PROKALTENG.CO-Upaya untuk menyatukan kembali jemaah haji Indonesia yang sempat terpisah dari pasangan, keluarga, atau pendampingnya mulai menunjukkan hasil di Kota Makkah.
Satu per satu, mereka yang semula menghuni hotel berbeda karena sistem layanan syarikah, kini sudah kembali bersama di penginapan yang sama. Seperti yang dialami Siti Marisa, jemaah lanjut usia asal Bekasi yang sebelumnya sempat ditempatkan terpisah dari suami dan rombongannya.
“Senangnya,” jawab Siti Marisa singkat ketika ditanya perasaannya setelah dipersatukan kembali. Ia sebelumnya ditempatkan di Sektor 5, sementara sang suami, Sarimin, bersama rombongan berada di Sektor 6. “Kasihan rasanya kalau terpisah, takut jauh nanti, sekarang ya senang,” kata Sarimin.
Kisah Marisa dan Sarimin bukan satu-satunya. Menurut laporan para petugas haji, sudah banyak jemaah haji Indonesia yang kembali dipersatukan dengan pasangan atau keluarganya setelah sebelumnya terpisah karena perbedaan syarikah.
Hal ini merupakan hasil dari kebijakan reunifikasi jemaah yang kini tengah dijalankan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi.
“Daftar itu harus diserahkan ke sektor, dan dalam waktu 1×24 jam bisa segera diproses,” jelas Muchlis Hanafi, Ketua PPIH Arab Saudi sekaligus Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kemenag.
Pihak kloter diminta aktif mendata jemaah yang terpisah, lengkap dengan identitas dan syarikah masing-masing, lalu melaporkannya ke sektor untuk ditindaklanjuti.
Meskipun surat edaran resmi baru saja dikeluarkan, praktik pemersatuan jemaah sejatinya sudah mulai terjadi di lapangan jauh sebelumnya. Ketua Sektor 3 Makkah, Ikbal Ismail, mengakui bahwa sejumlah jemaah telah bergabung kembali dengan pasangan atau pendampingnya karena pertimbangan kemanusiaan. “Sudah, sudah ada pemersatuan itu,” kata Ikbal, Senin (19/5/2025).
Muchlis pun membenarkan hal itu. Namun, ia menegaskan agar jemaah yang telah bergabung kembali segera melapor secara resmi ke sektor. Ini penting karena pada fase puncak haji nanti di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), sistem pelayanan akan berbasis syarikah, dan data resmi menjadi acuan utama pembagian tenda, konsumsi, hingga transportasi.
“Karena ini sangat penting agar tidak ada kendala gerakan Makkah ke Arafah, karena pelayanan di Armuzna berbasis syarikah,” tegas Muchlis.
Masalah jemaah terpisah ini sebagian besar berakar dari perbedaan waktu penerbitan visa dan kartu nusuk, yang menyebabkan anggota keluarga atau pasangan ditangani oleh syarikah berbeda.
Tiap syarikah bertanggung jawab atas layanan hotel, transportasi, dan konsumsi jemaah yang menjadi tanggungannya. Akibatnya, meski satu kloter, jemaah bisa ditempatkan di hotel berbeda.
Meskipun belum ada data pasti berapa jemaah yang sudah disatukan, PPIH memperkirakan potensi keterpisahan mencapai 2.500 jemaah atau 1.250 pasangan.
Sebagian besar kini mulai diproses untuk kembali bersama, menyusul langkah-langkah yang sudah dilakukan sebelumnya seperti pada kasus Fatimah Zahro dan ibunya Junaina, jemaah asal Jember yang difasilitasi untuk berangkat bersama meski beda manifest.
Cerita-cerita seperti ini memperlihatkan bahwa komitmen untuk menjadikan haji ramah lansia dan inklusif terhadap keluarga memang tengah diupayakan. Dengan pendataan yang aktif, komunikasi antarpetugas yang solid, dan empati di lapangan, upaya reunifikasi jemaah kini bukan lagi wacana, melainkan kenyataan yang dijalankan hari demi hari. (jpg)