29.3 C
Jakarta
Wednesday, December 11, 2024

Resmi, BPOM Hentikan Uji Klinis Vaksin Nusantara

VAKSIN Nusantara gagasan
mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menimbulkan polemik karena belum
memenuhi kaidah ilmiah. Vaksin Covid-19 tersebut belum mengantongi izin dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun tetap dilanjutkan, hingga uji
klinis fase II. Hal itu membuat BPOM, TNI, dan Kementerian Kesehatan sepakat
menghentikan uji klinis Vaksin Nusantara.

Polemik ini makin bergulir, pasalnya peneliti
Vaksin Nusantara memaksakan diri melanjutkan uji klinis fase II kepada anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di RSPAD Gatot Subroto beberapa waktu lalu. Hal
ini dianggap ilegal karena uji klinis tetap diteruskan meski tak mengantongi
izin.  “Betul (uji klinis Vaksin
Nusantara) sudah dihentikan,” tegas sumber BPOM kepada JawaPos.com, Senin
(19/4).

Sementara itu ketika JawaPos.com
mengonfirmasi hal itu kepada Kemenkes, Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes Siti
Nadia Tarmizi belum membenarkan hal itu. “Saya cek dulu ya (Vaksin Nusantara
dihentikan, REd),” kata Nadia kepada JawaPos.com.

Sebelumnya, menurut laporan BPOM, Vaksin
Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran sel dendritik yang
diperoleh dari darah masing-masing orang. Lalu dicampur dengan Antigen SARS
COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA. Lalu GMCSF (Sarmogastrim)
suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi-USA

Baca Juga :  Teroris FA Ngaku Pengurus Muhammadiyah, Kadiv Humas: Itu Tidak Benar!

Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh
AIVITA Biomedical Inc. USA yang membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi
yang memenuhi standar agar diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik
(tidak terkontaminasi, jumlah sel dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik
yang baik). Pada pelaksanaan uji klinik pengolahan sel tersebut dilakukan oleh
tim dari AIVITA Biomedical Inc. AS. Transfer teknologi kepada peneliti di RSUP
Dr. Kariadi baru dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa staf
untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA Biomedical Inc. AS.

Hasilnya, menurut laporan BPOM data studi
klinis fase 1, sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang
Tidak Diinginkan meskipun dalam grade 1 dan 2. Seluruh subjek mengalami
Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant
500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar
adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.

Baca Juga :  Presiden Jokowi: Stop Impor Bahan Petrokimia pada 2024

“Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) yang
terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan,
kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal,” kata
pernyataan resmi Kepala BPOM Penny K Lukito kepada JawaPos.com, Rabu (14/4).

Lalu terdapat Kejadian yang Tidak Diinginkan
grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu 1subjek mengalami hipernatremi, 2
subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami
peningkatan kolesterol. Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah
satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada
protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim

Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM
tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan
oleh tim peneliti terkait kejadian tersebut.

Terdapat 3 dari 28
subjek (10,71 persen) yang mengalami peningkatan titer antibodi >4x setelah
4 minggu penyuntikan. Namun, 8 dari 28 subjek (28,57 persen) mengalami
penurunan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan dibandingkan sebelum
penyuntikan. 

VAKSIN Nusantara gagasan
mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menimbulkan polemik karena belum
memenuhi kaidah ilmiah. Vaksin Covid-19 tersebut belum mengantongi izin dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun tetap dilanjutkan, hingga uji
klinis fase II. Hal itu membuat BPOM, TNI, dan Kementerian Kesehatan sepakat
menghentikan uji klinis Vaksin Nusantara.

Polemik ini makin bergulir, pasalnya peneliti
Vaksin Nusantara memaksakan diri melanjutkan uji klinis fase II kepada anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di RSPAD Gatot Subroto beberapa waktu lalu. Hal
ini dianggap ilegal karena uji klinis tetap diteruskan meski tak mengantongi
izin.  “Betul (uji klinis Vaksin
Nusantara) sudah dihentikan,” tegas sumber BPOM kepada JawaPos.com, Senin
(19/4).

Sementara itu ketika JawaPos.com
mengonfirmasi hal itu kepada Kemenkes, Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes Siti
Nadia Tarmizi belum membenarkan hal itu. “Saya cek dulu ya (Vaksin Nusantara
dihentikan, REd),” kata Nadia kepada JawaPos.com.

Sebelumnya, menurut laporan BPOM, Vaksin
Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran sel dendritik yang
diperoleh dari darah masing-masing orang. Lalu dicampur dengan Antigen SARS
COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA. Lalu GMCSF (Sarmogastrim)
suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi-USA

Baca Juga :  Teroris FA Ngaku Pengurus Muhammadiyah, Kadiv Humas: Itu Tidak Benar!

Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh
AIVITA Biomedical Inc. USA yang membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi
yang memenuhi standar agar diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik
(tidak terkontaminasi, jumlah sel dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik
yang baik). Pada pelaksanaan uji klinik pengolahan sel tersebut dilakukan oleh
tim dari AIVITA Biomedical Inc. AS. Transfer teknologi kepada peneliti di RSUP
Dr. Kariadi baru dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa staf
untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA Biomedical Inc. AS.

Hasilnya, menurut laporan BPOM data studi
klinis fase 1, sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang
Tidak Diinginkan meskipun dalam grade 1 dan 2. Seluruh subjek mengalami
Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant
500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar
adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.

Baca Juga :  Presiden Jokowi: Stop Impor Bahan Petrokimia pada 2024

“Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) yang
terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan,
kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal,” kata
pernyataan resmi Kepala BPOM Penny K Lukito kepada JawaPos.com, Rabu (14/4).

Lalu terdapat Kejadian yang Tidak Diinginkan
grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu 1subjek mengalami hipernatremi, 2
subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami
peningkatan kolesterol. Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah
satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada
protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim

Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM
tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan
oleh tim peneliti terkait kejadian tersebut.

Terdapat 3 dari 28
subjek (10,71 persen) yang mengalami peningkatan titer antibodi >4x setelah
4 minggu penyuntikan. Namun, 8 dari 28 subjek (28,57 persen) mengalami
penurunan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan dibandingkan sebelum
penyuntikan. 

Terpopuler

Artikel Terbaru