33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

TINDAK kekerasan dalam kerja aparat kepolisian sebetulnya bukan hal baru. Dengan kewenangan yang dimiliki, polisi memang memiliki otoritas untuk menggunakan kekerasan dalam skala yang terukur. Menghadapi ancaman tindak kejahatan yang meresahkan serta aksi yang mengganggu ketertiban umum, kemungkinan polisi melakukan tindak kekerasan menjadi lebih terbuka. Penggunaan tindak kekerasan dalam kasus-kasus tertentu dibenarkan dan dianggap sebagai bagian dari tugas polisi.

 

Penggunaan cara-cara keras dalam kerja kepolisian biasanya dipersoalkan ketika dinilai kelewatan. Tak kurang Presiden Joko Widodo sendiri yang melontarkan keprihatinannya pada sejumlah kasus penggunaan kekerasan yang dilakukan sebagian oknum polisi di berbagai daerah. Presiden Jokowi bahkan dilaporkan telah menegur Kapolri karena adanya berbagai kasus tindak kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oknum polisi.

Di Deli Serdang, Sumatera Utara, polisi dilaporkan telah memukul warga saat bertugas menjaga ketertiban lalu lintas. Di Tangerang, Brigadir NP juga telah didemosi dan ditahan selama 21 hari karena melakukan bantingan kepada salah seorang peserta aksi unjuk rasa. Sementara di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Kapolsek Iptu IDGN bahkan direkomendasikan diberhentikan dengan tidak hormat. Lantaran dia diduga melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak seorang tahanan dengan janji ayahnya dibebaskan kalau korban bersedia menuruti tindakan pelaku.

 

Faktor Penyebab

Kasus tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah oknum polisi menjadi sorotan banyak pihak karena viral di media sosial. Tidak hanya satu–dua kasus, dalam satu–dua tahun terakhir, data yang ada memperlihatkan tindak kekerasan yang dilakukan polisi cukup besar.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan, selama Juni 2020 sampai Mei 2021, telah terjadi 651 kasus kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian. Dari 651 kasus tindak kekerasan yang dilakukan oknum polisi, 135 kasus terjadi di tingkat polda, 399 kasus di tingkat polres, dan 117 kasus di tingkat polsek.

Selama ini, tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan polisi adalah penembakan pada penanganan aksi kriminal, yaitu 390 kasus. Menurut catatan KontraS, aksi penembakan oleh polisi ini setidaknya telah mengakibatkan 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka. Bentuk tindak kekerasan lain yang banyak dilakukan anggota kepolisian adalah penangkapan sewenang-wenang 75 kasus, penganiayaan 66 kasus, dan pembubaran paksa 58 kasus.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Sepanjang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi di lapangan, sebetulnya sah-sah saja polisi melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan tugas. Tetapi, kenapa polisi tergelincir melakukan tindak kekerasan meski situasi yang dihadapi biasa-biasa saja, dalam arti tidak tengah menghadapi ancaman tindak kejahatan yang tergolong sadis dan nekat? Ada sejumlah faktor yang acap kali menstimulasi polisi melakukan tindak kekerasan.

Pertama, ketika polisi tidak siap menghadapi godaan situasi kerumunan yang mengakibatkan sebagian personel lepas kendali. Dalam menghadapi unjuk rasa yang menggebu-gebu, tidak jarang polisi ikut terbakar dan merespons aksi anarkistis peserta unjuk rasa dengan melakukan tindak kekerasan. Dalam berbagai kasus unjuk rasa, kita sering melihat personel kepolisian menggebuki dan mengintimidasi sejumlah demonstran. Bahkan, sampai ada peserta demo yang tewas karena penggunaan kekerasan yang berlebihan.

Dalam aksi unjuk rasa yang digelar mahasiswa atau buruh, sudah sering terjadi jika gelombang aksi demo yang dilakukan begitu masif dan ekspresif. Bagi polisi yang tidak kuat secara psikologis untuk menahan diri menghadapi aksi pendemo, jangan kaget jika mereka kemudian terpancing melakukan aksi kekerasan seperti memukul atau membanting demonstran yang dinilai tidak mau menuruti aturan.

Kedua, ketika polisi cenderung menempatkan masyarakat dalam posisi yang subordinat, bahkan sebagai pihak terdakwa. Dalam beberapa kasus, sikap oknum polisi yang overacting dan tidak menghargai hak privat masyarakat bisa terjadi. Karena cara pandang polisi tertentu yang merasa memiliki wewenang yang sah atas tindakan yang mereka lakukan. Memeriksa paksa isi handphone seseorang tanpa didukung surat perintah resmi jelas melanggar hak asasi. Tetapi, jika ada masyarakat yang berani menolak, mereka biasanya akan ditekan dengan kalimat yang bernada ancaman.

Ketiga, ketika polisi secara sengaja menggunakan wewenang yang dimiliki sebagai instrumen untuk menekan dan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan orang lain. Kasus oknum Kapolsek yang meminta imbal jasa layanan seksual dari anak salah seorang tahanan dengan janji membantu membebaskan ayahnya adalah salah satu contoh. Tindakan oknum polisi yang memalukan ini bisa terjadi karena mereka memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadinya. Ketakutan dan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi polisi terkadang dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan seperti uang upeti dan pemerkosaan terselubung.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Polisi Humanis

Untuk mencegah agar aksi kekerasan yang dilakukan oknum polisi tidak meluas, Kapolri pada 18 Oktober 2021 dilaporkan telah mengeluarkan Telegram ST/2162/X/HUK.2.9/2021 tentang Mitigasi dan Pencegahan Kasus Kekerasan Berlebihan. Berbeda dengan kecenderungan di masa lalu di mana tindak kekerasan yang dilakukan oknum aparat cenderung ditutup-tutupi. Saat ini, tampaknya, telah terjadi reformasi dan keterbukaan dari kepolisian untuk menerima masukan atas kerja sebagian polisi yang salah.

Berkat telegram Kapolri ini, sejumlah oknum polisi yang viral karena kelakuan kasarnya kini telah diperiksa Propam. Bukan tidak mungkin jika sejumlah polisi yang diperiksa itu terbukti bersalah, mereka akan dijatuhi sanksi yang setimpal dengan tingkat kesalahannya, mulai demosi, mutasi, hingga pemecatan.

Membangun citra polisi yang humanis dan bersahabat dengan masyarakat harus diakui bukanlah hal mudah. Menghadapi ancaman tindak kejahatan dan gangguan ketertiban masyarakat yang meluas membuat polisi kerap menghadapi situasi yang dilematis. Di satu sisi, mereka sadar bahwa penggunaan tindak kekerasan yang berlebihan menyalahi aturan. Tetapi, di sisi lain polisi juga sadar bahwa mereka perlu bertindak keras dan tegas dalam situasi di mana ancaman kejahatan dan ketenteraman masyarakat sudah benar-benar meresahkan.

Menentukan kapan tindak kekerasan perlu dilakukan dan kapan tidak ini adalah tantangan bagi profesionalisme polisi. Lebih dari sekadar penerapan ancaman sanksi bagi polisi yang melanggar ketentuan yang berlaku, yang dibutuhkan polisi adalah tambahan ilmu tentang mengelola emosi massa dan diri sendiri. Ini adalah kombinasi pengetahuan tentang membiasakan menahan diri dan tidak tergoda umpan dari para pengunjuk rasa sekaligus mampu mengarahkan pergerakan masyarakat yang dihadapi.

Merampas tustel wartawan dan menghapus dokumentasi tindak kekerasan yang dilakukan polisi selama ini masih menjadi andalan polisi untuk menutupi kesalahan yang mereka lakukan. Meski demikian, di era masyarakat digital seperti sekarang ini, hal seperti itu cepat atau lambat akan terbongkar. Membangun citra sebagai polisi yang humanis kini tidak lagi dapat dihindari. (*)

 

*) BAGONG SUYANTO, Dekan FISIP dan dosen di Prodi S-2 Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana Unair

TINDAK kekerasan dalam kerja aparat kepolisian sebetulnya bukan hal baru. Dengan kewenangan yang dimiliki, polisi memang memiliki otoritas untuk menggunakan kekerasan dalam skala yang terukur. Menghadapi ancaman tindak kejahatan yang meresahkan serta aksi yang mengganggu ketertiban umum, kemungkinan polisi melakukan tindak kekerasan menjadi lebih terbuka. Penggunaan tindak kekerasan dalam kasus-kasus tertentu dibenarkan dan dianggap sebagai bagian dari tugas polisi.

 

Penggunaan cara-cara keras dalam kerja kepolisian biasanya dipersoalkan ketika dinilai kelewatan. Tak kurang Presiden Joko Widodo sendiri yang melontarkan keprihatinannya pada sejumlah kasus penggunaan kekerasan yang dilakukan sebagian oknum polisi di berbagai daerah. Presiden Jokowi bahkan dilaporkan telah menegur Kapolri karena adanya berbagai kasus tindak kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oknum polisi.

Di Deli Serdang, Sumatera Utara, polisi dilaporkan telah memukul warga saat bertugas menjaga ketertiban lalu lintas. Di Tangerang, Brigadir NP juga telah didemosi dan ditahan selama 21 hari karena melakukan bantingan kepada salah seorang peserta aksi unjuk rasa. Sementara di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Kapolsek Iptu IDGN bahkan direkomendasikan diberhentikan dengan tidak hormat. Lantaran dia diduga melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak seorang tahanan dengan janji ayahnya dibebaskan kalau korban bersedia menuruti tindakan pelaku.

 

Faktor Penyebab

Kasus tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah oknum polisi menjadi sorotan banyak pihak karena viral di media sosial. Tidak hanya satu–dua kasus, dalam satu–dua tahun terakhir, data yang ada memperlihatkan tindak kekerasan yang dilakukan polisi cukup besar.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan, selama Juni 2020 sampai Mei 2021, telah terjadi 651 kasus kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian. Dari 651 kasus tindak kekerasan yang dilakukan oknum polisi, 135 kasus terjadi di tingkat polda, 399 kasus di tingkat polres, dan 117 kasus di tingkat polsek.

Selama ini, tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan polisi adalah penembakan pada penanganan aksi kriminal, yaitu 390 kasus. Menurut catatan KontraS, aksi penembakan oleh polisi ini setidaknya telah mengakibatkan 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka. Bentuk tindak kekerasan lain yang banyak dilakukan anggota kepolisian adalah penangkapan sewenang-wenang 75 kasus, penganiayaan 66 kasus, dan pembubaran paksa 58 kasus.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Sepanjang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi di lapangan, sebetulnya sah-sah saja polisi melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan tugas. Tetapi, kenapa polisi tergelincir melakukan tindak kekerasan meski situasi yang dihadapi biasa-biasa saja, dalam arti tidak tengah menghadapi ancaman tindak kejahatan yang tergolong sadis dan nekat? Ada sejumlah faktor yang acap kali menstimulasi polisi melakukan tindak kekerasan.

Pertama, ketika polisi tidak siap menghadapi godaan situasi kerumunan yang mengakibatkan sebagian personel lepas kendali. Dalam menghadapi unjuk rasa yang menggebu-gebu, tidak jarang polisi ikut terbakar dan merespons aksi anarkistis peserta unjuk rasa dengan melakukan tindak kekerasan. Dalam berbagai kasus unjuk rasa, kita sering melihat personel kepolisian menggebuki dan mengintimidasi sejumlah demonstran. Bahkan, sampai ada peserta demo yang tewas karena penggunaan kekerasan yang berlebihan.

Dalam aksi unjuk rasa yang digelar mahasiswa atau buruh, sudah sering terjadi jika gelombang aksi demo yang dilakukan begitu masif dan ekspresif. Bagi polisi yang tidak kuat secara psikologis untuk menahan diri menghadapi aksi pendemo, jangan kaget jika mereka kemudian terpancing melakukan aksi kekerasan seperti memukul atau membanting demonstran yang dinilai tidak mau menuruti aturan.

Kedua, ketika polisi cenderung menempatkan masyarakat dalam posisi yang subordinat, bahkan sebagai pihak terdakwa. Dalam beberapa kasus, sikap oknum polisi yang overacting dan tidak menghargai hak privat masyarakat bisa terjadi. Karena cara pandang polisi tertentu yang merasa memiliki wewenang yang sah atas tindakan yang mereka lakukan. Memeriksa paksa isi handphone seseorang tanpa didukung surat perintah resmi jelas melanggar hak asasi. Tetapi, jika ada masyarakat yang berani menolak, mereka biasanya akan ditekan dengan kalimat yang bernada ancaman.

Ketiga, ketika polisi secara sengaja menggunakan wewenang yang dimiliki sebagai instrumen untuk menekan dan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan orang lain. Kasus oknum Kapolsek yang meminta imbal jasa layanan seksual dari anak salah seorang tahanan dengan janji membantu membebaskan ayahnya adalah salah satu contoh. Tindakan oknum polisi yang memalukan ini bisa terjadi karena mereka memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadinya. Ketakutan dan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi polisi terkadang dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan seperti uang upeti dan pemerkosaan terselubung.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Polisi Humanis

Untuk mencegah agar aksi kekerasan yang dilakukan oknum polisi tidak meluas, Kapolri pada 18 Oktober 2021 dilaporkan telah mengeluarkan Telegram ST/2162/X/HUK.2.9/2021 tentang Mitigasi dan Pencegahan Kasus Kekerasan Berlebihan. Berbeda dengan kecenderungan di masa lalu di mana tindak kekerasan yang dilakukan oknum aparat cenderung ditutup-tutupi. Saat ini, tampaknya, telah terjadi reformasi dan keterbukaan dari kepolisian untuk menerima masukan atas kerja sebagian polisi yang salah.

Berkat telegram Kapolri ini, sejumlah oknum polisi yang viral karena kelakuan kasarnya kini telah diperiksa Propam. Bukan tidak mungkin jika sejumlah polisi yang diperiksa itu terbukti bersalah, mereka akan dijatuhi sanksi yang setimpal dengan tingkat kesalahannya, mulai demosi, mutasi, hingga pemecatan.

Membangun citra polisi yang humanis dan bersahabat dengan masyarakat harus diakui bukanlah hal mudah. Menghadapi ancaman tindak kejahatan dan gangguan ketertiban masyarakat yang meluas membuat polisi kerap menghadapi situasi yang dilematis. Di satu sisi, mereka sadar bahwa penggunaan tindak kekerasan yang berlebihan menyalahi aturan. Tetapi, di sisi lain polisi juga sadar bahwa mereka perlu bertindak keras dan tegas dalam situasi di mana ancaman kejahatan dan ketenteraman masyarakat sudah benar-benar meresahkan.

Menentukan kapan tindak kekerasan perlu dilakukan dan kapan tidak ini adalah tantangan bagi profesionalisme polisi. Lebih dari sekadar penerapan ancaman sanksi bagi polisi yang melanggar ketentuan yang berlaku, yang dibutuhkan polisi adalah tambahan ilmu tentang mengelola emosi massa dan diri sendiri. Ini adalah kombinasi pengetahuan tentang membiasakan menahan diri dan tidak tergoda umpan dari para pengunjuk rasa sekaligus mampu mengarahkan pergerakan masyarakat yang dihadapi.

Merampas tustel wartawan dan menghapus dokumentasi tindak kekerasan yang dilakukan polisi selama ini masih menjadi andalan polisi untuk menutupi kesalahan yang mereka lakukan. Meski demikian, di era masyarakat digital seperti sekarang ini, hal seperti itu cepat atau lambat akan terbongkar. Membangun citra sebagai polisi yang humanis kini tidak lagi dapat dihindari. (*)

 

*) BAGONG SUYANTO, Dekan FISIP dan dosen di Prodi S-2 Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana Unair

Terpopuler

Artikel Terbaru