27.3 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Eks Koruptor Tak Layak Maju Pilkada

Komisi
II DPR menyambut baik rencana pemerintah dan KPU untuk merevisi Undang-Undang
Pilkada. Khususnya mengenai pencalonan kepala daerah berstatus eks koruptor.

Komisi yang
membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan bekas napi
korupsi untuk menjadi calon kepala daerah.

Wakil Ketua
Komisi II Ahmad Riza Patria menyatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya
pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih
baik. Salah satunya mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai dasar
pelaksanaan pilkada.

Politikus
Partai Gerindra itu menyatakan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun
KPU mengajukan norma larangan bagi eks napi korupsi untuk menjadi calon kepala
daerah. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.

Selama ini,
rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan kepada komisi II. Pihaknya
masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, kata
Riza, persoalan itu perlu dibahas bersama komisi II sebelum revisi
undang-undang diajukan.

Selain larangan
bagi bekas napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar
revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah.
Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, dia tidak
boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatnya sebagai calon kepala
daerah.

“Mereka baru
boleh mencalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang
lain,” ungkapnya.

Ketua DPP
Partai Gerindra itu menyatakan, aturan tersebut perlu dicantumkan dalam UU
Pilkada agar tidak tercipta kerajaan kecil di daerah. Selama ini, politik
dinasti diwarnai berbagai tindak pidana korupsi.

Nihayatul
Wafiroh, wakil ketua komisi II, mengungkapkan, pihaknya juga mendukung jika
pemerintah maupun KPU mengajukan revisi UU Pilkada. “Kalau pemerintah atau
partai-partai meminta, tentu bisa dimasukkan ke dalam prolegnas,” terang dia.

Mengenai
larangan eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah, Ninik, sapaan akrab
Nihayatul Wafiroh, menyatakan hal itu sangat bergantung pada partai politik
(parpol). Jika partai melakukan seleksi calon kepala daerah dengan ketat, tidak
akan ada eks napi korupsi yang dicalonkan.

Sebenarnya,
larangan itu sama dengan larangan bekas koruptor menjadi calon anggota
legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Aturan itu akhirnya
dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Jadi, yang paling penting dalam seleksi calon
kepala daerah adalah partai. “Ada atau tidak aturan itu, menurut saya tidak
berpengaruh jika partai kenceng dalam seleksi,” tutur politikus PKB itu.

Baca Juga :  Timsel Umumkan Calon Anggota KPU Gelombang 5

Yang terpenting
sekarang, lanjut dia, partai harus mempunyai komitmen untuk mencegah korupsi.
Salah satunya tidak mengusung calon yang bermasalah dengan hukum.

Sementara itu,
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengapresiasi pemerintah dan DPR yang
kembali membuka peluang revisi UU Pilkada. “Sehingga apa yang diusung KPU
mengenai larangan mantan napi koruptor untuk dicalonkan lagi dalam pilkada
mendapatkan landasan hukum yang lebih kukuh,” terangnya seusai diskusi di
kawasan Jakarta Selatan kemarin.

KPU punya
pengalaman buruk ketika larangan tersebut diatur dalam Peraturan KPU pada
Pemilu 2019 lalu. Ada yang menggugatnya ke Mahkamah Agung dan dikabulkan.
Alhasil, KPU harus gigit jari karena eks koruptor boleh nyaleg. “Kalau itu
dituangkan dalam revisi Undang-Undang Pilkada, kami berharap gagasan tersebut
dirumuskan secara lebih tegas,” lanjutnya.

Pada Pemilu
2019, eks koruptor hanya mencalonkan diri di level DPRD dan DPD. Tidak ada
caleg DPR yang berstatus eks koruptor. Sebab, dalam pileg, pengurus parpol di
daerah punya otonomi untuk menentukan siapa caleg yang diusung. Sementara itu,
dalam pilkada, calon kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPP partai
masing-masing.

Bila DPP sudah
menyetujui gagasan larangan eks koruptor untuk mencalonkan diri, komitmen itu
akan lebih kuat untuk dijalankan. DPP bisa menolak ketika pengurus di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota hendak mencalonkan bekas koruptor. Karena itu,
Pramono optimistis gagasan tersebut akan mulus.

Di luar itu,
dia berharap langkah tersebut juga didukung seluruh rakyat. Dengan demikian,
tidak ada yang sampai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana
yang dilakukan pada UU 8/2015. Namun, bila digugat lagi di MK, hakim bisa lebih
progresif dalam memutus. Sebab, sudah ada fakta riil yang harus dicermati.

Baca Juga :  Mahfud: Pilkada Jangan Ditunda Terus, Kapan Selesainya?

“Bahwa mantan
napi korupsi yang terpilih kembali itu berpotensi besar melakukan korupsi
lagi,” tambah mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.

Ketua
Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengingatkan, kasus
bupati Kudus seharusnya sudah cukup menjadi dasar untuk merevisi UU Pilkada.
Kasus itu merupakan fakta bahwa bekas koruptor berpotensi mengulang
kejahatannya bila diberi kekuasaan lagi.

“Kalau
undang-undang memberikan ruang untuk itu (melarang eks koruptor nyalon), maka
bisa dijalankan,” ujarnya.

Selain itu,
posisi UU lebih kuat jika dibandingkan dengan PKPU yang sempat menjadi perdebatan
pada pemilu lalu. Hanya, Veri mengingatkan bahwa waktu pelaksanaan pilkada
sudah dekat. “Pertanyaannya, apakah cukup waktu untuk merevisi atau tidak,”
lanjutnya. Bila memang hendak dilakukan revisi, sejak awal sudah harus ada
limitasi. Mana saja pasal yang akan dibahas untuk direvisi.

Mengenai
peluang diuji materi kembali ke MK, menurut Veri tidak masalah. Bagaimanapun,
uji materi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Di forum sidang MK
itulah perdebatan akan dibangun.

Sebelumnya,
Mendagri Tjahjo Kumolo membuka peluang revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi
usul larangan eks koruptor maju lagi dalam pilkada. Hanya, usul itu baru bisa
masuk setelah anggota DPR periode baru dilantik. “Semua bisa memberikan
masukan. Kami akomodir dan akan kami bahas bersama,” ujar Tjahjo.

Awalnya, UU
8/2015 mengatur bahwa eks terpidana yang kasusnya punya ancaman hukuman penjara
lebih dari lima tahun dilarang mencalonkan diri sebagai kepala dan wakil kepala
derah.

Namun, pada
tahun yang sama, pasal yang memuat larangan tersebut digugat ke MK.
Penggugatnya adalah dua eks terpidana kasus korupsi P2SEM (Program Penanganan
Sosial dan Ekonomi Masyarakat) di Jatim, Fathorrasjid dan Jumanto.

Hasilnya, MK
mengabulkan permohonan dua bekas terpidana tersebut. Eks terpidana yang
kasusnya diancam hukuman penjara lima tahun tidak boleh mencalonkan diri
sebagai kepala daerah kecuali mereka mengumumkan statusnya sebagai eks
terpidana kepada publik. Yang juga termasuk dalam kategori terpidana tersebut
adalah eks koruptor. Ketentuan itu kemudian diadopsi dalam UU 10/2016.(jpg)

 

Komisi
II DPR menyambut baik rencana pemerintah dan KPU untuk merevisi Undang-Undang
Pilkada. Khususnya mengenai pencalonan kepala daerah berstatus eks koruptor.

Komisi yang
membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan bekas napi
korupsi untuk menjadi calon kepala daerah.

Wakil Ketua
Komisi II Ahmad Riza Patria menyatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya
pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih
baik. Salah satunya mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai dasar
pelaksanaan pilkada.

Politikus
Partai Gerindra itu menyatakan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun
KPU mengajukan norma larangan bagi eks napi korupsi untuk menjadi calon kepala
daerah. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.

Selama ini,
rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan kepada komisi II. Pihaknya
masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, kata
Riza, persoalan itu perlu dibahas bersama komisi II sebelum revisi
undang-undang diajukan.

Selain larangan
bagi bekas napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar
revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah.
Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, dia tidak
boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatnya sebagai calon kepala
daerah.

“Mereka baru
boleh mencalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang
lain,” ungkapnya.

Ketua DPP
Partai Gerindra itu menyatakan, aturan tersebut perlu dicantumkan dalam UU
Pilkada agar tidak tercipta kerajaan kecil di daerah. Selama ini, politik
dinasti diwarnai berbagai tindak pidana korupsi.

Nihayatul
Wafiroh, wakil ketua komisi II, mengungkapkan, pihaknya juga mendukung jika
pemerintah maupun KPU mengajukan revisi UU Pilkada. “Kalau pemerintah atau
partai-partai meminta, tentu bisa dimasukkan ke dalam prolegnas,” terang dia.

Mengenai
larangan eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah, Ninik, sapaan akrab
Nihayatul Wafiroh, menyatakan hal itu sangat bergantung pada partai politik
(parpol). Jika partai melakukan seleksi calon kepala daerah dengan ketat, tidak
akan ada eks napi korupsi yang dicalonkan.

Sebenarnya,
larangan itu sama dengan larangan bekas koruptor menjadi calon anggota
legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Aturan itu akhirnya
dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Jadi, yang paling penting dalam seleksi calon
kepala daerah adalah partai. “Ada atau tidak aturan itu, menurut saya tidak
berpengaruh jika partai kenceng dalam seleksi,” tutur politikus PKB itu.

Baca Juga :  Timsel Umumkan Calon Anggota KPU Gelombang 5

Yang terpenting
sekarang, lanjut dia, partai harus mempunyai komitmen untuk mencegah korupsi.
Salah satunya tidak mengusung calon yang bermasalah dengan hukum.

Sementara itu,
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengapresiasi pemerintah dan DPR yang
kembali membuka peluang revisi UU Pilkada. “Sehingga apa yang diusung KPU
mengenai larangan mantan napi koruptor untuk dicalonkan lagi dalam pilkada
mendapatkan landasan hukum yang lebih kukuh,” terangnya seusai diskusi di
kawasan Jakarta Selatan kemarin.

KPU punya
pengalaman buruk ketika larangan tersebut diatur dalam Peraturan KPU pada
Pemilu 2019 lalu. Ada yang menggugatnya ke Mahkamah Agung dan dikabulkan.
Alhasil, KPU harus gigit jari karena eks koruptor boleh nyaleg. “Kalau itu
dituangkan dalam revisi Undang-Undang Pilkada, kami berharap gagasan tersebut
dirumuskan secara lebih tegas,” lanjutnya.

Pada Pemilu
2019, eks koruptor hanya mencalonkan diri di level DPRD dan DPD. Tidak ada
caleg DPR yang berstatus eks koruptor. Sebab, dalam pileg, pengurus parpol di
daerah punya otonomi untuk menentukan siapa caleg yang diusung. Sementara itu,
dalam pilkada, calon kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPP partai
masing-masing.

Bila DPP sudah
menyetujui gagasan larangan eks koruptor untuk mencalonkan diri, komitmen itu
akan lebih kuat untuk dijalankan. DPP bisa menolak ketika pengurus di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota hendak mencalonkan bekas koruptor. Karena itu,
Pramono optimistis gagasan tersebut akan mulus.

Di luar itu,
dia berharap langkah tersebut juga didukung seluruh rakyat. Dengan demikian,
tidak ada yang sampai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana
yang dilakukan pada UU 8/2015. Namun, bila digugat lagi di MK, hakim bisa lebih
progresif dalam memutus. Sebab, sudah ada fakta riil yang harus dicermati.

Baca Juga :  Mahfud: Pilkada Jangan Ditunda Terus, Kapan Selesainya?

“Bahwa mantan
napi korupsi yang terpilih kembali itu berpotensi besar melakukan korupsi
lagi,” tambah mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.

Ketua
Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengingatkan, kasus
bupati Kudus seharusnya sudah cukup menjadi dasar untuk merevisi UU Pilkada.
Kasus itu merupakan fakta bahwa bekas koruptor berpotensi mengulang
kejahatannya bila diberi kekuasaan lagi.

“Kalau
undang-undang memberikan ruang untuk itu (melarang eks koruptor nyalon), maka
bisa dijalankan,” ujarnya.

Selain itu,
posisi UU lebih kuat jika dibandingkan dengan PKPU yang sempat menjadi perdebatan
pada pemilu lalu. Hanya, Veri mengingatkan bahwa waktu pelaksanaan pilkada
sudah dekat. “Pertanyaannya, apakah cukup waktu untuk merevisi atau tidak,”
lanjutnya. Bila memang hendak dilakukan revisi, sejak awal sudah harus ada
limitasi. Mana saja pasal yang akan dibahas untuk direvisi.

Mengenai
peluang diuji materi kembali ke MK, menurut Veri tidak masalah. Bagaimanapun,
uji materi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Di forum sidang MK
itulah perdebatan akan dibangun.

Sebelumnya,
Mendagri Tjahjo Kumolo membuka peluang revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi
usul larangan eks koruptor maju lagi dalam pilkada. Hanya, usul itu baru bisa
masuk setelah anggota DPR periode baru dilantik. “Semua bisa memberikan
masukan. Kami akomodir dan akan kami bahas bersama,” ujar Tjahjo.

Awalnya, UU
8/2015 mengatur bahwa eks terpidana yang kasusnya punya ancaman hukuman penjara
lebih dari lima tahun dilarang mencalonkan diri sebagai kepala dan wakil kepala
derah.

Namun, pada
tahun yang sama, pasal yang memuat larangan tersebut digugat ke MK.
Penggugatnya adalah dua eks terpidana kasus korupsi P2SEM (Program Penanganan
Sosial dan Ekonomi Masyarakat) di Jatim, Fathorrasjid dan Jumanto.

Hasilnya, MK
mengabulkan permohonan dua bekas terpidana tersebut. Eks terpidana yang
kasusnya diancam hukuman penjara lima tahun tidak boleh mencalonkan diri
sebagai kepala daerah kecuali mereka mengumumkan statusnya sebagai eks
terpidana kepada publik. Yang juga termasuk dalam kategori terpidana tersebut
adalah eks koruptor. Ketentuan itu kemudian diadopsi dalam UU 10/2016.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru