27.8 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Nastiti Intan Permata Sari, Doktor Termuda Lulus 2,5 Tahun di Unair de

NAMA Nastiti Intan Permata Sari viral setelah
predikat lulusan terbaik Universitas Airlangga (Unair) melekat pada dirinya.
Selain mendapatkan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna, dia
menyandang doktor termuda Unair.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI,
Surabaya

Nastiti tenggelam dalam ratusan buku di Perpustakaan Kampus C Universitas
Airlangga (Unair) kemarin (9/9). Meski sudah lulus program doktor, kecintaannya
pada buku tidak hilang. Perempuan 26 tahun itu terus menambah wawasannya dengan
melahap buku.

”Tadinya iseng karena sudah alumni. Rasanya, saya ingin pinjam buku ini,”
kata Nastiti saat mencari buku mikrobiologi.

Nastiti adalah alumnus program pendidikan magister menuju doktor untuk
sarjana unggul (PMDSU) Unair. Program studi (prodi) yang diambil ilmu kedokteran
fakultas kedokteran. Dia menyelesaikan program doktor hanya 2,5 tahun.
Sementara itu, S-1 prodi biologi diselesaikan 3,5 tahun dan S-2 prodi ilmu
kedokteran tropis hanya 1,5 tahun ”Saya ikut program PMDSU sejak 2015 saat S-2,
lanjut S-3,” ujarnya.

Tidak sekadar menyelesaikan pendidikan dengan sangat singkat. Nastiti juga
meraih IPK sempurna di program PMDSU ilmu kedokteran. Yakni, 4,00. Tesis yang
digarap pun tidak main-main. Dia mengidentifikasi molekuler bakteri penyebab
tuberkulosis (TBC) paru. ”Penelitian saya ini sudah saya mulai sejak S-2. Saya
lanjutkan di S-3,” kata perempuan kelahiran Madiun, 20 Juni 1993, itu.

Baca Juga :  Penting Antioksidan bagi Kulit

Nastiti tidak menyangka berhasil meraih predikat terbaik dengan nilai
sempurna. Sebab, program S-3 itu tidak hanya ditempuh di Unair. Namun, juga di
Universitas Gadjah Mada (UGM). ”Di semester awal aktif di kuliah reguler.
Setelah mendekati semester akhir, saya bisa memilih kuliah di perguruan tinggi
lain. Saya ambil di UGM dan Unair,” ujar putri sulung dua bersaudara itu.

Dalam tesisnya, Nastiti harus melakukan penelitian di Indonesia dan Jepang.
Pada semester IV, dia ke Jepang untuk mengerjakan penelitian molekulernya.
Awalnya hanya untuk uji coba DNA (deoxyribonucleic acid) dari sampel pasien
yang diambil di Indonesia. ”Uji coba DNA pertama tiga bulan di Jepang.
Sampelnya kurang dan kembali ke Indonesia lagi untuk menambah sampel,” katanya.

Nastiti menjelaskan, sampel diambil dari pasien di Indonesia. Sampel
tersebut kemudian dikultur. Lantaran bakteri TBC itu unik, dibutuhkan waktu
sekitar 6–8 minggu untuk proses perkembangbiakan. Setelah itu, dilakukan
isolasi DNA di Indonesia. ”Lalu, DNA tersebut dibawa ke Jepang lagi untuk diuji
coba. Sekitar lima bulan uji coba di Jepang hingga selesai,” jelas putri
pasangan Tego Diono dan Hartini itu.

Baca Juga :  Dokter Cantik Jadi Jubir Penanganan Covid-19

Penelitian Nastiti tersebut didanai Kementerian Riset, Teknologi, dan
Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti). Yakni, program beasiswa peningkatan
kualitas publikasi internasional (PKPI). ”Tidak semua mendapatkan beasiswa
tersebut. Harus mengajukan proposal, berkas, dan seleksi wawancara,” kata dia.

Nastiti mengatakan, penelitian tersebut berawal dari rekomendasi
promotornya yang kebetulan di bidang mikrobiologi. Selain itu, kasus TBC di
Indonesia menduduki urutan ke-3. Bahkan, Indonesia merupakan daerah endemis
TBC. ”Saya kebetulan S-1 biologi. Pendekatan saya lebih ke bakterinya,”
ujarnya.

Hasil penelitian Nastiti menyebutkan bahwa ada jenis bakteri modern dalam
sampel yang dia teliti. Yakni, Beijing strain. Hipotesisnya sudah ada di jurnal
internasional dan cenderung lebih resistan terhadap obat. Namun, belum
diketahui resistansi bakteri tersebut terhadap jenis obat apa.

Nastiti menyatakan masih berkeinginan menjadi dokter. Meskipun saat ini dia
sudah menyandang gelar doktor. Sebab, dengan menjadi dokter, dia bisa mengambil
kebijakan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. ”Sekarang saya sudah
ditawari Pak Rektor untuk menjadi dosen tetap non-PNS. Saya senang karena bisa
sharing dan terus menjadi peneliti. Sekarang sedang mengurus berkas-berkasnya,”
ujarnya. (JPC/KPC)

NAMA Nastiti Intan Permata Sari viral setelah
predikat lulusan terbaik Universitas Airlangga (Unair) melekat pada dirinya.
Selain mendapatkan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna, dia
menyandang doktor termuda Unair.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI,
Surabaya

Nastiti tenggelam dalam ratusan buku di Perpustakaan Kampus C Universitas
Airlangga (Unair) kemarin (9/9). Meski sudah lulus program doktor, kecintaannya
pada buku tidak hilang. Perempuan 26 tahun itu terus menambah wawasannya dengan
melahap buku.

”Tadinya iseng karena sudah alumni. Rasanya, saya ingin pinjam buku ini,”
kata Nastiti saat mencari buku mikrobiologi.

Nastiti adalah alumnus program pendidikan magister menuju doktor untuk
sarjana unggul (PMDSU) Unair. Program studi (prodi) yang diambil ilmu kedokteran
fakultas kedokteran. Dia menyelesaikan program doktor hanya 2,5 tahun.
Sementara itu, S-1 prodi biologi diselesaikan 3,5 tahun dan S-2 prodi ilmu
kedokteran tropis hanya 1,5 tahun ”Saya ikut program PMDSU sejak 2015 saat S-2,
lanjut S-3,” ujarnya.

Tidak sekadar menyelesaikan pendidikan dengan sangat singkat. Nastiti juga
meraih IPK sempurna di program PMDSU ilmu kedokteran. Yakni, 4,00. Tesis yang
digarap pun tidak main-main. Dia mengidentifikasi molekuler bakteri penyebab
tuberkulosis (TBC) paru. ”Penelitian saya ini sudah saya mulai sejak S-2. Saya
lanjutkan di S-3,” kata perempuan kelahiran Madiun, 20 Juni 1993, itu.

Baca Juga :  Penting Antioksidan bagi Kulit

Nastiti tidak menyangka berhasil meraih predikat terbaik dengan nilai
sempurna. Sebab, program S-3 itu tidak hanya ditempuh di Unair. Namun, juga di
Universitas Gadjah Mada (UGM). ”Di semester awal aktif di kuliah reguler.
Setelah mendekati semester akhir, saya bisa memilih kuliah di perguruan tinggi
lain. Saya ambil di UGM dan Unair,” ujar putri sulung dua bersaudara itu.

Dalam tesisnya, Nastiti harus melakukan penelitian di Indonesia dan Jepang.
Pada semester IV, dia ke Jepang untuk mengerjakan penelitian molekulernya.
Awalnya hanya untuk uji coba DNA (deoxyribonucleic acid) dari sampel pasien
yang diambil di Indonesia. ”Uji coba DNA pertama tiga bulan di Jepang.
Sampelnya kurang dan kembali ke Indonesia lagi untuk menambah sampel,” katanya.

Nastiti menjelaskan, sampel diambil dari pasien di Indonesia. Sampel
tersebut kemudian dikultur. Lantaran bakteri TBC itu unik, dibutuhkan waktu
sekitar 6–8 minggu untuk proses perkembangbiakan. Setelah itu, dilakukan
isolasi DNA di Indonesia. ”Lalu, DNA tersebut dibawa ke Jepang lagi untuk diuji
coba. Sekitar lima bulan uji coba di Jepang hingga selesai,” jelas putri
pasangan Tego Diono dan Hartini itu.

Baca Juga :  Dokter Cantik Jadi Jubir Penanganan Covid-19

Penelitian Nastiti tersebut didanai Kementerian Riset, Teknologi, dan
Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti). Yakni, program beasiswa peningkatan
kualitas publikasi internasional (PKPI). ”Tidak semua mendapatkan beasiswa
tersebut. Harus mengajukan proposal, berkas, dan seleksi wawancara,” kata dia.

Nastiti mengatakan, penelitian tersebut berawal dari rekomendasi
promotornya yang kebetulan di bidang mikrobiologi. Selain itu, kasus TBC di
Indonesia menduduki urutan ke-3. Bahkan, Indonesia merupakan daerah endemis
TBC. ”Saya kebetulan S-1 biologi. Pendekatan saya lebih ke bakterinya,”
ujarnya.

Hasil penelitian Nastiti menyebutkan bahwa ada jenis bakteri modern dalam
sampel yang dia teliti. Yakni, Beijing strain. Hipotesisnya sudah ada di jurnal
internasional dan cenderung lebih resistan terhadap obat. Namun, belum
diketahui resistansi bakteri tersebut terhadap jenis obat apa.

Nastiti menyatakan masih berkeinginan menjadi dokter. Meskipun saat ini dia
sudah menyandang gelar doktor. Sebab, dengan menjadi dokter, dia bisa mengambil
kebijakan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. ”Sekarang saya sudah
ditawari Pak Rektor untuk menjadi dosen tetap non-PNS. Saya senang karena bisa
sharing dan terus menjadi peneliti. Sekarang sedang mengurus berkas-berkasnya,”
ujarnya. (JPC/KPC)

Terpopuler

Artikel Terbaru