26.1 C
Jakarta
Thursday, April 17, 2025

Mutasi Virus Korona D614G Dikhawatirkan Percepat Kasus Penularan

Belakangan
ini sejumlah ahli di tanah air menyebut salah satu bentuk mutasi virus Korona
jenis baru yakni D614G. Diduga mutasi jenis ini salah satunya terdapat di
Jakarta dan Surabaya. Sejumlah ahli sedang menelaah kemungkinan tingkat
keparahan pasien yang terjadi di Jakarta dan Surabaya dengan mutasi virus
tersebut.

Guru
Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga Prof. Dr. C. A.
Nidom, drh., MS dari Nidom Foundation menjelaskan, mutasi D614G (aspartat/D
diganti glisin/G, pada nomer 614), yang diduga menyebabkan Covid-19 ini menular
lebih cepat. Mutasi ini telah ditemukan sebanyak 57,5 persen (23/40 kasus) pada
Covid-19 Indonesia.

“Apakah
berarti virus COVID-19 di Indonesia lebih cepat penularannya? Terlepas masih
butuh kajian yang mendalam, perlu antisipasi secara saksama dengan kebijakan
yang tepat,” kata Prof Nidom kepada JawaPos.com dalam keterangan tertulis
baru-baru ini.

Dia
mengupasnya dalam Publikasi Internasional dengan judul ‘Investigation of the
D614G Mutation and Antibody-Dependent Enhancement Sequences in Indonesia
SARS-CoV-2 Isolates and Comparasion to South Asian Isolates’ (Sys Rev Pharm
2020:11(8):203-213). Prof Nidom menyebutkan berapa negara ASEAN juga memiliki
isolat dengan struktur D614G tersebut.

Urutan/motif
ADE (antibody-dependent Enhancement), juga ditemukan pada Covid-19, sama
seperti pada virus MERS, SARS, HIV, Dengue, Ebola dan Zika. Adanya motif ADE
ini menyebabkan antibodi tidak efektif menetralisir virus yang dituju.

Adanya
motif ADE, diduga akan mengubah afinitas ikatan virus-antibodi menuju FcRγ,
suatu reseptor lain pada sel monosit-makrofag, yang akhirnya Covid-19 tetap
bisa masuk ke dalam sel-sel dan tetap berkembang di dalam tubuh inang. ADE
menjadi titik kritis dalam disain dan pengembangan vaksin.

Baca Juga :  Ketahui 7 Penyebab Seseorang Bisa Alami Gangguan Mental

Studi
terdahulu terhadap kandidiat vaksin Dengue (DENV) memberikan gambaran bahwa ADE
dapat memicu tingkat keparahan penyakit pasca vaksinasi. ADE diketahui
berkontribusi

terhadap
kemunculan sindroma badai sitokin pada kasus MERS dan SARS.

“Terlebih
munculnya mutasi D614G pada motif ADE ini, perlu mendapat perhatian dan kajian
secara seksama. Akhirnya, kajian/studi karakter Covid-19 dalam mendampingi
kebijakan

pengendalian
pandemi ini, perlu dipertimbangkan mengingat karakter dan cara meliuk virus
Korona jenis baru yang ‘cerdik’ ini,” tegasnya.

Sebelumnya
fakta baru ini sempat diungkap oleh ahli biomolekuler Universitas Airlangga dr.
Ni Nyoman Tri Puspaningsih yang menemukan karakter mutasi yang mirip D164G.
Karakter ini ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat, Surabaya hingga Jakarta.
Sebelumnya dr. Ni Nyoman saat webinar internasional bertajuk ‘Ending Pandemics
Covid-19: Effort and Challenge’, mengutip peta mutasi virus dari analisis jurnal
Bette Kober per 20 Agustus.

Beberapa
waktu lalu Malaysia mengumumkan telah menemukan mutasi virus corona D164G.
Nyoman mengatakan, mutasi virus Korona banyak ditemukan di Eropa. Studi dr.
Korber memberikan hasil bahwa D164G, strain dominan SARS-CoV-2 tampaknya 10
kali lipat lebih menular daripada virus di Wuhan.

Baca Juga :  Waspada, Anak Usia 8 Tahun Bisa Tunjukkan Gejala Diabetes Tipe 2

Menanggapi
temuan mutasi ini, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin
Soebandrio menjelaskan mengenai mutasi D614G, apakah mengambat vaksin,
memperberat penyakit. Singkat cerita, kata dia, mutasi pertama kali ditemukan
di Jerman pada Januari lalu. Februari bertambah jadi 2 mutasi. Tapi Maret menjadi
1300 dan saat ini 70 persen dari isolat (bibit mikroorganisme) yang dilaporkan
mengandung mutasi tersebut.

“Itu
memang dicurigai jadi penyebaran yang cepat. Kareba dari lab diinformasikan dia
(mutasi virus) menginfeksi lebih cepat,” kata Prof Amin.

Meski
begitu dia menegaskan hal itu belum terbukti secara ilmiah. “Tapi itu belum
terbukti secara ilmiah dari satu orang menyebarkan ke banyak orang. Jadi belum
terbukti sahih,” tuturnya.

Prof
Amin menambahkan belum ada bukti keberadaan virus itu menyebabkan infeksi
menjadi berat atau sulit diobati. Karena ada data pasien terinfeksi dengan
mutasi tadi, memang jumlah virus yang ditemukan di tenggorokannya lebih tinggi.

“Tapi
vaksin tak terganggu mutasi tersebut. Jadi kalo ada isu di luar mutasi di Indonesia
sudah banyak meski ada 8 dari 22, kami antisipasi akan ada banyak ke depannya,”
tuturnya.

Prof
Amin menegaskan mutasi virus tak memengaruhi pengembangan vaksin atau obat.
“Tapi lebih banyak ke epidemiologi molekuler. Ini tak mempengaruhi pengobatan, vaksin,
dan protokol kesehatan,” jelasnya.

Belakangan
ini sejumlah ahli di tanah air menyebut salah satu bentuk mutasi virus Korona
jenis baru yakni D614G. Diduga mutasi jenis ini salah satunya terdapat di
Jakarta dan Surabaya. Sejumlah ahli sedang menelaah kemungkinan tingkat
keparahan pasien yang terjadi di Jakarta dan Surabaya dengan mutasi virus
tersebut.

Guru
Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga Prof. Dr. C. A.
Nidom, drh., MS dari Nidom Foundation menjelaskan, mutasi D614G (aspartat/D
diganti glisin/G, pada nomer 614), yang diduga menyebabkan Covid-19 ini menular
lebih cepat. Mutasi ini telah ditemukan sebanyak 57,5 persen (23/40 kasus) pada
Covid-19 Indonesia.

“Apakah
berarti virus COVID-19 di Indonesia lebih cepat penularannya? Terlepas masih
butuh kajian yang mendalam, perlu antisipasi secara saksama dengan kebijakan
yang tepat,” kata Prof Nidom kepada JawaPos.com dalam keterangan tertulis
baru-baru ini.

Dia
mengupasnya dalam Publikasi Internasional dengan judul ‘Investigation of the
D614G Mutation and Antibody-Dependent Enhancement Sequences in Indonesia
SARS-CoV-2 Isolates and Comparasion to South Asian Isolates’ (Sys Rev Pharm
2020:11(8):203-213). Prof Nidom menyebutkan berapa negara ASEAN juga memiliki
isolat dengan struktur D614G tersebut.

Urutan/motif
ADE (antibody-dependent Enhancement), juga ditemukan pada Covid-19, sama
seperti pada virus MERS, SARS, HIV, Dengue, Ebola dan Zika. Adanya motif ADE
ini menyebabkan antibodi tidak efektif menetralisir virus yang dituju.

Adanya
motif ADE, diduga akan mengubah afinitas ikatan virus-antibodi menuju FcRγ,
suatu reseptor lain pada sel monosit-makrofag, yang akhirnya Covid-19 tetap
bisa masuk ke dalam sel-sel dan tetap berkembang di dalam tubuh inang. ADE
menjadi titik kritis dalam disain dan pengembangan vaksin.

Baca Juga :  Ketahui 7 Penyebab Seseorang Bisa Alami Gangguan Mental

Studi
terdahulu terhadap kandidiat vaksin Dengue (DENV) memberikan gambaran bahwa ADE
dapat memicu tingkat keparahan penyakit pasca vaksinasi. ADE diketahui
berkontribusi

terhadap
kemunculan sindroma badai sitokin pada kasus MERS dan SARS.

“Terlebih
munculnya mutasi D614G pada motif ADE ini, perlu mendapat perhatian dan kajian
secara seksama. Akhirnya, kajian/studi karakter Covid-19 dalam mendampingi
kebijakan

pengendalian
pandemi ini, perlu dipertimbangkan mengingat karakter dan cara meliuk virus
Korona jenis baru yang ‘cerdik’ ini,” tegasnya.

Sebelumnya
fakta baru ini sempat diungkap oleh ahli biomolekuler Universitas Airlangga dr.
Ni Nyoman Tri Puspaningsih yang menemukan karakter mutasi yang mirip D164G.
Karakter ini ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat, Surabaya hingga Jakarta.
Sebelumnya dr. Ni Nyoman saat webinar internasional bertajuk ‘Ending Pandemics
Covid-19: Effort and Challenge’, mengutip peta mutasi virus dari analisis jurnal
Bette Kober per 20 Agustus.

Beberapa
waktu lalu Malaysia mengumumkan telah menemukan mutasi virus corona D164G.
Nyoman mengatakan, mutasi virus Korona banyak ditemukan di Eropa. Studi dr.
Korber memberikan hasil bahwa D164G, strain dominan SARS-CoV-2 tampaknya 10
kali lipat lebih menular daripada virus di Wuhan.

Baca Juga :  Waspada, Anak Usia 8 Tahun Bisa Tunjukkan Gejala Diabetes Tipe 2

Menanggapi
temuan mutasi ini, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin
Soebandrio menjelaskan mengenai mutasi D614G, apakah mengambat vaksin,
memperberat penyakit. Singkat cerita, kata dia, mutasi pertama kali ditemukan
di Jerman pada Januari lalu. Februari bertambah jadi 2 mutasi. Tapi Maret menjadi
1300 dan saat ini 70 persen dari isolat (bibit mikroorganisme) yang dilaporkan
mengandung mutasi tersebut.

“Itu
memang dicurigai jadi penyebaran yang cepat. Kareba dari lab diinformasikan dia
(mutasi virus) menginfeksi lebih cepat,” kata Prof Amin.

Meski
begitu dia menegaskan hal itu belum terbukti secara ilmiah. “Tapi itu belum
terbukti secara ilmiah dari satu orang menyebarkan ke banyak orang. Jadi belum
terbukti sahih,” tuturnya.

Prof
Amin menambahkan belum ada bukti keberadaan virus itu menyebabkan infeksi
menjadi berat atau sulit diobati. Karena ada data pasien terinfeksi dengan
mutasi tadi, memang jumlah virus yang ditemukan di tenggorokannya lebih tinggi.

“Tapi
vaksin tak terganggu mutasi tersebut. Jadi kalo ada isu di luar mutasi di Indonesia
sudah banyak meski ada 8 dari 22, kami antisipasi akan ada banyak ke depannya,”
tuturnya.

Prof
Amin menegaskan mutasi virus tak memengaruhi pengembangan vaksin atau obat.
“Tapi lebih banyak ke epidemiologi molekuler. Ini tak mempengaruhi pengobatan, vaksin,
dan protokol kesehatan,” jelasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru