33.8 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Larangan Pezina di Pilkada 2020 Dikaji Ulang

JAKARTA – Rencana lembaga penyelenggara pemilu
memasukkan aturan larangan pelaku perbuatan tercela dalam PKPU tak semudah yang
dibayangkan. Munculnya sejumlah penolakan membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengkaji ulang kembali rencana tersebut.

Sebelumnya, KPU merilis draf revisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017.
Setelah direvisi, rencananya aturan itu akan dipakai sebagai landasan hukum
teknis untuk Pilkada Serentak 2020.

Hal yang menjadi sorotan dalam draf tersebut adalah larangan mencalonkan
diri bagi orang yang pernah melakukan perbuatan tercela. Dalam Pasal 4 poin j
angka 1 hingga 5 perbuatan tercela dirincikan sebagai judi, mabuk, pemakai atau
pengedar narkoba, zina, dan perbuatan kesusilaan lainnya.

Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan mengatakan pengkajian ulang dilakukan
setelah kritik yang dilontarkan kepada KPU di uji publik. “Ada respons dari
banyak pihak terkait parameter dan petunjuk teknisnya. Jangan sampai kemudian
regulasi itu penerapannya sulit dan multitafsir,” kata Wahyu di Jakarta, Kamis
(10/10).

Baca Juga :  Prabowo Disebut Miliki Kriteria Pemimpin yang Sesuai dengan Demokrat

Menurutnya, dasar hukum KPU menerapkan larangan tersebut cukup kuat. Sebab
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga sudah mengatur hal serupa. Namun,
dia mengakui memang ada sejumlah masalah yang berpotensi muncul jika KPU tetap
memaksakan penerapan larangan itu tanpa petunjuk teknis yang rinci. “Misalnya
ada orang yang mengatakan, dia pernah mabuk, pernah zina. Apakah itu ataukah
sebenarnya harus ada lembaga yang berwenang menetapkannya,” ujarnya.

KPU akan mengkaji apakah perbuatan tercela yang dilarang merujuk pada
pidana atau tidak. Sebab larangan ini berpotensi menimbulkan konflik di masa
pemilihan. “Kita tentu saja merumuskan, memformulasikan dalam tataran yang
sangat teknis. Jangan sampai multitafsir. Bisa di dalam PKPU atau juknis,”
bebernya.

Baca Juga :  Ketua MUI Seruyan Serukan Pilkada Damai

Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, termasuk orang yang tidak sependapat
dengan aturan tersebut. Menurutnya, larangan tersebut berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum. “Jangan sampai timbulkan ketidakpastian hukum. Kalau
parameternya tidak jelas, jangan diatur. Nanti jadi masalah lagi,” ujar Bagja.

Ia menilai larangan yang dibuat KPU dalam revisi Peraturan KPU Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah rawan disalahartikan. Apalagi,
definisi zina yang diatur dalam revisi peraturan KPU tersebut tidak jelas
sebagaimana yang diatur di KUHP.

“Dalam KUHP sendiri kan diatur zina sebagai hubungan suami istri yang
dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan bukan pasangan sahnya. Nah, ini
bisa dipahami salah oleh penyelenggara di jajaran bawah. Apalagi kalau ada
laporan yang berdasarkan pengakuan seseorang semata,” tandasnya. (khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Rencana lembaga penyelenggara pemilu
memasukkan aturan larangan pelaku perbuatan tercela dalam PKPU tak semudah yang
dibayangkan. Munculnya sejumlah penolakan membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengkaji ulang kembali rencana tersebut.

Sebelumnya, KPU merilis draf revisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017.
Setelah direvisi, rencananya aturan itu akan dipakai sebagai landasan hukum
teknis untuk Pilkada Serentak 2020.

Hal yang menjadi sorotan dalam draf tersebut adalah larangan mencalonkan
diri bagi orang yang pernah melakukan perbuatan tercela. Dalam Pasal 4 poin j
angka 1 hingga 5 perbuatan tercela dirincikan sebagai judi, mabuk, pemakai atau
pengedar narkoba, zina, dan perbuatan kesusilaan lainnya.

Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan mengatakan pengkajian ulang dilakukan
setelah kritik yang dilontarkan kepada KPU di uji publik. “Ada respons dari
banyak pihak terkait parameter dan petunjuk teknisnya. Jangan sampai kemudian
regulasi itu penerapannya sulit dan multitafsir,” kata Wahyu di Jakarta, Kamis
(10/10).

Baca Juga :  Prabowo Disebut Miliki Kriteria Pemimpin yang Sesuai dengan Demokrat

Menurutnya, dasar hukum KPU menerapkan larangan tersebut cukup kuat. Sebab
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga sudah mengatur hal serupa. Namun,
dia mengakui memang ada sejumlah masalah yang berpotensi muncul jika KPU tetap
memaksakan penerapan larangan itu tanpa petunjuk teknis yang rinci. “Misalnya
ada orang yang mengatakan, dia pernah mabuk, pernah zina. Apakah itu ataukah
sebenarnya harus ada lembaga yang berwenang menetapkannya,” ujarnya.

KPU akan mengkaji apakah perbuatan tercela yang dilarang merujuk pada
pidana atau tidak. Sebab larangan ini berpotensi menimbulkan konflik di masa
pemilihan. “Kita tentu saja merumuskan, memformulasikan dalam tataran yang
sangat teknis. Jangan sampai multitafsir. Bisa di dalam PKPU atau juknis,”
bebernya.

Baca Juga :  Ketua MUI Seruyan Serukan Pilkada Damai

Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, termasuk orang yang tidak sependapat
dengan aturan tersebut. Menurutnya, larangan tersebut berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum. “Jangan sampai timbulkan ketidakpastian hukum. Kalau
parameternya tidak jelas, jangan diatur. Nanti jadi masalah lagi,” ujar Bagja.

Ia menilai larangan yang dibuat KPU dalam revisi Peraturan KPU Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah rawan disalahartikan. Apalagi,
definisi zina yang diatur dalam revisi peraturan KPU tersebut tidak jelas
sebagaimana yang diatur di KUHP.

“Dalam KUHP sendiri kan diatur zina sebagai hubungan suami istri yang
dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan bukan pasangan sahnya. Nah, ini
bisa dipahami salah oleh penyelenggara di jajaran bawah. Apalagi kalau ada
laporan yang berdasarkan pengakuan seseorang semata,” tandasnya. (khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru