26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

”AKU rela dipenjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas,’’ kata Bung Hatta ketika akan diasingkan ke Boven
Digoel di Papua. Maka, dia minta kepada pemerintah Hindia Belanda bisa membawa
koleksi bukunya.

Akhirnya Bung Hatta diizinkan membawa
buku-buku itu. Tetapi, membawanya ke Papua, di tahun 1935, bukanlah soal mudah.
Sebab, buku yang dibawa bukan puluhan judul, tetapi 16 peti besi yang totalnya
empat meter kubik. Pengepakannya saja butuh tiga hari. Berhari-hari pula untuk
sampai ke Papua dari Batavia via kapal.

Pada 28 Januari 1935, Bung Hatta sampai di
Tanah Merah (sekarang ibu kota Boven Digoel). Repot juga membawa 16 peti buku
itu dari pelabuhan ke tempat pengasingan. Untung ada orang Kaya-Kaya. Mereka
menggotong peti itu. Mereka diberi ongkos satu uang kelip untuk tiap-tiap
petinya. Waktu itu nilai uang kelip 5 sen. Bentuknya bundar dan berlubang di
tengahnya. Berkat bantuan orang Kaya-Kaya itu, Bung Hatta bebas mengisi
hari-hari pengasingannya di Boven Digoel dengan membaca buku.

Tapi, itu dulu. Sekarang? ’’Aku rela dirawat
di rumah sakit, asal internetnya lancar,’’ kata teman saya ketika dia harus
dirawat di rumah sakit sebelum pandemi. Ya, internet…, bukan buku.

Buku dan internet ini menjadi perenungan saat
memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas) saban tanggal 17 Mei. Tujuan
peringatan Harbuknas antara lain untuk memacu minat baca masyarakat Indonesia
sekaligus menaikkan penjualan buku. Namun, tujuan memacu minat baca buku
memperoleh tantangan dari kemudahan internet. Pasalnya, aktivitas berinternet
menenggelamkan minat baca buku tersebut. Banyak yang berpikiran demikian:
daripada baca buku, mending berinternet.

Bayangkan, awal tahun 2021 ini, pengguna
internet di negeri kita sudah mencapai 202,6 juta jiwa. Bandingkan dengan
jumlah penduduk 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia
pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Angka itu dimuat dalam laporan yang
dirilis HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan
bertajuk ”Digital 2021”.

Baca Juga :  Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

Masih di laporan yang sama, pengguna internet
di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk
berselancar di internet. Aktivitas yang paling digemari adalah bermedia sosial.
Saat ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media
sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform
jejaring sosial.

Sungguh, internet merupakan tantangan berat
ketika minat baca kita sangat rendah. UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat
Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu
orang yang rajin membaca! Fakta inilah yang menempatkan Indonesia menduduki peringkat
ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59)
dan di atas Bostwana (61).

Minat baca adalah ketertarikan yang mendorong
individu untuk melakukan kegiatan, memperhatikan, merasa menikmati, dan senang
terhadap aktivitas membaca sehingga individu tersebut melakukan aktivitas membaca
dengan kemauan sendiri.

Fakta lain adalah pandemi membuat penjualan
buku tersendat. Mengutip ikapi.org, sebanyak 58,2 persen penerbit mengalami
penurunan penjualan melebihi 50 persen dari biasanya. Kemudian 29,6 persen
penerbit mengalami penurunan penjualan 31–50 persen; sebanyak 8,2 persen
penerbit turun 10 persen sampai 30 persen; dan hanya 4,1 persen penerbit dengan
kondisi penjualan relatif sama dengan hari-hari biasa.

Inilah wajah perbukuan kita. Sudah dihantam
internet, didera pandemi pula. Urusan pandemi memang musti bersabar saja.
Tetapi, urusan dengan internet masih bisa kompromi. Mau tak mau di era internet
ini pelaku perbukuan masuk ke e-book. Atau bisa juga kampanye minat baca lewat internet.

Baca Juga :  Banjir-Longsor dan Narasi Fikih Lingkungan

Saya berandai-andai, mereka yang punya jutaan
follower dijadikan duta baca, setidaknya bisa menggiring milenial untuk
ikut-ikutan baca buku. Watak anak muda kerap mengikuti idolanya. Sang idola
baca buku [posting di IG-nya], fans akan ikut baca buku itu pula. Tapi, itu
andai. Terwujud atau tidak bergantung kebijakan regulator.

Saya juga berandai-andai, regulator membuat
kebijakan agar anak-anak sekolah digiring untuk tetap menggunakan buku sebagai
media pembelajaran, ketimbang disubsidi pulsa untuk membuka materi online.
Setidaknya, ke sekolah mereka masih membawa buku atau belajar di rumah pun
masih buka-buka buku. Bukan buka-buka HP.

Walau berandai-andai, tetap disayangkan
bilamana tidak berupaya bersama meningkatkan minat baca buku. Penggiat literasi
sudah mengerahkan berbagai jurus untuk meningkatkan minat baca. Sebab, Milan
Kundera, sastrawan Ceko, pernah bilang begini, ”Langkah pertama untuk
memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapus memorinya. Hancurkan
buku-bukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa
tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau.
Dunia sekelilingnya bahkan akan melupakannya lebih cepat.”

Bisa dibayangkan apa yang dikatakan Kundera
itu. Kian sedikit yang baca buku, pelan-pelan peradaban bangsa akan musnah.
Apalagi ditimpali oleh Joseph Brodsky, penyair Uni Soviet-Amerika Serikat,
pemenang Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1987, ”Membakar buku adalah kejahatan.
Tapi, ada hal yang lebih jahat dari itu, yakni tidak membaca buku.” (*)

 

Toto Tis Suparto, Editor dan Penerbit Buku
ala Self Publisher

”AKU rela dipenjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas,’’ kata Bung Hatta ketika akan diasingkan ke Boven
Digoel di Papua. Maka, dia minta kepada pemerintah Hindia Belanda bisa membawa
koleksi bukunya.

Akhirnya Bung Hatta diizinkan membawa
buku-buku itu. Tetapi, membawanya ke Papua, di tahun 1935, bukanlah soal mudah.
Sebab, buku yang dibawa bukan puluhan judul, tetapi 16 peti besi yang totalnya
empat meter kubik. Pengepakannya saja butuh tiga hari. Berhari-hari pula untuk
sampai ke Papua dari Batavia via kapal.

Pada 28 Januari 1935, Bung Hatta sampai di
Tanah Merah (sekarang ibu kota Boven Digoel). Repot juga membawa 16 peti buku
itu dari pelabuhan ke tempat pengasingan. Untung ada orang Kaya-Kaya. Mereka
menggotong peti itu. Mereka diberi ongkos satu uang kelip untuk tiap-tiap
petinya. Waktu itu nilai uang kelip 5 sen. Bentuknya bundar dan berlubang di
tengahnya. Berkat bantuan orang Kaya-Kaya itu, Bung Hatta bebas mengisi
hari-hari pengasingannya di Boven Digoel dengan membaca buku.

Tapi, itu dulu. Sekarang? ’’Aku rela dirawat
di rumah sakit, asal internetnya lancar,’’ kata teman saya ketika dia harus
dirawat di rumah sakit sebelum pandemi. Ya, internet…, bukan buku.

Buku dan internet ini menjadi perenungan saat
memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas) saban tanggal 17 Mei. Tujuan
peringatan Harbuknas antara lain untuk memacu minat baca masyarakat Indonesia
sekaligus menaikkan penjualan buku. Namun, tujuan memacu minat baca buku
memperoleh tantangan dari kemudahan internet. Pasalnya, aktivitas berinternet
menenggelamkan minat baca buku tersebut. Banyak yang berpikiran demikian:
daripada baca buku, mending berinternet.

Bayangkan, awal tahun 2021 ini, pengguna
internet di negeri kita sudah mencapai 202,6 juta jiwa. Bandingkan dengan
jumlah penduduk 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia
pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Angka itu dimuat dalam laporan yang
dirilis HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan
bertajuk ”Digital 2021”.

Baca Juga :  Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

Masih di laporan yang sama, pengguna internet
di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk
berselancar di internet. Aktivitas yang paling digemari adalah bermedia sosial.
Saat ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media
sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform
jejaring sosial.

Sungguh, internet merupakan tantangan berat
ketika minat baca kita sangat rendah. UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat
Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu
orang yang rajin membaca! Fakta inilah yang menempatkan Indonesia menduduki peringkat
ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59)
dan di atas Bostwana (61).

Minat baca adalah ketertarikan yang mendorong
individu untuk melakukan kegiatan, memperhatikan, merasa menikmati, dan senang
terhadap aktivitas membaca sehingga individu tersebut melakukan aktivitas membaca
dengan kemauan sendiri.

Fakta lain adalah pandemi membuat penjualan
buku tersendat. Mengutip ikapi.org, sebanyak 58,2 persen penerbit mengalami
penurunan penjualan melebihi 50 persen dari biasanya. Kemudian 29,6 persen
penerbit mengalami penurunan penjualan 31–50 persen; sebanyak 8,2 persen
penerbit turun 10 persen sampai 30 persen; dan hanya 4,1 persen penerbit dengan
kondisi penjualan relatif sama dengan hari-hari biasa.

Inilah wajah perbukuan kita. Sudah dihantam
internet, didera pandemi pula. Urusan pandemi memang musti bersabar saja.
Tetapi, urusan dengan internet masih bisa kompromi. Mau tak mau di era internet
ini pelaku perbukuan masuk ke e-book. Atau bisa juga kampanye minat baca lewat internet.

Baca Juga :  Banjir-Longsor dan Narasi Fikih Lingkungan

Saya berandai-andai, mereka yang punya jutaan
follower dijadikan duta baca, setidaknya bisa menggiring milenial untuk
ikut-ikutan baca buku. Watak anak muda kerap mengikuti idolanya. Sang idola
baca buku [posting di IG-nya], fans akan ikut baca buku itu pula. Tapi, itu
andai. Terwujud atau tidak bergantung kebijakan regulator.

Saya juga berandai-andai, regulator membuat
kebijakan agar anak-anak sekolah digiring untuk tetap menggunakan buku sebagai
media pembelajaran, ketimbang disubsidi pulsa untuk membuka materi online.
Setidaknya, ke sekolah mereka masih membawa buku atau belajar di rumah pun
masih buka-buka buku. Bukan buka-buka HP.

Walau berandai-andai, tetap disayangkan
bilamana tidak berupaya bersama meningkatkan minat baca buku. Penggiat literasi
sudah mengerahkan berbagai jurus untuk meningkatkan minat baca. Sebab, Milan
Kundera, sastrawan Ceko, pernah bilang begini, ”Langkah pertama untuk
memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapus memorinya. Hancurkan
buku-bukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa
tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau.
Dunia sekelilingnya bahkan akan melupakannya lebih cepat.”

Bisa dibayangkan apa yang dikatakan Kundera
itu. Kian sedikit yang baca buku, pelan-pelan peradaban bangsa akan musnah.
Apalagi ditimpali oleh Joseph Brodsky, penyair Uni Soviet-Amerika Serikat,
pemenang Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1987, ”Membakar buku adalah kejahatan.
Tapi, ada hal yang lebih jahat dari itu, yakni tidak membaca buku.” (*)

 

Toto Tis Suparto, Editor dan Penerbit Buku
ala Self Publisher

Terpopuler

Artikel Terbaru