersama Alan dan Indra membelah hutan dan menyusuri sungai.

Rika memiliki sepeda motor.
Namun, ia lebih memilih berjalan kaki bersama kedua adik sepupunya itu.
Tujuannya untuk memotivasi. Bukan hanya untuk adik-adiknya, tapi juga dirinya
sendiri.

Baca Juga :  Kaltengpos.co Resmi Sebagai Media Terverifikasi Dewan Pers

Tak hanya itu, dia
masih menyisihkan waktu untuk menyadap karet. Itu ia lakukan pukul 04.00 WIB.

“Menyadap karet milik
orang tua. Nanti hasilnya saya jual ke orang tua dan uang itu untuk biaya
kuliah. Honor saya di sekolah Rp400 ribu saya tabung,” kata perempuan kelahiran
1998 silam.

Perempuan berparas ayu ini
ingin hadir memberikan motivasi bagi murid-murid agar terus bersekolah. Meraih
prestasi. Mewujudkan cita-cita yang tak hanya sekadar digantung, tapi harus
diraih. Menggapainya dengan tangan sendiri, meski butuh perjuangan.

“Saya ingin memotivasi
mereka agar terus bersekolah,” kata perempuan bernama lengkap Rika Sisni ini.

Terkadang, memang
alasan ekonomi menjadi jawaban paling gampang menjawab pertanyaan. Akan tetapi,
ia berkeyakinan bahwa alasan seperti itu bisa ditepis, apabila dalam pribadi
seseorang telah tertanam pentingnya pendidikan.

“Jika orang tua
memiliki komitmen bahwa pendidikan itu penting, maka anak-anak akan
termotivasi. Apabila keduanya sudah termotivasi, maka alasan ekonomi akan bisa
ditepis,” tegasnya lantang.

Rika teringat kehidupan
orang tuanya sebagai penyadap karet. Bekerja keras sepanjang hari untuk dia dan
kakaknya. Rasa tak tega. Jika teringat peluh keringat kerja keras ayahnya. Kini,
dia harus membuat orang tuanya bahagia. Mengangkat derajat mereka. Perempuan
berperawakan kurus itu memiliki tekad turut andil memajukan SDN Gandrung. Dirinya
tak akan ke mana-mana.

“Saya ingin mengabdi di
sini (SDN Gandrung, red). Saya sayang pada mereka. Saya ingin melahirkan
orang-orang hebat yang datang dari sekolah ini,” ucapnya haru.

Dirinya tak ingin orang
memandang rendah pendidikan anak-anak pedalaman. Ia yakin bahwa anak-anak
pedalaman bisa menjadi orang pintar. Bisa menjadi orang-orang sukses. “Biasanya
orang kota menilai kami di pedalaman tidak ada yang maju. Itulah tugas saya,
memotivasi mereka agar bisa dipandang orang lebih bagus lagi,” tambah perempuan
murah senyum yang lahir tepat pada bulan di mana Indonesia memperingati Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini.

Mengutip dari novel berjudul Negeri di Ujung
Tanduk karya Tere Liye; Sebuah karakter dan prinsip yang cemerlang tidak akan
pernah datang dari sekolah dengan gedung megah. Karakter dan prinsip yang
cemerlang selalu datang dari tempat yang cemerlang, sesederhana apa pun
tempatnya, datang dari proses pendidikan yang baik, dari guru-guru yang tulus
dan berdedikasi tinggi. (*/ce)

Terpopuler

Artikel Terbaru