30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Konsep Hunian Sehat untuk Minimalisir Penularan Covid-19

Lebih dari sekadar perubahan aktivitas keseharian dan lifestyle, pandemi
Covid-19 juga mengubah struktur kehidupan masyarakat, termasuk dalam
perencanaan tata ruang kota. Bahkan lebih dalam lagi, pada hampir setiap
cluster keluarga telah terjadi perubahan ruang privat hunian menjadi area
produktif, rekreasi, ruang belajar, tempat ibadah dan lainnya.

Hal
ini tidak lepas dengan penerapan aturan work from home (wfh) yang diterapkan
hampir semua pelaku dunia usaha bagi hampir seluruh karyawannya selama beberapa
bulan terakhir. Membahas mengenai perubahan cara hidup “stay at home”, dr.
Yulia Muliaty praktisi kesehatan yang berpengalaman sebagai Pembina Kota Sehat
di wilayah Jakarta Timur, mengingatkan masyarakat tentang karakter dan cara
penularan Covid-19 yang cukup unik.

“Mengingat
cara penularan Covid-19 adalah melalui droplet, masyarakat harus paham bahwa
strain Sars-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) dapat bertahan hidup pada suhu 90
derajat Celsius selama satu jam,” ujarnya.

Wanita
yang biasa disapa dr. Lia ini memberikan data tambahan dari laboratorium, bahwa
untuk membunuh virus ini, tim peneliti harus memanaskannya hingga 92 derajat
Celcius selama 15 menit. Terkait dengan karakter virus tersebut, dr. Lia
memberikan beberapa tips praktis untuk mendapatkan hunian sehat.

Tips
tersebut antara lain, pastikan terdapat ventilasi udara yang memadai pada tiap
ruangan dan pastikan masuknya cahaya matahari ke dalam rumah. Lalu, hindari
re-sirkulasi udara seperti yang terjadi dengan penggunaan AC terus-menerus.

dr.
Lia mengamati, saat ini terjadi peningkatan cluster yang rentan Covid-19
melalui sirkulasi udara yang berputar secara statis seperti pada ruangan yang
menggunakan air conditioning (AC). “Walaupun kontak dekat menjadi faktor utama,
namun kondisi berjejalan dengan ventilasi ruangan yang buruk bisa menjadi sebab
bertahannya virus dalam ruangan,” jelasnya.

Baca Juga :  Sering Kencing Saat Hamil, Ini 6 Kiat Mengatasinya

Tips
berikutnya, sambung dr. Lia, usahakan memilih ruang penerima tamu di luar
ruangan dengan udara bebas, serta tidak bersinggungan langsung dengan ruang
keluarga. Kemudian juga pastikan tersedia fasilitas cuci tangan ataupun
disinfektan di sekitar halaman sebelum masuk ke dalam rumah. Sediakan tempat
penyimpanan sepatu atau alat-alat yang digunakan di luar rumah secara rutin.

Lantas
terakhir yang tak kalah penting, biasakan untuk membersihkan diri setiap kali
sampai di rumah terutama sebelum bertemu dengan keluarga, terutama anggota yang
rentan dengan mencuci tangan menggunakan sabun setiap kali berkegiatan.
“Hal-hal di atas, kalau diterapkan secara disiplin paling tidak dapat
meminimalisir paparan virus covid 19,” ujarnya.

Terkait
pilihan hunian saat ini, untuk masyarakat yang berencana membeli rumah/hunian
baru, dr. Lia menganjurkan untuk mempertimbangkan health protokol, serta
fasilitas sanitasi lingkungan perumahan yang beradaptasi dengan kondisi “new
normal” kini.

Standar
Arsitektur untuk Meminimalisir Penyebaran Covid-19

Lalu
bagaimana dunia arsitektur bisa mengakomodir protokol kesehatan dalam
menghadapi ancaman Covid-19? Dalam hal konsep hunian ideal untuk adaptasi
dengan kondisi saat ini, arsitek Ren Katili dari Studio ArsitektropiS
memaparkan beberapa standar arsitektur yang bisa diterapkan masyarakat. Berikut
penjelasannya.

Hunian
yang adaptif untuk pencegahan penyebaran virus covid-19 sebenarnya sudah diakomodasi
dalam konsep rumah sehat yang selalu memperhatikan unsur iklim daerah setempat.
Untuk daerah tropis seperti Indonesia, menurut founder studio ArsitektropiS
tersebut, rumah harus memenuhi aspek kecukupan pencahayaan matahari dan
memiliki sirkulasi udara yang baik, di samping fasilitas ruang terbuka hijau
yang memadai.

