25 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Pajak Pendidikan vs Amanah Konstitusi

SALAH satu janji politik yang selalu diusung setiap calon dalam pemilihan presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan anggota legislatif adalah penyelenggaraan sekolah secara gratis. Sekurang-kurangnya semua calon yang running dalam pemilu menjanjikan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Umumnya janji sekolah gratis dikemukakan beriringan dengan program kesehatan gratis, tersedianya lapangan pekerjaan, perbaikan kesejahteraan, dan pelayanan sosial.

Semua janji politik itu dikemukakan dalam rangka meraih simpati sekaligus dukungan pemilih. Semua calon yang maju dalam pemilu tampaknya tahu betul harapan pemilih. Pertanyaannya, bagaimana mereka merealisasikan janji-janji politik pada saat sudah terpilih? Jawabnya, sebagian kecil dari janji-janji itu dapat direalisasikan menjadi program unggulan. Sementara sebagian besar janji-janji politik itu gagal diimplementasikan sehingga menguap tidak jelas rimbanya.

Salah satu program yang sulit direalisasikan adalah pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Tampak sekali para pejabat publik belum menemukan skema untuk mewujudkan pendidikan bermutu dengan biaya terjangkau. Janji itu saja sulit direalisasikan, apalagi menyelenggarakan pendidikan gratis-tis. Ironisnya, di beberapa daerah justru terjadi fenomena komersialisasi pendidikan. Indikatornya, antara lain, semakin tingginya donasi yang harus dikeluarkan orang tua untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas bagi anak.

Fenomena komersialisasi pendidikan bahkan terus mengalami peningkatan. Hal itu tidak hanya terjadi di sekolah swasta berkategori mapan dan besar, tapi juga di sekolah negeri favorit. Realita itu menunjukkan bahwa tidak mudah merealisasikan janji politik di bidang pendidikan. Apalagi sejak diimplementasikan kebijakan alih kelola SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi. Kebijakan alih kelola itu berdampak pada munculnya persoalan donasi pendidikan. Bahkan, biaya pendidikan untuk SMA dan SMK semakin sulit dikendalikan. Di Jawa Timur, misalnya, hingga kini belum ada SMA dan SMK yang bebas dari donasi pendidikan.

Hal itu terjadi karena anggaran pemerintah provinsi tidak mampu membiayai secara penuh kebutuhan operasional SMA dan SMK. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota telanjur memahami bahwa pendidikan SMA dan SMK sudah menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi seiring dengan penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasar undang-undang tersebut, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan SMA dan SMK. Mereka hanya mengalokasikan anggaran untuk pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, dan SMP.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Jika ego sektoral pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota terus terjadi, janji penyelenggaraan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau, bahkan gratis-tis, pasti akan semakin sulit direalisasikan. Apalagi jujur harus diakui, masih banyak kepala daerah yang belum well educated. Hal itu dapat diamati dari komitmen kepala daerah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD sebagaimana amanah konstitusi. Padahal, komitmen terhadap besaran pengalokasian anggaran pendidikan penting untuk menunaikan amanah konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika pemerintah gagal menunaikan amanah konstitusi di bidang pendidikan, terutama bagi warga miskin, maka menjadi benar apa yang diutarakan Eko Prasetyo dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah (2004). Buku itu merupakan kritik sosial dan sindiran tajam pada pemerintah yang belum sukses menunaikan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Alih-alih mewujudkan pendidikan berkualitas yang gratis-tis, yang terjadi justru biaya pendidikan semakin mahal sehingga warga miskin tidak mampu sekolah. Dampaknya, layanan pendidikan berkualitas hanya akan dinikmati mereka yang beruang. Dari sinilah fenomena kapitalisasi pendidikan semakin mewabah.

Di tengah kondisi negara yang masih tertatih-tatih dalam menunaikan amanah konstitusi, pemerintah justru merencanakan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dari lembaga pendidikan. Rencana itu tertuang dalam dokumen rancangan undang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (RUU KUP) yang diajukan pemerintah ke DPR. Rencana penerapan pajak pendidikan justru kontrapoduktif dengan amanah konstitusi. Hal itu disebabkan penerapan pajak pendidikan pasti semakin membebani masyarakat.

Baca Juga :  Kepala Daerah, SDM, dan Infrastruktur

Tambahan biaya PPN terutama sekali akan dirasakan lembaga pendidikan swasta yang diselenggarakan ormas keagamaan dan berbagai kelompok masyarakat. Pada konteks ini dapat dipahami jika pimpinan ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) menolak RUU KUP terkait pengaturan pajak pendidikan. Penolakan tersebut dapat dimaklumi karena keduanya merupakan penyelenggara puluhan ribu lembaga pendidikan yang tersebar di seantero negeri.

Jasa dua ormas itu untuk mencerdaskan bangsa juga luar biasa. Bahkan, kiprah keduanya di bidang pendidikan dimulai sejak negeri ini belum lahir. Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat kini juga merambah ke luar negeri. Berbagai pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) didirikan untuk melayani pendidikan pekerja migran Indonesia (PMI). Harus diakui, layanan pendidikan bagi PMI nyaris tidak tersentuh negara.

Dengan kiprah yang luar biasa itu, terasa aneh jika pemerintah justru berencana untuk memungut pajak dari lembaga pendidikan, termasuk yang diselenggarakan ormas dan berbagai kelompok masyarakat. Padahal, kiprah pendidikan swasta dalam membantu tugas negara sangat besar. Untuk daerah-daerah tertentu, kehadiran lembaga pendidikan swasta bahkan mendahului sekolah pemerintah. Dengan kondisi ini, pemerintah seharusnya memberikan apresiasi dan membantu, bukan memajaki lembaga pendidikan swasta.

Apalagi, faktanya tidak semua lembaga pendidikan swasta berkategori mapan dan besar. Yang terbanyak justru lembaga pendidikan swasta berkategori kecil dan miskin. Karena itulah, seluruh elemen masyarakat penting mengawal pembahasan RUU KUP. Jika pajak pendidikan yang termaktub dalam RUU KUP lolos, hal itu pasti menghambat tugas negara untuk menunaikan amanah konstitusi. Di samping itu, pajak pendidikan akan semakin membebani masyarakat. (*)

Biyanto, Guru besar UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

SALAH satu janji politik yang selalu diusung setiap calon dalam pemilihan presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan anggota legislatif adalah penyelenggaraan sekolah secara gratis. Sekurang-kurangnya semua calon yang running dalam pemilu menjanjikan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Umumnya janji sekolah gratis dikemukakan beriringan dengan program kesehatan gratis, tersedianya lapangan pekerjaan, perbaikan kesejahteraan, dan pelayanan sosial.

Semua janji politik itu dikemukakan dalam rangka meraih simpati sekaligus dukungan pemilih. Semua calon yang maju dalam pemilu tampaknya tahu betul harapan pemilih. Pertanyaannya, bagaimana mereka merealisasikan janji-janji politik pada saat sudah terpilih? Jawabnya, sebagian kecil dari janji-janji itu dapat direalisasikan menjadi program unggulan. Sementara sebagian besar janji-janji politik itu gagal diimplementasikan sehingga menguap tidak jelas rimbanya.

Salah satu program yang sulit direalisasikan adalah pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Tampak sekali para pejabat publik belum menemukan skema untuk mewujudkan pendidikan bermutu dengan biaya terjangkau. Janji itu saja sulit direalisasikan, apalagi menyelenggarakan pendidikan gratis-tis. Ironisnya, di beberapa daerah justru terjadi fenomena komersialisasi pendidikan. Indikatornya, antara lain, semakin tingginya donasi yang harus dikeluarkan orang tua untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas bagi anak.

Fenomena komersialisasi pendidikan bahkan terus mengalami peningkatan. Hal itu tidak hanya terjadi di sekolah swasta berkategori mapan dan besar, tapi juga di sekolah negeri favorit. Realita itu menunjukkan bahwa tidak mudah merealisasikan janji politik di bidang pendidikan. Apalagi sejak diimplementasikan kebijakan alih kelola SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi. Kebijakan alih kelola itu berdampak pada munculnya persoalan donasi pendidikan. Bahkan, biaya pendidikan untuk SMA dan SMK semakin sulit dikendalikan. Di Jawa Timur, misalnya, hingga kini belum ada SMA dan SMK yang bebas dari donasi pendidikan.

Hal itu terjadi karena anggaran pemerintah provinsi tidak mampu membiayai secara penuh kebutuhan operasional SMA dan SMK. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota telanjur memahami bahwa pendidikan SMA dan SMK sudah menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi seiring dengan penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasar undang-undang tersebut, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan SMA dan SMK. Mereka hanya mengalokasikan anggaran untuk pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, dan SMP.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Jika ego sektoral pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota terus terjadi, janji penyelenggaraan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau, bahkan gratis-tis, pasti akan semakin sulit direalisasikan. Apalagi jujur harus diakui, masih banyak kepala daerah yang belum well educated. Hal itu dapat diamati dari komitmen kepala daerah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD sebagaimana amanah konstitusi. Padahal, komitmen terhadap besaran pengalokasian anggaran pendidikan penting untuk menunaikan amanah konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika pemerintah gagal menunaikan amanah konstitusi di bidang pendidikan, terutama bagi warga miskin, maka menjadi benar apa yang diutarakan Eko Prasetyo dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah (2004). Buku itu merupakan kritik sosial dan sindiran tajam pada pemerintah yang belum sukses menunaikan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Alih-alih mewujudkan pendidikan berkualitas yang gratis-tis, yang terjadi justru biaya pendidikan semakin mahal sehingga warga miskin tidak mampu sekolah. Dampaknya, layanan pendidikan berkualitas hanya akan dinikmati mereka yang beruang. Dari sinilah fenomena kapitalisasi pendidikan semakin mewabah.

Di tengah kondisi negara yang masih tertatih-tatih dalam menunaikan amanah konstitusi, pemerintah justru merencanakan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dari lembaga pendidikan. Rencana itu tertuang dalam dokumen rancangan undang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (RUU KUP) yang diajukan pemerintah ke DPR. Rencana penerapan pajak pendidikan justru kontrapoduktif dengan amanah konstitusi. Hal itu disebabkan penerapan pajak pendidikan pasti semakin membebani masyarakat.

Baca Juga :  Kepala Daerah, SDM, dan Infrastruktur

Tambahan biaya PPN terutama sekali akan dirasakan lembaga pendidikan swasta yang diselenggarakan ormas keagamaan dan berbagai kelompok masyarakat. Pada konteks ini dapat dipahami jika pimpinan ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) menolak RUU KUP terkait pengaturan pajak pendidikan. Penolakan tersebut dapat dimaklumi karena keduanya merupakan penyelenggara puluhan ribu lembaga pendidikan yang tersebar di seantero negeri.

Jasa dua ormas itu untuk mencerdaskan bangsa juga luar biasa. Bahkan, kiprah keduanya di bidang pendidikan dimulai sejak negeri ini belum lahir. Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat kini juga merambah ke luar negeri. Berbagai pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) didirikan untuk melayani pendidikan pekerja migran Indonesia (PMI). Harus diakui, layanan pendidikan bagi PMI nyaris tidak tersentuh negara.

Dengan kiprah yang luar biasa itu, terasa aneh jika pemerintah justru berencana untuk memungut pajak dari lembaga pendidikan, termasuk yang diselenggarakan ormas dan berbagai kelompok masyarakat. Padahal, kiprah pendidikan swasta dalam membantu tugas negara sangat besar. Untuk daerah-daerah tertentu, kehadiran lembaga pendidikan swasta bahkan mendahului sekolah pemerintah. Dengan kondisi ini, pemerintah seharusnya memberikan apresiasi dan membantu, bukan memajaki lembaga pendidikan swasta.

Apalagi, faktanya tidak semua lembaga pendidikan swasta berkategori mapan dan besar. Yang terbanyak justru lembaga pendidikan swasta berkategori kecil dan miskin. Karena itulah, seluruh elemen masyarakat penting mengawal pembahasan RUU KUP. Jika pajak pendidikan yang termaktub dalam RUU KUP lolos, hal itu pasti menghambat tugas negara untuk menunaikan amanah konstitusi. Di samping itu, pajak pendidikan akan semakin membebani masyarakat. (*)

Biyanto, Guru besar UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Terpopuler

Artikel Terbaru