28.6 C
Jakarta
Saturday, October 12, 2024

Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

PROKALTENG.CO – Tahun 1996, pemerintah Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto melakukan tindakan politik yang masuk catatan hitam
sejarah demokrasi di Indonesia. Yaitu malakukan kudeta atau mengambil alih
kepemimpinan Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi 
Indonesia) dari tangan Megawati Soekarno Putri.

Pengambilalihan paksa kursi ketua
umum dilakukan dalam KLB (Kongres Luar Biasa) yang dipaksakan, di Medan,
Sumatera Utara,  20 s/d 23 Juni 1996.

Sebelumnya, Megawati telah
terpilih untuk memimpin partai berlambang kepala banteng itu dalam KLB (Kongres
Luar Biasa) yang berlangsung dramatis di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya,
Desember 1993. 

Penjegalan habis-habisan yang
dilakukan pemerintah melalui kaki tangannya di PDI antara lain Marsoesi, Yusuf
Merukh, Ismunandar, Budi Hardjono dan Latief Pudjosakti, tidak menyurutkan mayoritas peserta kongres pendukung Mega
yang ketika itu menyebut dirinya arus bawah.

Pada menit-menit terakhir sebelum
polisi menutup pintu gerbang dan memerintahkan semua peserta untuk segera
meninggalkan Asrama Haji, tanggal 6 Desember 1993 pukul 23.55, di pelataran, dengan dikelilingi para peserta
kongres yang mendukungnya, secara de
facto Megawati menyatakan dirinya sebagai Ketua PDI yang sah.

Tanggal 22 Desember atau sekitar
dua pekan usai KLB Surabaya, Megawati 
menggelar Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta, yang dihadiri para
ketua DPC PDI pendukungnya dari seluruh Indonesia. Dalam Munas ini Megawati
dikukuhkan menjadi Ketua Ketua Umum PDI periode 1993-1998.

Tapi pemerintah tak pernah
mengakui kepemimpinan Mega. Berbagai upaya dan usaha dilakukan untuk
melengserkannya, baik melalui internal maupun eksternal partai. Gerakan
pendukung Megawati makin membesar dan meluas, bukan saja berasal dari jajaran struktur partai dari
tingkat yang paling bawah, tetapi juga dari para aktivis pro demokrasi.

Pemerintah yang makin kewalahan
membendung gerakan pro demokrasi itu kemudian merekayasa digelarnya KLB lagi, yang dimaksudkan tidak saja untuk melengserkan Megawati, tapi sekaligus
juga untuk memotong gerakan rakyat yang menghendaki perubahan. Maka melalui
operasi militer yang dilakukan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) hingga tingkat yang paling bawah
yaitu Koramil bahkan Babinsa, para pengurus DPC PDI dari seluruh Indonesia diculik dan dan kemudian diterbangkan secara
paksa ke Medan, Sumatera Utara, untuk 
mengikuti KLB kedua kalinya ini.

Baca Juga :  Kontribusi Industri Pengolahan dalam Pemulihan Ekonomi Kalteng 2021

Sebagian besar dari elit  partai dari daerah yang diculik dan
diterbangkan ke Medan untuk mengikuti KLB itu, adalah mereka yang sebenarnya pendukung setia
Megawati. Makyo Sumaryo Soeryomidjoyo misalnya, tokoh asal Solo yang dikenal
paling setia kepada Megawati. Makyo termasuk mereka yang dipaksa terbang ke
Medan mengikuti KLB. Sepulang dari Medan hingga wafat 26 Januari 2010, Makyo
tak lagi berpolitik. Bahkan dia tak mau lagi bicara soal politik. Dia trauma.

Dari Surabaya juga ada seorang
tokoh lokal yang sebenarnya jadi pendukung Megawati, tetapi setelah mengikuti
KLB Medan tahun 1996, sama sekali tidak mau lagi berbicara perihal politik juga karena trauma. Dia  adalah Sabrot D. Malioboro, yang meninggal
dunia 20 Juli 2020. Tanggal 19 Juni 1996, dia dijemput paksa dari rumahnya di
kawasan Banyu Urip Surabaya, dengan kawalan ketat, kemudian diterbangkan ke
Medan, setelah sebelumnya dikumpulkan di suatu tempat bersama-sama dengan
beberapa teman separtainya.

Ketika itu Panglima ABRI  adalah Jenderal Faisal Tanjung, sedang Menko
Polhukam Soesilo Sudarman dan Menteri Dalam Negeri  yang bertanggungjawab mengurusi partai
politik adalah Yogi S. Memet. Tentu, untuk menggelar KLB ini pemerintah juga
memanfaatkan beberapa alit partai yang berseberangan dengan Megawati,
di antaranya adalah Fatimah Akhmad, Yusuf Meruch dan Latief Pudjosakti.

Pada KLB Medan tahun 1996 itu,
yang dijaga ketat polisi dan pasukan ABRI, 
akhirnya para peserta, sebagian besar karena dipaksa,  memilih kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum
PDI. Soeharto terpaksa menelan ludahnya
sendiri, ketika dia menghadapi dilema politik. Dalam konteks PDI, dia menghukum
dan menendang Soerjadi melalui kongres IV PDI di Medan bulan Juli 1993, tetapi
justru mendapatkan Megawati pada  KLB PDI
di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Desember 1994. Maka kursi  itu diserahkan kembali kepada Soerjadi melalui  KLB PDI di Medan tahun 1996.

Soerjadi ditendang melalui
Kongres IV karena oleh Soeharto dianggap mempunyai dosa besar. Yaitu pada
pemilu tahun 1992, PDI memperoleh suara 
melebihi kuota yang diberikan. Kuota yang sama juga diberikan kepada PPP
(Partai Persatuan Pembangunan), yaitu kedua partai ini pada setiap pemilu tidak
boleh memperoleh suara lebih dari 7 persen, atau setara 25 kursi di DPR-RI.
Tetapi pada pemilu 1992, yang mengikutkan Megawati Soekarnoputri ketika
berkampanye, PDI mendapatkan suara dua kali lipat dari kuotanya, yaitu 14 persen
suara dengan 59 kursi. Peningkatan suara inilah yang oleh Soeharto dianggap
sebagai dosa Soerjadi sehingga harus ditendang.

Baca Juga :  Rekonsiliasi Politik Pascapilkada

Hasil KLB Medan 1996 menjadikan
PDI terpecah jadi dua, yaitu Kubu Megawati dan Kubu Soerjadi/Fatimah Achmad.
Tentu saja kubu Soerjadi/Fatimah Achmad yang direstui pemerintah.  Karena itu pemerintah memberi dukungan penuh
secara tertutup dan terbuka ketika kubu Soerjadi/Fatimah Achmad berusaha
merebut kantor di Jl. Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat, hari Sabtu  tanggal 27 
Juli 1997.

Kubu Megawati yang sudah lebih
dari tiga tahun menempati kantor itu, dan sekitar setahun terakhir  menjadikan halamannya sebagai mimbar
demokrasi, melakukan perlawanan. Akibatnya terjadilah kerusuhan hebat, yang
akhirnya dikenang dengan sebutan Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli).

Dalam peristiwa ini, menurut
cacatan Komnas HAM, tercatat 5 orang meninggal, 150 luka-luka dan 23 orang
lainnya hilang, sampai sekarang. Peristiwa Kudatuli adalah induk dari segala
kerusuhan yang terjadi sesudahnya, yang berakhir dengan lengsernya Presiden
Soeharto setahun kemudian, tepatnya hari Kamis 21 Mei 1998. 

Peristiwa yang menjadi catatan
dalam sejarah politik di Indonesia di atas, muncul kembali dalam ingatan ketika
saat ini melihat kemelut yang dihadapi Partai Demokrat. Terjadi juga upaya
paksa untuk menggelar KLB Partai Demokrat, dengan locus yang sama dengan KLB
PDI tahun 1996, yaitu Sumatera Utara.

Politik adalah bagian dari
kebudayaan. Kalau politik sudah dilepaskan dari kebudayaan, maka politik akan
kembali pada asal katanya yaitu siasiyah atau siasah, diadopsi dari bahasa Arab
yang artinya siasat. Siasat biasanya dilakukan dengan segala cara untuk
mewujudkan keinginan. Termasuk juga keinginan dalam menuliskan sejarah,
meskipun kembali menggunakan tinta hitam.(*)

PROKALTENG.CO – Tahun 1996, pemerintah Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto melakukan tindakan politik yang masuk catatan hitam
sejarah demokrasi di Indonesia. Yaitu malakukan kudeta atau mengambil alih
kepemimpinan Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi 
Indonesia) dari tangan Megawati Soekarno Putri.

Pengambilalihan paksa kursi ketua
umum dilakukan dalam KLB (Kongres Luar Biasa) yang dipaksakan, di Medan,
Sumatera Utara,  20 s/d 23 Juni 1996.

Sebelumnya, Megawati telah
terpilih untuk memimpin partai berlambang kepala banteng itu dalam KLB (Kongres
Luar Biasa) yang berlangsung dramatis di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya,
Desember 1993. 

Penjegalan habis-habisan yang
dilakukan pemerintah melalui kaki tangannya di PDI antara lain Marsoesi, Yusuf
Merukh, Ismunandar, Budi Hardjono dan Latief Pudjosakti, tidak menyurutkan mayoritas peserta kongres pendukung Mega
yang ketika itu menyebut dirinya arus bawah.

Pada menit-menit terakhir sebelum
polisi menutup pintu gerbang dan memerintahkan semua peserta untuk segera
meninggalkan Asrama Haji, tanggal 6 Desember 1993 pukul 23.55, di pelataran, dengan dikelilingi para peserta
kongres yang mendukungnya, secara de
facto Megawati menyatakan dirinya sebagai Ketua PDI yang sah.

Tanggal 22 Desember atau sekitar
dua pekan usai KLB Surabaya, Megawati 
menggelar Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta, yang dihadiri para
ketua DPC PDI pendukungnya dari seluruh Indonesia. Dalam Munas ini Megawati
dikukuhkan menjadi Ketua Ketua Umum PDI periode 1993-1998.

Tapi pemerintah tak pernah
mengakui kepemimpinan Mega. Berbagai upaya dan usaha dilakukan untuk
melengserkannya, baik melalui internal maupun eksternal partai. Gerakan
pendukung Megawati makin membesar dan meluas, bukan saja berasal dari jajaran struktur partai dari
tingkat yang paling bawah, tetapi juga dari para aktivis pro demokrasi.

Pemerintah yang makin kewalahan
membendung gerakan pro demokrasi itu kemudian merekayasa digelarnya KLB lagi, yang dimaksudkan tidak saja untuk melengserkan Megawati, tapi sekaligus
juga untuk memotong gerakan rakyat yang menghendaki perubahan. Maka melalui
operasi militer yang dilakukan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) hingga tingkat yang paling bawah
yaitu Koramil bahkan Babinsa, para pengurus DPC PDI dari seluruh Indonesia diculik dan dan kemudian diterbangkan secara
paksa ke Medan, Sumatera Utara, untuk 
mengikuti KLB kedua kalinya ini.

Baca Juga :  Kontribusi Industri Pengolahan dalam Pemulihan Ekonomi Kalteng 2021

Sebagian besar dari elit  partai dari daerah yang diculik dan
diterbangkan ke Medan untuk mengikuti KLB itu, adalah mereka yang sebenarnya pendukung setia
Megawati. Makyo Sumaryo Soeryomidjoyo misalnya, tokoh asal Solo yang dikenal
paling setia kepada Megawati. Makyo termasuk mereka yang dipaksa terbang ke
Medan mengikuti KLB. Sepulang dari Medan hingga wafat 26 Januari 2010, Makyo
tak lagi berpolitik. Bahkan dia tak mau lagi bicara soal politik. Dia trauma.

Dari Surabaya juga ada seorang
tokoh lokal yang sebenarnya jadi pendukung Megawati, tetapi setelah mengikuti
KLB Medan tahun 1996, sama sekali tidak mau lagi berbicara perihal politik juga karena trauma. Dia  adalah Sabrot D. Malioboro, yang meninggal
dunia 20 Juli 2020. Tanggal 19 Juni 1996, dia dijemput paksa dari rumahnya di
kawasan Banyu Urip Surabaya, dengan kawalan ketat, kemudian diterbangkan ke
Medan, setelah sebelumnya dikumpulkan di suatu tempat bersama-sama dengan
beberapa teman separtainya.

Ketika itu Panglima ABRI  adalah Jenderal Faisal Tanjung, sedang Menko
Polhukam Soesilo Sudarman dan Menteri Dalam Negeri  yang bertanggungjawab mengurusi partai
politik adalah Yogi S. Memet. Tentu, untuk menggelar KLB ini pemerintah juga
memanfaatkan beberapa alit partai yang berseberangan dengan Megawati,
di antaranya adalah Fatimah Akhmad, Yusuf Meruch dan Latief Pudjosakti.

Pada KLB Medan tahun 1996 itu,
yang dijaga ketat polisi dan pasukan ABRI, 
akhirnya para peserta, sebagian besar karena dipaksa,  memilih kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum
PDI. Soeharto terpaksa menelan ludahnya
sendiri, ketika dia menghadapi dilema politik. Dalam konteks PDI, dia menghukum
dan menendang Soerjadi melalui kongres IV PDI di Medan bulan Juli 1993, tetapi
justru mendapatkan Megawati pada  KLB PDI
di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Desember 1994. Maka kursi  itu diserahkan kembali kepada Soerjadi melalui  KLB PDI di Medan tahun 1996.

Soerjadi ditendang melalui
Kongres IV karena oleh Soeharto dianggap mempunyai dosa besar. Yaitu pada
pemilu tahun 1992, PDI memperoleh suara 
melebihi kuota yang diberikan. Kuota yang sama juga diberikan kepada PPP
(Partai Persatuan Pembangunan), yaitu kedua partai ini pada setiap pemilu tidak
boleh memperoleh suara lebih dari 7 persen, atau setara 25 kursi di DPR-RI.
Tetapi pada pemilu 1992, yang mengikutkan Megawati Soekarnoputri ketika
berkampanye, PDI mendapatkan suara dua kali lipat dari kuotanya, yaitu 14 persen
suara dengan 59 kursi. Peningkatan suara inilah yang oleh Soeharto dianggap
sebagai dosa Soerjadi sehingga harus ditendang.

Baca Juga :  Rekonsiliasi Politik Pascapilkada

Hasil KLB Medan 1996 menjadikan
PDI terpecah jadi dua, yaitu Kubu Megawati dan Kubu Soerjadi/Fatimah Achmad.
Tentu saja kubu Soerjadi/Fatimah Achmad yang direstui pemerintah.  Karena itu pemerintah memberi dukungan penuh
secara tertutup dan terbuka ketika kubu Soerjadi/Fatimah Achmad berusaha
merebut kantor di Jl. Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat, hari Sabtu  tanggal 27 
Juli 1997.

Kubu Megawati yang sudah lebih
dari tiga tahun menempati kantor itu, dan sekitar setahun terakhir  menjadikan halamannya sebagai mimbar
demokrasi, melakukan perlawanan. Akibatnya terjadilah kerusuhan hebat, yang
akhirnya dikenang dengan sebutan Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli).

Dalam peristiwa ini, menurut
cacatan Komnas HAM, tercatat 5 orang meninggal, 150 luka-luka dan 23 orang
lainnya hilang, sampai sekarang. Peristiwa Kudatuli adalah induk dari segala
kerusuhan yang terjadi sesudahnya, yang berakhir dengan lengsernya Presiden
Soeharto setahun kemudian, tepatnya hari Kamis 21 Mei 1998. 

Peristiwa yang menjadi catatan
dalam sejarah politik di Indonesia di atas, muncul kembali dalam ingatan ketika
saat ini melihat kemelut yang dihadapi Partai Demokrat. Terjadi juga upaya
paksa untuk menggelar KLB Partai Demokrat, dengan locus yang sama dengan KLB
PDI tahun 1996, yaitu Sumatera Utara.

Politik adalah bagian dari
kebudayaan. Kalau politik sudah dilepaskan dari kebudayaan, maka politik akan
kembali pada asal katanya yaitu siasiyah atau siasah, diadopsi dari bahasa Arab
yang artinya siasat. Siasat biasanya dilakukan dengan segala cara untuk
mewujudkan keinginan. Termasuk juga keinginan dalam menuliskan sejarah,
meskipun kembali menggunakan tinta hitam.(*)

Terpopuler

Artikel Terbaru