28.9 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Diet Karbon dan Paradigma Baru Pangan Masa Depan

SAAT ini tengah berlangsung Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, mulai 31 Oktober hingga 12 November 2021. Lebih dari seratus negara akan mengirimkan delegasinya untuk membangun kesepakatan bersama demi menyelamatkan bumi dari kehancuran. Salah satu kesepakatan utama yang ingin dicapai adalah menyelamatkan bumi dengan emisi nol karbon demi mencegah suhu bumi agar tidak naik di atas 1,5 derajat Celsius. Kita akan menunggu hasil kesepakatan konkret lainnya saat konferensi ini berakhir.

Kita di Indonesia, yang berada lebih dari 11.000 kilometer jauhnya dari Glasgow, sejatinya juga harus mulai dan mampu berkontribusi nyata untuk menurunkan emisi karbon, baik sebagai individu maupun sebagai warga bangsa. Seberapa pun kecilnya sumbangan itu akan tetap bermanfaat bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi jika dilakukan secara bersama-sama serta terus-menerus.

 

Diet Karbon dan Bencana Global

”Zona iklim akan bergeser dan curah hujan akan terdistribusi secara berbeda. Kita harus menyadari bahwa kita sedang memasuki situasi di mana tidak ada jalan untuk kembali,” tulis laman resmi Max Planck Institute for Meteorology, Jerman, tempat bekerja Klaus Hasselmann, salah satu penerima Penghargaan Nobel Fisika 2021.

Kekhawatiran di atas sangat beralasan. Sebab, gaya hidup penduduk bumi pada umumnya masih belum mendukung diet karbon alias cenderung boros karbon. Akibatnya, sekitar 65 persen emisi gas rumah kaca (GRK) atau greenhouse gas (GHG) yang diproduksi secara global dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil, terutama minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Bahan bakar fosil tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia sehari-hari, seperti transportasi, pembangkit tenaga listrik, serta kebutuhan lainnya untuk banyak proses di dalam industri.

Dampak perubahan iklim global sudah banyak dirasakan manusia secara dramatis. Adanya peningkatan kejadian cuaca ekstrem, mulai curah hujan yang lebih tinggi dan banjir yang meluas di Jerman, Belgia, Inggris, Pakistan, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Terjadinya kekeringan di beberapa bagian Afrika dan Amerika Serikat serta kebakaran hebat di Australia, Amerika Serikat, dan Rusia. Di Indonesia, menurut data BNPB hingga 31 Oktober 2021, bencana banjir adalah kejadian bencana alam terbesar selain kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta tanah longsor.

Baca Juga :  Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

 

Pangan Lokal dan Paradigma Baru Pangan Masa Depan

Transportasi bahan pangan sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil. Jarak tempuh bahan pangan (food miles) adalah jarak tempuh transportasi atau distribusi bahan pangan sejak proses produksi hingga mencapai konsumen. Jarak tempuh merupakan salah satu faktor untuk menilai dampak lingkungan dari bahan pangan, termasuk dampaknya terhadap pemanasan global. Semakin jauh jarak tempuh semakin tidak ramah lingkungan.

Konsep food miles sesungguhnya telah dicetuskan pada awal 1990-an di Inggris oleh Tim Lang dari Sustainable Agriculture Food and Environment (SAFE), Alliance, London, UK. Kali pertama muncul dalam laporan bertajuk ”The Food Miles Report: The Dangers of Long-Distance Food Transport” yang ditulis Angela Paxton (1994).

Merujuk konsep food miles tersebut, sebenarnya pangan lokal akan mampu menjadi pangan yang berkelanjutan (sustainable food) sekaligus menjadi paradigma baru pangan masa depan karena beberapa sebab. Pertama, lokalitas pangan mendukung gerakan diet karbon yang dicirikan oleh food miles yang rendah.

Kedua, tingkat diversitas atau keragaman pangan lokal di Indonesia yang tinggi sehingga mampu memberikan banyak pilihan sebagai sumber kalori. Tidak terlalu bergantung pada satu atau dua bahan pangan saja. Diversitas pangan memungkinkan masyarakat memiliki daya lentur (flexibility) yang tinggi sehingga cenderung mampu bertahan hidup dengan lebih baik pada saat terjadi krisis dan bencana. Karena memiliki banyak alternatif pangan. Bisa dikatakan, diversitas pangan akan membantu masyarakat memiliki daya adaptasi (resilience) yang tinggi.

Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas (megabiodiversity) kedua terbesar di dunia setelah Brasil. Hal itu menjadi alasan utama mengapa biodiversitas atau keanekaragaman hayati menjadi aset jangka panjang yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa. Salah satu bukti potensi besar diversitas pangan tergambar dari riset yang telah dilakukan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementan. Bahwa di Indonesia terdapat sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, serta 450 jenis buah.

Baca Juga :  Kartini dalam Perspektif Wanita Masa Kini

Selama puluhan tahun, lidah sebagian besar orang Indonesia sudah ”dikalibrasi” dengan kebiasaan makan makanan sumber karbohidrat yang berasal dari beras dan terigu (gandum). Swasembada beras pada 1984 juga turut memberikan dampak pada terbentuknya paradigma pangan sumber karbohidrat utama berupa beras. Bahkan, masyarakat Indonesia sering mengatakan belum berasa makan jika belum makan nasi. Padahal, sumber karbohidrat lokal lain juga melimpah. Misalnya jagung, sorgum, sagu, serta umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, dan kentang.

Mengubah paradigma pangan bukanlah perkara mudah karena kebiasaan mengonsumsi pangan sumber karbohidrat dari kelompok padi-padian, terutama beras dan gandum, yang sudah sangat lama terbentuk. Mengubah paradigma pangan juga berarti mengubah kesan inferior dan lekat dengan kemiskinan pada pangan yang berasal dari kelompok umbi-umbian. Masih akan ada tantangan lainnya, yakni tentang permintaan, penawaran (ketersediaan), dan juga kompetisi antarkomoditas bahan pangan sumber karbohidrat.

 

Salah satu cara sederhana mengubah paradigma pangan adalah membangun kesadaran baru, dengan memulai secara perlahan mengurangi pangan sumber karbohidrat berbasis beras ataupun terigu. Kemudian beralih ke sumber karbohidrat yang lainnya, seperti sorgum yang nutrisinya, terutama protein, tidak kalah dengan makanan impor yang sering disebut sebagai superfood semisal kinoa (quinoa).

Mulai menghindari daging merah dan beralih ke ikan serta protein nabati juga bagian dari salah satu cara untuk mengurangi jejak karbon dalam makanan. Selain baik bagi iklim, pola diet ini baik bagi kesehatan. Pangan yang sehat buat diri dan lingkungan adalah pangan masa depan. (*)

 

*) SUNARDI SISWODIHARJO, Food engineer, alumnus Teknologi Pangan UGM, pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan

SAAT ini tengah berlangsung Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, mulai 31 Oktober hingga 12 November 2021. Lebih dari seratus negara akan mengirimkan delegasinya untuk membangun kesepakatan bersama demi menyelamatkan bumi dari kehancuran. Salah satu kesepakatan utama yang ingin dicapai adalah menyelamatkan bumi dengan emisi nol karbon demi mencegah suhu bumi agar tidak naik di atas 1,5 derajat Celsius. Kita akan menunggu hasil kesepakatan konkret lainnya saat konferensi ini berakhir.

Kita di Indonesia, yang berada lebih dari 11.000 kilometer jauhnya dari Glasgow, sejatinya juga harus mulai dan mampu berkontribusi nyata untuk menurunkan emisi karbon, baik sebagai individu maupun sebagai warga bangsa. Seberapa pun kecilnya sumbangan itu akan tetap bermanfaat bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi jika dilakukan secara bersama-sama serta terus-menerus.

 

Diet Karbon dan Bencana Global

”Zona iklim akan bergeser dan curah hujan akan terdistribusi secara berbeda. Kita harus menyadari bahwa kita sedang memasuki situasi di mana tidak ada jalan untuk kembali,” tulis laman resmi Max Planck Institute for Meteorology, Jerman, tempat bekerja Klaus Hasselmann, salah satu penerima Penghargaan Nobel Fisika 2021.

Kekhawatiran di atas sangat beralasan. Sebab, gaya hidup penduduk bumi pada umumnya masih belum mendukung diet karbon alias cenderung boros karbon. Akibatnya, sekitar 65 persen emisi gas rumah kaca (GRK) atau greenhouse gas (GHG) yang diproduksi secara global dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil, terutama minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Bahan bakar fosil tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia sehari-hari, seperti transportasi, pembangkit tenaga listrik, serta kebutuhan lainnya untuk banyak proses di dalam industri.

Dampak perubahan iklim global sudah banyak dirasakan manusia secara dramatis. Adanya peningkatan kejadian cuaca ekstrem, mulai curah hujan yang lebih tinggi dan banjir yang meluas di Jerman, Belgia, Inggris, Pakistan, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Terjadinya kekeringan di beberapa bagian Afrika dan Amerika Serikat serta kebakaran hebat di Australia, Amerika Serikat, dan Rusia. Di Indonesia, menurut data BNPB hingga 31 Oktober 2021, bencana banjir adalah kejadian bencana alam terbesar selain kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta tanah longsor.

Baca Juga :  Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

 

Pangan Lokal dan Paradigma Baru Pangan Masa Depan

Transportasi bahan pangan sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil. Jarak tempuh bahan pangan (food miles) adalah jarak tempuh transportasi atau distribusi bahan pangan sejak proses produksi hingga mencapai konsumen. Jarak tempuh merupakan salah satu faktor untuk menilai dampak lingkungan dari bahan pangan, termasuk dampaknya terhadap pemanasan global. Semakin jauh jarak tempuh semakin tidak ramah lingkungan.

Konsep food miles sesungguhnya telah dicetuskan pada awal 1990-an di Inggris oleh Tim Lang dari Sustainable Agriculture Food and Environment (SAFE), Alliance, London, UK. Kali pertama muncul dalam laporan bertajuk ”The Food Miles Report: The Dangers of Long-Distance Food Transport” yang ditulis Angela Paxton (1994).

Merujuk konsep food miles tersebut, sebenarnya pangan lokal akan mampu menjadi pangan yang berkelanjutan (sustainable food) sekaligus menjadi paradigma baru pangan masa depan karena beberapa sebab. Pertama, lokalitas pangan mendukung gerakan diet karbon yang dicirikan oleh food miles yang rendah.

Kedua, tingkat diversitas atau keragaman pangan lokal di Indonesia yang tinggi sehingga mampu memberikan banyak pilihan sebagai sumber kalori. Tidak terlalu bergantung pada satu atau dua bahan pangan saja. Diversitas pangan memungkinkan masyarakat memiliki daya lentur (flexibility) yang tinggi sehingga cenderung mampu bertahan hidup dengan lebih baik pada saat terjadi krisis dan bencana. Karena memiliki banyak alternatif pangan. Bisa dikatakan, diversitas pangan akan membantu masyarakat memiliki daya adaptasi (resilience) yang tinggi.

Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas (megabiodiversity) kedua terbesar di dunia setelah Brasil. Hal itu menjadi alasan utama mengapa biodiversitas atau keanekaragaman hayati menjadi aset jangka panjang yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa. Salah satu bukti potensi besar diversitas pangan tergambar dari riset yang telah dilakukan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementan. Bahwa di Indonesia terdapat sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, serta 450 jenis buah.

Baca Juga :  Kartini dalam Perspektif Wanita Masa Kini

Selama puluhan tahun, lidah sebagian besar orang Indonesia sudah ”dikalibrasi” dengan kebiasaan makan makanan sumber karbohidrat yang berasal dari beras dan terigu (gandum). Swasembada beras pada 1984 juga turut memberikan dampak pada terbentuknya paradigma pangan sumber karbohidrat utama berupa beras. Bahkan, masyarakat Indonesia sering mengatakan belum berasa makan jika belum makan nasi. Padahal, sumber karbohidrat lokal lain juga melimpah. Misalnya jagung, sorgum, sagu, serta umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, dan kentang.

Mengubah paradigma pangan bukanlah perkara mudah karena kebiasaan mengonsumsi pangan sumber karbohidrat dari kelompok padi-padian, terutama beras dan gandum, yang sudah sangat lama terbentuk. Mengubah paradigma pangan juga berarti mengubah kesan inferior dan lekat dengan kemiskinan pada pangan yang berasal dari kelompok umbi-umbian. Masih akan ada tantangan lainnya, yakni tentang permintaan, penawaran (ketersediaan), dan juga kompetisi antarkomoditas bahan pangan sumber karbohidrat.

 

Salah satu cara sederhana mengubah paradigma pangan adalah membangun kesadaran baru, dengan memulai secara perlahan mengurangi pangan sumber karbohidrat berbasis beras ataupun terigu. Kemudian beralih ke sumber karbohidrat yang lainnya, seperti sorgum yang nutrisinya, terutama protein, tidak kalah dengan makanan impor yang sering disebut sebagai superfood semisal kinoa (quinoa).

Mulai menghindari daging merah dan beralih ke ikan serta protein nabati juga bagian dari salah satu cara untuk mengurangi jejak karbon dalam makanan. Selain baik bagi iklim, pola diet ini baik bagi kesehatan. Pangan yang sehat buat diri dan lingkungan adalah pangan masa depan. (*)

 

*) SUNARDI SISWODIHARJO, Food engineer, alumnus Teknologi Pangan UGM, pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru