33 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Yantenglie Ngaku Korban Politik

PALANGKA
RAYA
-Persidangan
tindak pidana korupsi (Tipikor) uang kas Daerah Kabupaten Katingan senilai Rp
100 miliar telah menuju babak akhir. Sidang dengan agenda pembacaan duplik dari
terdakwa tersebut dilaksanakan di pengadilan Tipikor Palangka Raya, Selasa
(23/7). Sidang dipimpin majelis hakim Agus Windana.

Dalam persidangan itu,
Ahmad Yantenglie terus membantah dan mengatakan dirinya sebagai korban politik
dalam kasus ini. “Saya sebenarnya korban politik. Karir politik yang saya
rintis dari bawah pupus hanya karena kasus yang sebenarnya bukan saya
pelakunya,” ujarnya dengan bahasanya sendiri.

Didalam replik JPU,
lanjut mantan Bupati Katingan ini, tidak menyimak jalannya persidangan dan
hanya menekankan pada unsur-unsur teori dan bukannya fakta yang terungkap dalam
persidangan. “Dari analisa dan kesimpulan saya yang tertuang dalam pledoi
saya sebelumnya membuktikan bahwa JPU masih ragu-ragu dalam memutuskan
bersalahnya terdakwa,” ujarnya.

Dalam berkas tuntutan
yang telah dibacakan JPU dalam persidangan sebelumnya pun telah mengabaikan
fakta-fakta hukum. Selain itu, suami Farida Yeni ini juga menilai bahwa JPU
begitu bersemangat menargetkan dirinya sebagai terdakwa.

“Padahal dalam
posisi ini saya sebagai korban. JPU semestinya mencantumkan keterlibatan pihak
lain dalam BAP, dan BAP pun harus sempurna, jelas siapa pelakunya, ”
ucapnya.

Baca Juga :  BRG Bakal Tambah 341 Sekat Kanal dan 1.555 Sumur Bor Baru

Dari pantauan awak
media setidaknya terdapat delapan poin yang merupakan inti dari duplik yang
dibacakan oleh terdakwa. Poin pertama Yantenglie menyebutkan bahwa pemisahan
berkas perkara yang dilakukan oleh JPU dalam kasus ini sangat merugikan
dirinya. Menurutnya penentuan kualitas penyertaan yang tidak jelas
mengakibatkan perbedaan penerapan hukum.

Poin kedua terdakwa
menyebut jika dalam BAP Penyidik Polda Kalteng menyebut jika ada kerjasama
antara Teguh Handoko dan Heryanto Chandra untuk mengeruk uang kas daerah
Kabupaten Katingan dengan bantuan Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) saat itu,
Tekli.

Poin ketiga Yantenglie
menyebut jika berdasarkan hasil audit dari BPK RI menyimpulkan bahwa adanya
penyimpangan atas dana kas daerah yang menurut tim BPK, diduga ada perubahan
nota kesepahaman penempatan deposito menjadi giro tersebut dilakukan oleh
Heryanto Chandra, yang tercantum selaku perantara dalam pembukaan rekening.

Pada poin keempat,
terdakwa mempertanyakan status hukum dari Teguh Handoko mantan Kepala Kantor
Kas BTN Pondok Pinang yang juga terlibat dalam kasus korupsi ini dirasa belum
jelas hingga saat ini oleh terdakwa.

Poin kelima terdakwa
terdakwa menuntut JPU untuk segera menangkap Heryanto Chandra yang hingga kini
masih buron. Menurutnya JPU tidak ada upaya dalam menangkap Heryanto Chandra
yang menjadi otak dalam kasus ini.

Baca Juga :  Astaga! Positif Covid-19 di Kalteng Tembus 436 Orang untuk Hari Ini

Pada Poin Keenam dan
Ketujuh tedakwa membantah telah mengambil uang negara dengan total nilai Rp 6,5
miliar yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yakni pemberian uang
dari Teguh Handoko senilai Rp1,5 miliar, dan bagian kedua adalah Rp5 miliar
yang digunakan terdakwa untuk membayar jasa pengacara.

Pada poin kedelapan dalam
dupliknya terdakwa secara jelas menolak peyitaan atas barang berharganya oleh
JPU dalam tuntutannya. Menurutnya harta benda yang diperoleh terdakwa dalam
tuntutan tersebut bukan merupakan suatu hasil tindak pidana.  

“Demikian duplik saya
sampaikan untuk mencari keadilan. Semoga niat baik saya mendapat perhatian dari
majelis hakim,” tutupnya.

Menanggapi duplik yang
disampaikan oleh terdakwa, JPU yang di ketuai oleh Kasipidsus Kejari Katingan,
Tommy Aprianto tidak banyak berkomentar melainkan hanya menunggu keputusan
hakim . Dirinya sangat optimis jika majelis hakim akan memutuskan sesuai dengan
tuntutan JPU.

“Lihat saja nanti
keputusan Hakim. Prinsipnya kami percayakan sepenuhnya pada hakim yang
memutuskannya. Kami tetap optimis putusan hakim akan sesuai tuntutan,”
pungkasnya. (old/ala)

PALANGKA
RAYA
-Persidangan
tindak pidana korupsi (Tipikor) uang kas Daerah Kabupaten Katingan senilai Rp
100 miliar telah menuju babak akhir. Sidang dengan agenda pembacaan duplik dari
terdakwa tersebut dilaksanakan di pengadilan Tipikor Palangka Raya, Selasa
(23/7). Sidang dipimpin majelis hakim Agus Windana.

Dalam persidangan itu,
Ahmad Yantenglie terus membantah dan mengatakan dirinya sebagai korban politik
dalam kasus ini. “Saya sebenarnya korban politik. Karir politik yang saya
rintis dari bawah pupus hanya karena kasus yang sebenarnya bukan saya
pelakunya,” ujarnya dengan bahasanya sendiri.

Didalam replik JPU,
lanjut mantan Bupati Katingan ini, tidak menyimak jalannya persidangan dan
hanya menekankan pada unsur-unsur teori dan bukannya fakta yang terungkap dalam
persidangan. “Dari analisa dan kesimpulan saya yang tertuang dalam pledoi
saya sebelumnya membuktikan bahwa JPU masih ragu-ragu dalam memutuskan
bersalahnya terdakwa,” ujarnya.

Dalam berkas tuntutan
yang telah dibacakan JPU dalam persidangan sebelumnya pun telah mengabaikan
fakta-fakta hukum. Selain itu, suami Farida Yeni ini juga menilai bahwa JPU
begitu bersemangat menargetkan dirinya sebagai terdakwa.

“Padahal dalam
posisi ini saya sebagai korban. JPU semestinya mencantumkan keterlibatan pihak
lain dalam BAP, dan BAP pun harus sempurna, jelas siapa pelakunya, ”
ucapnya.

Baca Juga :  BRG Bakal Tambah 341 Sekat Kanal dan 1.555 Sumur Bor Baru

Dari pantauan awak
media setidaknya terdapat delapan poin yang merupakan inti dari duplik yang
dibacakan oleh terdakwa. Poin pertama Yantenglie menyebutkan bahwa pemisahan
berkas perkara yang dilakukan oleh JPU dalam kasus ini sangat merugikan
dirinya. Menurutnya penentuan kualitas penyertaan yang tidak jelas
mengakibatkan perbedaan penerapan hukum.

Poin kedua terdakwa
menyebut jika dalam BAP Penyidik Polda Kalteng menyebut jika ada kerjasama
antara Teguh Handoko dan Heryanto Chandra untuk mengeruk uang kas daerah
Kabupaten Katingan dengan bantuan Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) saat itu,
Tekli.

Poin ketiga Yantenglie
menyebut jika berdasarkan hasil audit dari BPK RI menyimpulkan bahwa adanya
penyimpangan atas dana kas daerah yang menurut tim BPK, diduga ada perubahan
nota kesepahaman penempatan deposito menjadi giro tersebut dilakukan oleh
Heryanto Chandra, yang tercantum selaku perantara dalam pembukaan rekening.

Pada poin keempat,
terdakwa mempertanyakan status hukum dari Teguh Handoko mantan Kepala Kantor
Kas BTN Pondok Pinang yang juga terlibat dalam kasus korupsi ini dirasa belum
jelas hingga saat ini oleh terdakwa.

Poin kelima terdakwa
terdakwa menuntut JPU untuk segera menangkap Heryanto Chandra yang hingga kini
masih buron. Menurutnya JPU tidak ada upaya dalam menangkap Heryanto Chandra
yang menjadi otak dalam kasus ini.

Baca Juga :  Astaga! Positif Covid-19 di Kalteng Tembus 436 Orang untuk Hari Ini

Pada Poin Keenam dan
Ketujuh tedakwa membantah telah mengambil uang negara dengan total nilai Rp 6,5
miliar yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yakni pemberian uang
dari Teguh Handoko senilai Rp1,5 miliar, dan bagian kedua adalah Rp5 miliar
yang digunakan terdakwa untuk membayar jasa pengacara.

Pada poin kedelapan dalam
dupliknya terdakwa secara jelas menolak peyitaan atas barang berharganya oleh
JPU dalam tuntutannya. Menurutnya harta benda yang diperoleh terdakwa dalam
tuntutan tersebut bukan merupakan suatu hasil tindak pidana.  

“Demikian duplik saya
sampaikan untuk mencari keadilan. Semoga niat baik saya mendapat perhatian dari
majelis hakim,” tutupnya.

Menanggapi duplik yang
disampaikan oleh terdakwa, JPU yang di ketuai oleh Kasipidsus Kejari Katingan,
Tommy Aprianto tidak banyak berkomentar melainkan hanya menunggu keputusan
hakim . Dirinya sangat optimis jika majelis hakim akan memutuskan sesuai dengan
tuntutan JPU.

“Lihat saja nanti
keputusan Hakim. Prinsipnya kami percayakan sepenuhnya pada hakim yang
memutuskannya. Kami tetap optimis putusan hakim akan sesuai tuntutan,”
pungkasnya. (old/ala)

Terpopuler

Artikel Terbaru