26.1 C
Jakarta
Sunday, April 20, 2025

Calon Tunggal Diprediksi Meningkat, Akibat Biaya Politik Mahal

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Calon tunggal pada Pilkada 2020 yang akan
dihelat di 270 daerah, diprediksi mengalami peningkatan menjadi 31 daerah atau
hampir 2 kali lipat dari Pilkada 2018 yang berjumlah 16.

Sejumlah pihak menilai ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon
tunggal dalam Pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini
adalah mahalnya biaya politik. Diprediksi, tidak banyak parpol maupun calon
yang berani bertaruh di kontestasi Pilkada tersebut.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menyebut, calon tunggal dalam Pilkada
juga akibat proses politik yang tidak cukup dan hal itu yang tidak terbangun di
banyak daerah. Ia menambahkan, tidak adanya calon dengan reputasi pribadi dan
politik yang dikenal oleh masyarakat di suatu daerah yang melakukan pemilihan
kepala daerah.

“Karena modal banyak uang saja tidak cukup untuk bertarung di pilkada,”
ujar Arif di Jakarta, Senin (10/8).

Perludem memperkirakan, calon tunggal melawan kotak kosong akan terjadi di
31 daerah pada Pilkada 2020 mendatang. Daerah potensial itu terdiri dari 26
kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak tahun
ini.

Meski demikian, Perludem menilai hal ini masih bisa berubah karena masih
sangat dinamis. Proses pencalonan dalam Pilkada sendiri terkadang cenderung
injury time.

Arif melanjutkan, pemerintah juga perlu membentuk Lembaga Peradilan Pemilu,
mengingat banyaknya masalah yang kerap terjadi dalam pelaksanaan Pemilu. “Tak
hanya menyangkut pelanggaran pidana dalam Pemilu, lembaga ini juga kelaknya
akan mengatur hukum politik Indonesia,” imbuhnya.

Baca Juga :  Nasdem Surabaya Alami Konflik Internal, Ketua DPD Bilang Lihat Nanti

Dia memaparkan mengenai fungsi dan tugas Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum (DKPP). Dikatakannya, DKPP merupakan suatu lembaga ajudifikasi
Pemilu yang sifatnya hanya mengadili etik terkait Pemilu.

“Saya ingin mengatakan DKPP memang dibatasi menjadi semacam lembaga
ajudifikasi. Hanya untuk peradilan etik saja. Lebih dari peradilan etik tidak
dimungkinkan. Karena dalam undang-undang sudah mengatur kalau ada masalah dalam
hal pelanggaran sifatnya administratif, disampaikan oleh pihak mana, bagaimana
hukumnya, dan seterusnya. Tidak menyangkut pelanggaran pidana dan sebagainya,” ucapnya.

Karena DKPP sifatnya hanya mengatur etik saja, maka kemungkinan diperlukan
pembentukan lembaga peradilan Pemilu yang akan mengatur hukum politik
Indonesia. “Saya kira ke depan soal DKPP yang kemudian hari-hari ini isunya
didorong. Karena memang UU sudah menyediakan UU 10 Tahun 2016, agar ke depan
jika memungkinkan, dan ini tentu bagian politik hukum kita ke depan adalah
mengenai pembentukan Lembaga Peradilan Pemilu,” papar Arif.

Menurutnya, masih diperlukan pembahasan lebih lanjut terkait wacana ini. Ia
juga mengimbau agar Indonesia mencontoh negara-negara yang telah menerapkan
sistem lembaga peradilan Pemilu.

“Problem etik yang terjadi pada penyelenggara memang diadili DKPP, dimana
unsur di dalamnya adalah pihak penyelenggara, dan lainnya tokoh masyarakat
untuk menguji. Apakah penyelenggara itu bisa dibuktikan secara hukum, dan
memang tidak diberikan ruang pada pelanggaran bukan etik. Saya kira penting
kita bicara lebih lanjut tentang keberadaan DKPP,” tukas politisi PDIP itu.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus mengaku prihatin dengan
kondisi tersebut. “Ini menurut saya merupakan preseden buruk dalam rangka
pendidikan politik dan pendidikan demokrasi,” kata Guspardi di Jakarta, Senin
(10/8).

Baca Juga :  Kirab Pemilu, Tanda Pesta Demokrasi Semakin Dekat

Guspardi mengatakan, Pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antar
kepala daerah. Banyaknya calon tunggal tersebut menyebabkan tidak terwujudnya
substansi Pilkada. “Karena yang dihadapi kotak, kotak artinya dia tidak punya
otak, dia tidak punya visi dan misi. Padahal kita punya penduduk terbesar,
empat terbesar dunia,” ungkapnya

Menurutnya, adanya kemungkinan calon tunggal di 31 daerah tersebut
membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokrasi telah
mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan.

Ia menyatakan, perlu ada terobosan yang dilakukan melalui undang-undang
yang berkaitan Pilkada atau Pemilu. Fenomena calon tunggal yang melaju sendiri
alias menghadapi kotak kosong di Pilkada menambah daftar metode culas yang
berdampak buruk bagi demokrasi tersebut. Guspardi mendesak agar cara seperti
itu tak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik.

Ia menyebut kalah dan menang tak bisa dijadikan esensi utama dalam Pilkada.
Tapi, menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta
pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi yang sebenarnya.
Tujuannya dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat.

“Kian banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat. Turunkan
threshold untuk Pilkada itu salah satu cara. Syarat 5-10 persen kursi sudah
cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan. Kita malu, masa
yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak,” pungkasnya.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Calon tunggal pada Pilkada 2020 yang akan
dihelat di 270 daerah, diprediksi mengalami peningkatan menjadi 31 daerah atau
hampir 2 kali lipat dari Pilkada 2018 yang berjumlah 16.

Sejumlah pihak menilai ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon
tunggal dalam Pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini
adalah mahalnya biaya politik. Diprediksi, tidak banyak parpol maupun calon
yang berani bertaruh di kontestasi Pilkada tersebut.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menyebut, calon tunggal dalam Pilkada
juga akibat proses politik yang tidak cukup dan hal itu yang tidak terbangun di
banyak daerah. Ia menambahkan, tidak adanya calon dengan reputasi pribadi dan
politik yang dikenal oleh masyarakat di suatu daerah yang melakukan pemilihan
kepala daerah.

“Karena modal banyak uang saja tidak cukup untuk bertarung di pilkada,”
ujar Arif di Jakarta, Senin (10/8).

Perludem memperkirakan, calon tunggal melawan kotak kosong akan terjadi di
31 daerah pada Pilkada 2020 mendatang. Daerah potensial itu terdiri dari 26
kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak tahun
ini.

Meski demikian, Perludem menilai hal ini masih bisa berubah karena masih
sangat dinamis. Proses pencalonan dalam Pilkada sendiri terkadang cenderung
injury time.

Arif melanjutkan, pemerintah juga perlu membentuk Lembaga Peradilan Pemilu,
mengingat banyaknya masalah yang kerap terjadi dalam pelaksanaan Pemilu. “Tak
hanya menyangkut pelanggaran pidana dalam Pemilu, lembaga ini juga kelaknya
akan mengatur hukum politik Indonesia,” imbuhnya.

Baca Juga :  Nasdem Surabaya Alami Konflik Internal, Ketua DPD Bilang Lihat Nanti

Dia memaparkan mengenai fungsi dan tugas Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum (DKPP). Dikatakannya, DKPP merupakan suatu lembaga ajudifikasi
Pemilu yang sifatnya hanya mengadili etik terkait Pemilu.

“Saya ingin mengatakan DKPP memang dibatasi menjadi semacam lembaga
ajudifikasi. Hanya untuk peradilan etik saja. Lebih dari peradilan etik tidak
dimungkinkan. Karena dalam undang-undang sudah mengatur kalau ada masalah dalam
hal pelanggaran sifatnya administratif, disampaikan oleh pihak mana, bagaimana
hukumnya, dan seterusnya. Tidak menyangkut pelanggaran pidana dan sebagainya,” ucapnya.

Karena DKPP sifatnya hanya mengatur etik saja, maka kemungkinan diperlukan
pembentukan lembaga peradilan Pemilu yang akan mengatur hukum politik
Indonesia. “Saya kira ke depan soal DKPP yang kemudian hari-hari ini isunya
didorong. Karena memang UU sudah menyediakan UU 10 Tahun 2016, agar ke depan
jika memungkinkan, dan ini tentu bagian politik hukum kita ke depan adalah
mengenai pembentukan Lembaga Peradilan Pemilu,” papar Arif.

Menurutnya, masih diperlukan pembahasan lebih lanjut terkait wacana ini. Ia
juga mengimbau agar Indonesia mencontoh negara-negara yang telah menerapkan
sistem lembaga peradilan Pemilu.

“Problem etik yang terjadi pada penyelenggara memang diadili DKPP, dimana
unsur di dalamnya adalah pihak penyelenggara, dan lainnya tokoh masyarakat
untuk menguji. Apakah penyelenggara itu bisa dibuktikan secara hukum, dan
memang tidak diberikan ruang pada pelanggaran bukan etik. Saya kira penting
kita bicara lebih lanjut tentang keberadaan DKPP,” tukas politisi PDIP itu.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus mengaku prihatin dengan
kondisi tersebut. “Ini menurut saya merupakan preseden buruk dalam rangka
pendidikan politik dan pendidikan demokrasi,” kata Guspardi di Jakarta, Senin
(10/8).

Baca Juga :  Kirab Pemilu, Tanda Pesta Demokrasi Semakin Dekat

Guspardi mengatakan, Pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antar
kepala daerah. Banyaknya calon tunggal tersebut menyebabkan tidak terwujudnya
substansi Pilkada. “Karena yang dihadapi kotak, kotak artinya dia tidak punya
otak, dia tidak punya visi dan misi. Padahal kita punya penduduk terbesar,
empat terbesar dunia,” ungkapnya

Menurutnya, adanya kemungkinan calon tunggal di 31 daerah tersebut
membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokrasi telah
mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan.

Ia menyatakan, perlu ada terobosan yang dilakukan melalui undang-undang
yang berkaitan Pilkada atau Pemilu. Fenomena calon tunggal yang melaju sendiri
alias menghadapi kotak kosong di Pilkada menambah daftar metode culas yang
berdampak buruk bagi demokrasi tersebut. Guspardi mendesak agar cara seperti
itu tak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik.

Ia menyebut kalah dan menang tak bisa dijadikan esensi utama dalam Pilkada.
Tapi, menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta
pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi yang sebenarnya.
Tujuannya dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat.

“Kian banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat. Turunkan
threshold untuk Pilkada itu salah satu cara. Syarat 5-10 persen kursi sudah
cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan. Kita malu, masa
yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru