28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Rekonsiliasi Politik Pascapilkada

SELESAI sudah puncak gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak 2020. Ke depan, masih ada tahap krusial, yaitu gugatan hasil
penghitungan suara. Beberapa daerah menunjukkan hasil ketat sebagaimana versi
quick count lembaga survei. Bahkan hasil rekapitulasi di KPU.

Pilkada secara umum berjalan
lancar. Beberapa dugaan pelanggaran sebagai permasalahan klasik memang masih
ada, tapi tidak masif. Dugaan pelanggaran dalam taraf wajar dan dapat
tertangani sesuai dengan regulasi. Kontestasi demokrasi mesti dimaknai sebagai
kompetisi yang sehat. Kalah menang itu biasa. Kemenangan mesti disikapi
bijaksana tanpa euforia; kekalahan harus dihadapi secara legawa.

Jika terdapat keberatan, jalur
sengketa terbuka dan sah ditempuh. Fokus ke depan yang paling substansial
adalah upaya rekonsiliasi dan sinergi antar peserta, termasuk tim sukses hingga
para pemilihnya.

Rekonsiliasi dan Sinergi

Pilkada 2020 adalah pilkada serentak
keempat sepanjang sejarah keindonesiaan. Sebelumnya pilkada serentak terlaksana
pada 2015, 2017, dan 2018. Pilkada serentak 2020 terselenggara di 270 daerah.
Perinciannya, 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota (satu daerah, yakni
Kabupaten Boven Digoel, akhirnya ditunda).

Sebagian besar hasil rekapitulasi
telah diselesaikan di tingkat KPU. Hasilnya beragam. Ada yang sesuai prediksi,
tapi ada pula yang memberikan kejutan. Bahkan, saling klaim kemenangan akibat
tipisnya selisih suara juga terjadi. Secara umum, proses pilkada dapat
dikatakan lancar dan aman. Konflik horizontal tidak sampai memuncak menjadi
tindakan kerusuhan sebagaimana pernah terjadi pada gelaran pilkada-pilkada
sebelumnya.

Pemenang sejati dalam kontestasi
demokrasi adalah seluruh rakyat. Peserta dan pendukung yang kalah pun, jika
menyikapi kekalahan secara bijaksana, legawa, dan mengikuti regulasi,
sesungguhnya mereka telah memenangkan dirinya. Polarisasi politik penting untuk
tidak dilanjutkan dan berlarut-larut. Pascapilkada mesti segera bergandengan
tangan.

Pasangan peserta, parpol, dan tim
sukses harus memberikan keteladanan. Silaturahmi politik yang mengarah pada
rekonsiliasi segera dilaksanakan. Koordinasi intens dapat diinisiasi untuk
membangun sinergi. Program kampanye yang sesuai dari pihak yang kalah penting
didalami dan diadopsi. Kepentingan bangsa harus ditempatkan paling atas.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan merekrut tim sukses pihak yang kalah oleh
pemenang untuk menguatkan barisan pemerintahan ke depan. Pilihan sebagai oposan,
meskipun tidak ada dalam kamus politik Indonesia, perlu dihormati dan
diapresiasi.

Baca Juga :  Perkuat Skenario Belanja Tidak Tetap Pemda

Oposisi dilaksanakan secara
konstruktif demi kepentingan pembangunan daerah. Sebaliknya, pihak penguasa
kelak seharusnya tidak jemawa dan arogan. Apalagi menggunakan kekuasaan secara
ilegal dengan mengintervensi lembaga-lembaga lain untuk mereduksi peran hingga
menghabisi lawan politiknya.

Pemimpin terpilih kini sudah
menjadi milik seluruh rakyat, bukan hanya milik pendukungnya. Pemfasilitasan
dapat dilakukan pemerintah pusat, ormas, atau pihak ketiga untuk mewujudkan
harapan di atas. Gerakan dari akar rumput justru penting didorong agar
elite-elitenya tersadar untuk mengikutinya. Tercapainya rekonsiliasi dan
sinergi pascakontestasi merupakan preseden baik bagi demokrasi dan perpolitikan
Indonesia yang bermartabat.

Suasana pascapilkada masih rentan
konflik. Semua kubu penting melakukan rekonsiliasi politik. Pihak yang netral
dan diterima kedua kubu dapat menjadi fasilitator. Elite politik penting
bertemu demi mendinginkan suasana pendukungnya. Komitmen damai serta siap
menang dan siap kalah yang dicanangkan sebelum pilkada dituntut untuk
dibuktikan.

Kenegarawanan kontestan akan
diuji. Hans Morgenthau and Kenneth Thompson dalam bukunya, Politics Among
Nations (1985), menyatakan, negarawan harus berpikir bahwa kepentingan nasional
adalah salah satu bentuk kekuasaan. Berkuasa tidak harus memimpin, tetapi
termasuk bisa memprioritaskan kepentingan nasional.

Strategi Rekonsiliasi

Rekonsiliasi politik akan
terlaksana jika kedua pihak (yang kalah dan yang menang) sadar dan memiliki
kesamaan pandangan serta komitmen kebangsaan. Maulidana dkk (2013) memaparkan,
dalam memandang dimensi ke depan, rekonsiliasi berarti memungkinkan kedua pihak
melanjutkan hidup bersama.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Menurut Lederach (1999: 24),
perlu adanya kerangka kuat yang dapat mengagendakan pemulihan relasional dalam
rekonsiliasi politik. Sebagai suatu representasi dari ruang sosial,
rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang sebelumnya saling benci.
Rekonsiliasi, masih menurut Lederach (1999: 29), membutuhkan suatu tempat yang
di dalamnya kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan
(justice), serta damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama.

Filsuf Karl Jaspers (1996)
mengungkapkan, rekonsiliasi sejati adalah bermakna kebenaran. Artinya, bukan
sikap kepura-puraan di depan publik, melainkan di belakang kembali menggalang
kekuatan untuk melanjutkan konfrontasi. Segala pelanggaran mesti tetap berlanjut
diproses secara hukum. Konfrontasi sosial saatnya ditutup lembarannya, seperti
saling menjelekkan, menghina, memfitnah, dan lainnya. Pendidikan politik
penting bagi kader dan pendukung guna menghentikan laku itu semua dan
mengedepankan kesantunan politik.

Kader dan pendukung boleh saja,
bahkan wajib, melakukan pengawasan dan pengawalan rekapitulasi suara. Namun
tidak seyogianya melanjutkan tradisi saling serang sebagaimana terjadi sebelum
pilkada. Segala temuan pelanggaran pemilu dapat disalurkan secara legal melalui
Bawaslu atau panwaslu serta kepolisian jika memasuki ranah pidana. Butuh
komitmen persatuan dan saling bergandengan tangan di antara anak bangsa.

Upaya rekonsiliasi juga mesti
didukung media. Konten provokatif mesti dihentikan dan diganti acara yang bisa
menghangatkan hubungan antarkubu kontestan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dan Dewan Pers dituntut bertindak tegas dan bijak dalam mengawasi insan media.

Apa pun yang terjadi dan siapa
pun yang menang, rekonsiliasi politik menjadi kebutuhan mendesak. Bahkan
seyogianya dilakukan sebelum pengumuman pemenang pada 26 Desember nanti.
Rekonsiliasi politik akan membuka ruang perdamaian sosial demi menciptakan
situasi dan kondisi yang aman dan nyaman. (*)

(Ribut Lupiyanto, Deputi direktur
Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA))

SELESAI sudah puncak gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak 2020. Ke depan, masih ada tahap krusial, yaitu gugatan hasil
penghitungan suara. Beberapa daerah menunjukkan hasil ketat sebagaimana versi
quick count lembaga survei. Bahkan hasil rekapitulasi di KPU.

Pilkada secara umum berjalan
lancar. Beberapa dugaan pelanggaran sebagai permasalahan klasik memang masih
ada, tapi tidak masif. Dugaan pelanggaran dalam taraf wajar dan dapat
tertangani sesuai dengan regulasi. Kontestasi demokrasi mesti dimaknai sebagai
kompetisi yang sehat. Kalah menang itu biasa. Kemenangan mesti disikapi
bijaksana tanpa euforia; kekalahan harus dihadapi secara legawa.

Jika terdapat keberatan, jalur
sengketa terbuka dan sah ditempuh. Fokus ke depan yang paling substansial
adalah upaya rekonsiliasi dan sinergi antar peserta, termasuk tim sukses hingga
para pemilihnya.

Rekonsiliasi dan Sinergi

Pilkada 2020 adalah pilkada serentak
keempat sepanjang sejarah keindonesiaan. Sebelumnya pilkada serentak terlaksana
pada 2015, 2017, dan 2018. Pilkada serentak 2020 terselenggara di 270 daerah.
Perinciannya, 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota (satu daerah, yakni
Kabupaten Boven Digoel, akhirnya ditunda).

Sebagian besar hasil rekapitulasi
telah diselesaikan di tingkat KPU. Hasilnya beragam. Ada yang sesuai prediksi,
tapi ada pula yang memberikan kejutan. Bahkan, saling klaim kemenangan akibat
tipisnya selisih suara juga terjadi. Secara umum, proses pilkada dapat
dikatakan lancar dan aman. Konflik horizontal tidak sampai memuncak menjadi
tindakan kerusuhan sebagaimana pernah terjadi pada gelaran pilkada-pilkada
sebelumnya.

Pemenang sejati dalam kontestasi
demokrasi adalah seluruh rakyat. Peserta dan pendukung yang kalah pun, jika
menyikapi kekalahan secara bijaksana, legawa, dan mengikuti regulasi,
sesungguhnya mereka telah memenangkan dirinya. Polarisasi politik penting untuk
tidak dilanjutkan dan berlarut-larut. Pascapilkada mesti segera bergandengan
tangan.

Pasangan peserta, parpol, dan tim
sukses harus memberikan keteladanan. Silaturahmi politik yang mengarah pada
rekonsiliasi segera dilaksanakan. Koordinasi intens dapat diinisiasi untuk
membangun sinergi. Program kampanye yang sesuai dari pihak yang kalah penting
didalami dan diadopsi. Kepentingan bangsa harus ditempatkan paling atas.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan merekrut tim sukses pihak yang kalah oleh
pemenang untuk menguatkan barisan pemerintahan ke depan. Pilihan sebagai oposan,
meskipun tidak ada dalam kamus politik Indonesia, perlu dihormati dan
diapresiasi.

Baca Juga :  Perkuat Skenario Belanja Tidak Tetap Pemda

Oposisi dilaksanakan secara
konstruktif demi kepentingan pembangunan daerah. Sebaliknya, pihak penguasa
kelak seharusnya tidak jemawa dan arogan. Apalagi menggunakan kekuasaan secara
ilegal dengan mengintervensi lembaga-lembaga lain untuk mereduksi peran hingga
menghabisi lawan politiknya.

Pemimpin terpilih kini sudah
menjadi milik seluruh rakyat, bukan hanya milik pendukungnya. Pemfasilitasan
dapat dilakukan pemerintah pusat, ormas, atau pihak ketiga untuk mewujudkan
harapan di atas. Gerakan dari akar rumput justru penting didorong agar
elite-elitenya tersadar untuk mengikutinya. Tercapainya rekonsiliasi dan
sinergi pascakontestasi merupakan preseden baik bagi demokrasi dan perpolitikan
Indonesia yang bermartabat.

Suasana pascapilkada masih rentan
konflik. Semua kubu penting melakukan rekonsiliasi politik. Pihak yang netral
dan diterima kedua kubu dapat menjadi fasilitator. Elite politik penting
bertemu demi mendinginkan suasana pendukungnya. Komitmen damai serta siap
menang dan siap kalah yang dicanangkan sebelum pilkada dituntut untuk
dibuktikan.

Kenegarawanan kontestan akan
diuji. Hans Morgenthau and Kenneth Thompson dalam bukunya, Politics Among
Nations (1985), menyatakan, negarawan harus berpikir bahwa kepentingan nasional
adalah salah satu bentuk kekuasaan. Berkuasa tidak harus memimpin, tetapi
termasuk bisa memprioritaskan kepentingan nasional.

Strategi Rekonsiliasi

Rekonsiliasi politik akan
terlaksana jika kedua pihak (yang kalah dan yang menang) sadar dan memiliki
kesamaan pandangan serta komitmen kebangsaan. Maulidana dkk (2013) memaparkan,
dalam memandang dimensi ke depan, rekonsiliasi berarti memungkinkan kedua pihak
melanjutkan hidup bersama.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Menurut Lederach (1999: 24),
perlu adanya kerangka kuat yang dapat mengagendakan pemulihan relasional dalam
rekonsiliasi politik. Sebagai suatu representasi dari ruang sosial,
rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang sebelumnya saling benci.
Rekonsiliasi, masih menurut Lederach (1999: 29), membutuhkan suatu tempat yang
di dalamnya kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan
(justice), serta damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama.

Filsuf Karl Jaspers (1996)
mengungkapkan, rekonsiliasi sejati adalah bermakna kebenaran. Artinya, bukan
sikap kepura-puraan di depan publik, melainkan di belakang kembali menggalang
kekuatan untuk melanjutkan konfrontasi. Segala pelanggaran mesti tetap berlanjut
diproses secara hukum. Konfrontasi sosial saatnya ditutup lembarannya, seperti
saling menjelekkan, menghina, memfitnah, dan lainnya. Pendidikan politik
penting bagi kader dan pendukung guna menghentikan laku itu semua dan
mengedepankan kesantunan politik.

Kader dan pendukung boleh saja,
bahkan wajib, melakukan pengawasan dan pengawalan rekapitulasi suara. Namun
tidak seyogianya melanjutkan tradisi saling serang sebagaimana terjadi sebelum
pilkada. Segala temuan pelanggaran pemilu dapat disalurkan secara legal melalui
Bawaslu atau panwaslu serta kepolisian jika memasuki ranah pidana. Butuh
komitmen persatuan dan saling bergandengan tangan di antara anak bangsa.

Upaya rekonsiliasi juga mesti
didukung media. Konten provokatif mesti dihentikan dan diganti acara yang bisa
menghangatkan hubungan antarkubu kontestan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dan Dewan Pers dituntut bertindak tegas dan bijak dalam mengawasi insan media.

Apa pun yang terjadi dan siapa
pun yang menang, rekonsiliasi politik menjadi kebutuhan mendesak. Bahkan
seyogianya dilakukan sebelum pengumuman pemenang pada 26 Desember nanti.
Rekonsiliasi politik akan membuka ruang perdamaian sosial demi menciptakan
situasi dan kondisi yang aman dan nyaman. (*)

(Ribut Lupiyanto, Deputi direktur
Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA))

Terpopuler

Artikel Terbaru