“Rumah
yang memiliki sirkulasi udara baik dengan pancahayaan sinar matahari cukup akan
mampu mereduksi kelembaban udara yang tinggi di daerah tropis sehingga rumah
tidak terasa lembab yang memudahkan berkembangbiaknya bakteri serta virus-virus
berbahaya,” ujarnya.

Baca Juga :  Bahaya Kurang Tidur Bagi Kesehatan

Menguatkan
pendapat dr. Lia, menurut Ren, hunian sehat idealnya memang tidak perlu
menggunakan pendingin ruangan (AC) yang harus disimpan di ruang tertutup.
Sesuai berbagai referensi yang ia dapatkan, droplet yang mengandung Covid-19
dapat menyebar lebih cepat di ruangan ber-AC ketimbang di luar ruangan atau di
dalam ruangan yang memiliki ventilasi leluasa.

Lalu
bagaimana mengatasi problem overheating yang sering dikeluhkan orang pada
ruangan yang tidak ber-AC? Ren mengamati, temperature tinggi yang terjadi
karena pencahayaan matahari berlimpah di daerah tropis, rata-rata dialami oleh
rumah yang memiliki aliran udara rendah. Untuk menghindari kondisi overheat
seperti itu, ia menyarankan, saat membangun rumah, bangunan sebaiknya
diorientasikan pada arah utara-selatan. Selain itu, bentuk bangunan yang pipih
(desain persegi panjang) menurutnya juga lebih baik daripada denah rumah yang
berbentuk gemuk (seperti kubus) karena udara akan lebih cepat keluar masuk.

Dalam
hal trafik udara, lanjut Ren, idealnya setiap rumah memang memiliki 2 lubang
yang bisa menjadi pintu keluar masuk udara. Namun di kompleks perumahan yang
padat saat ini, tidak bisa dihindari lagi, banyak rumah yang akhirnya hanya
memiliki satu fasad karena bagian belakangnya ditutup rapat ketika penghuninya
butuh ruang tambahan. Untuk kondisi seperti itu, Ren menganjurkan dibuat bukaan
atas agar udara panas bisa keluar leluasa. “Selain bukaan untuk trafik udara,
presentasi luas dasar terhadap luas lahan juga harus diperhatikan demi kualitas
udara, tanah dan air sehingga tercipta keseimbangan kelestarian lingkungan,”
pungkasnya.

Lebih dari sekadar perubahan aktivitas keseharian dan lifestyle, pandemi
Covid-19 juga mengubah struktur kehidupan masyarakat, termasuk dalam
perencanaan tata ruang kota. Bahkan lebih dalam lagi, pada hampir setiap
cluster keluarga telah terjadi perubahan ruang privat hunian menjadi area
produktif, rekreasi, ruang belajar, tempat ibadah dan lainnya.

Hal
ini tidak lepas dengan penerapan aturan work from home (wfh) yang diterapkan
hampir semua pelaku dunia usaha bagi hampir seluruh karyawannya selama beberapa
bulan terakhir. Membahas mengenai perubahan cara hidup “stay at home”, dr.
Yulia Muliaty praktisi kesehatan yang berpengalaman sebagai Pembina Kota Sehat
di wilayah Jakarta Timur, mengingatkan masyarakat tentang karakter dan cara
penularan Covid-19 yang cukup unik.

“Mengingat
cara penularan Covid-19 adalah melalui droplet, masyarakat harus paham bahwa
strain Sars-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) dapat bertahan hidup pada suhu 90
derajat Celsius selama satu jam,” ujarnya.

Wanita
yang biasa disapa dr. Lia ini memberikan data tambahan dari laboratorium, bahwa
untuk membunuh virus ini, tim peneliti harus memanaskannya hingga 92 derajat
Celcius selama 15 menit. Terkait dengan karakter virus tersebut, dr. Lia
memberikan beberapa tips praktis untuk mendapatkan hunian sehat.

Tips
tersebut antara lain, pastikan terdapat ventilasi udara yang memadai pada tiap
ruangan dan pastikan masuknya cahaya matahari ke dalam rumah. Lalu, hindari
re-sirkulasi udara seperti yang terjadi dengan penggunaan AC terus-menerus.

dr.
Lia mengamati, saat ini terjadi peningkatan cluster yang rentan Covid-19
melalui sirkulasi udara yang berputar secara statis seperti pada ruangan yang
menggunakan air conditioning (AC). “Walaupun kontak dekat menjadi faktor utama,
namun kondisi berjejalan dengan ventilasi ruangan yang buruk bisa menjadi sebab
bertahannya virus dalam ruangan,” jelasnya.

Baca Juga :  Sering Kencing Saat Hamil, Ini 6 Kiat Mengatasinya

Tips
berikutnya, sambung dr. Lia, usahakan memilih ruang penerima tamu di luar
ruangan dengan udara bebas, serta tidak bersinggungan langsung dengan ruang
keluarga. Kemudian juga pastikan tersedia fasilitas cuci tangan ataupun
disinfektan di sekitar halaman sebelum masuk ke dalam rumah. Sediakan tempat
penyimpanan sepatu atau alat-alat yang digunakan di luar rumah secara rutin.

Lantas
terakhir yang tak kalah penting, biasakan untuk membersihkan diri setiap kali
sampai di rumah terutama sebelum bertemu dengan keluarga, terutama anggota yang
rentan dengan mencuci tangan menggunakan sabun setiap kali berkegiatan.
“Hal-hal di atas, kalau diterapkan secara disiplin paling tidak dapat
meminimalisir paparan virus covid 19,” ujarnya.

Terkait
pilihan hunian saat ini, untuk masyarakat yang berencana membeli rumah/hunian
baru, dr. Lia menganjurkan untuk mempertimbangkan health protokol, serta
fasilitas sanitasi lingkungan perumahan yang beradaptasi dengan kondisi “new
normal” kini.

Standar
Arsitektur untuk Meminimalisir Penyebaran Covid-19

Lalu
bagaimana dunia arsitektur bisa mengakomodir protokol kesehatan dalam
menghadapi ancaman Covid-19? Dalam hal konsep hunian ideal untuk adaptasi
dengan kondisi saat ini, arsitek Ren Katili dari Studio ArsitektropiS
memaparkan beberapa standar arsitektur yang bisa diterapkan masyarakat. Berikut
penjelasannya.

Hunian
yang adaptif untuk pencegahan penyebaran virus covid-19 sebenarnya sudah diakomodasi
dalam konsep rumah sehat yang selalu memperhatikan unsur iklim daerah setempat.
Untuk daerah tropis seperti Indonesia, menurut founder studio ArsitektropiS
tersebut, rumah harus memenuhi aspek kecukupan pencahayaan matahari dan
memiliki sirkulasi udara yang baik, di samping fasilitas ruang terbuka hijau
yang memadai.

“Rumah
yang memiliki sirkulasi udara baik dengan pancahayaan sinar matahari cukup akan
mampu mereduksi kelembaban udara yang tinggi di daerah tropis sehingga rumah
tidak terasa lembab yang memudahkan berkembangbiaknya bakteri serta virus-virus
berbahaya,” ujarnya.

Baca Juga :  Bahaya Kurang Tidur Bagi Kesehatan

Menguatkan
pendapat dr. Lia, menurut Ren, hunian sehat idealnya memang tidak perlu
menggunakan pendingin ruangan (AC) yang harus disimpan di ruang tertutup.
Sesuai berbagai referensi yang ia dapatkan, droplet yang mengandung Covid-19
dapat menyebar lebih cepat di ruangan ber-AC ketimbang di luar ruangan atau di
dalam ruangan yang memiliki ventilasi leluasa.

Lalu
bagaimana mengatasi problem overheating yang sering dikeluhkan orang pada
ruangan yang tidak ber-AC? Ren mengamati, temperature tinggi yang terjadi
karena pencahayaan matahari berlimpah di daerah tropis, rata-rata dialami oleh
rumah yang memiliki aliran udara rendah. Untuk menghindari kondisi overheat
seperti itu, ia menyarankan, saat membangun rumah, bangunan sebaiknya
diorientasikan pada arah utara-selatan. Selain itu, bentuk bangunan yang pipih
(desain persegi panjang) menurutnya juga lebih baik daripada denah rumah yang
berbentuk gemuk (seperti kubus) karena udara akan lebih cepat keluar masuk.

Dalam
hal trafik udara, lanjut Ren, idealnya setiap rumah memang memiliki 2 lubang
yang bisa menjadi pintu keluar masuk udara. Namun di kompleks perumahan yang
padat saat ini, tidak bisa dihindari lagi, banyak rumah yang akhirnya hanya
memiliki satu fasad karena bagian belakangnya ditutup rapat ketika penghuninya
butuh ruang tambahan. Untuk kondisi seperti itu, Ren menganjurkan dibuat bukaan
atas agar udara panas bisa keluar leluasa. “Selain bukaan untuk trafik udara,
presentasi luas dasar terhadap luas lahan juga harus diperhatikan demi kualitas
udara, tanah dan air sehingga tercipta keseimbangan kelestarian lingkungan,”
pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru