30.6 C
Jakarta
Thursday, March 28, 2024

Beginilah TVRI

Pecandu Liga Inggris
kelimpungan sejak tahun lalu. Sejak hak siar di Indonesia pindah ke MolaTV.

MolaTV?

Semula itu dikira stasiun TV
dari negara Bugaboo. Di Indonesia tidak pernah dikenal nama stasiun TV seperti
itu.

Atau jangan-jangan itu TV dari
Timur Tengah –seperti kemunculan tiba-tiba beIN Sports dulu itu.

Lalu siapa itu MolaTV?

Ternyata itu asli Indonesia.
Dari grup Djarum –perusahaan rokok yang sudah lama menggeser Gudang Garam
sebagai Raja Kretek Indonesia.

Sebelum itu orang Jakarta sudah
telanjur berlangganan Nextmedia –untuk mendapat siaran Liga Inggris. Mereka
pun buru-buru mengganti decoder –biar pun langganan Nextmedia-nya belum habis.
Dan tidak bisa di-refund.

Mereka pun harus membeli alat
baru: MolaTV –bagi yang punya uang.

Orang Surabaya lebih tersiksa
lagi. Tidak bisa beli alat itu di Surabaya. Terpaksa mereka beli di Jakarta
–dengan berbagai cara. Entah sekarang.

Apalagi yang di luar kota
besar. Benar-benar harus puasa Liga Inggris. Atau curi-curi live
streaming
 yang mereka juga curi-curi dari yang mencuri-curi.

“Terima kasih TVRI,”
begitu komentar sebagian pemirsa TV.

Mereka kaget: kok hebat banget
TVRI. Sudah lama TVRI tidak pernah bikin kaget. Barulah di zaman direktur utama
Helmy Yahya ini banyak kemajuan.

“Tumben TVRI mampu
menyiarkan Liga Inggris,” ujar yang lain. Dengan nada setengah tidak
percaya.

Maka orang seperti saya lantas
mereka-reka –mengapa Mola memilih TVRI sebagai mitra kerjasama.

Karena belas kasihan?

Karena hubungan baik dengan
dirutnya –yang memang sosok beken?

Karena mengakui jaringan TVRI-lah
yang paling luas?

Sama sekali tidak ada pikiran
bahwa TVRI-lah yang mampu membayar termahal –dibanding TV-TV swasta yang ada.

Mustahil TVRI punya kemampuan
itu.

Namun tidak pernah ada
publikasi bagaimana bentuk kerjasama itu. Tidak ada juga wartawan yang
tergelitik untuk mempertanyakan bentuk kerjasama itu.

Tahunya pokoknya kali ini TVRI
tak terpermanai.

TVRI-pun penuh puja-puji –biar
pun hanya sedikit pertandingan Liga Inggris yang boleh muncul di TVRI.

Baca Juga :  Bantu Warganya, Bupati Kapuas Gratiskan Tarif PDAM

Sampailah muncul berita
mengagetkan itu: Dirut TVRI Helmy Yahya diberhentikan sementara.

Tidak terungkap mengapa
diberhentikan. Helmy Yahya pun menolak pemberhentian itu. Seraya membeberkan
kesuksesan kinerjanya.

Kehebatan TVRI itu ternyata
membuat Dewan Pengawas TVRI terkedip-kedip. Dewan Pengawas adalah semacam dewan
komisaris di perusahaan.

TVRI memang bukan perusahaan
–termasuk bukan perusahaan BUMN. Bukan pula Perum. Statusnya adalah ‘lembaga
penyiaran publik’.

Keberadaan TVRI –seperti
juga  Radio Republik Indonesia, RRI– mirip seperti BBC Inggris atau
NHK-nya Jepang.

Anggaran belanjanya dari negara
–dikoordinasikan oleh Sekretariat Negara. Karena itu kita semua tahu: anggaran
itu pasti tidak cukup untuk membuat TVRI semaju stasiun TV swasta.

Karena itu TVRI juga boleh
menerima iklan. Maksimum 15 persen dari jam tayangnya.

Mahal-murahnya iklan itu
ditentukan oleh direksi. Hasilnya boleh untuk biaya operasional.

Mungkin saja kerjasama dengan
Mola itu termasuk kerjasama iklan –setiap iklan yang masuk TVRI di Liga
Inggris harus dibagi dengan Mola.
Atau bukan seperti itu.

Bisa saja TVRI mengambil semua
iklan itu. Tapi harus membayar siaran itu ke Mola –dengan diskon khusus. Toh
tidak semua pertandingan boleh disiarkan TVRI.

Atau tidak begitu. Kita tidak
tahu. Tidak ada penjelasan tentang itu.

Rupanya setelah melihat semua
itu, dari terkedip-kedip Dewas menjadi terbelalak. Lalu melotot.

Lalu keluarlah putusan itu:
memberhentikan sementara Helmy Yahya.

Dewas rupanya punya alasan
tersendiri. Pembelaan Helmy Yahya tidak bisa diterima. Dalam pembelaannya Hilmy
tidak membeberkan semua itu.

Bahkan, dua hari lalu Dewas
memanggil sang Dirut –untuk diberi surat pemberhentian tetap.

Sampai di sini tetap tidak
terungkap apa alasan pemberhentian itu. Begitu teguh Dewas itu –termasuk dalam
merahasiakan alasan di balik itu.

Benarkah ada kaitan dengan
siaran sepak bola Liga Inggris itu. Atau juga soal pekerjaan-pekerjaan untuk
memproduksi acara –yang sebagian diberikan kepada production house di
luar TVRI?

Saya bisa menduga penyebab
utamanya adalah keterbatasan dana itu –lalu harus dicari sumber dana lain.
Lalu timbul silang pendapat.

Baca Juga :  Industri Perhotelan Harus Terapkan Protokol Kesehatan Covid-19

Secara hukum, semua hasil iklan
TVRI harus disetorkan ke negara –karena TVRI dapat anggaran dari negara.

Kecuali ada ketentuan lain.

Problem seperti ini juga muncul
di rumah-rumah sakit milik pemerintah. Dulu. Di satu pihak RS harus memberikan
pelayanan terbaik –agar tidak dilindas RS swasta. Di pihak lain uang yang
masuk harus disetor ke negara.

Tapi belakangan sudah ada jalan
keluar. RS pemerintah boleh berkreativitas mencari sumber dana lain.
Perpres-nya pun sudah keluar dua tahun lalu. Yakni Perpres tentang pengadaan.
Yang membolehkan manajemen RS pemerintah mengatur sendiri pengadaan itu.

Hanya saja mereka tetap
ketakutan. Tidak ada yang berani memanfaatkan Perpres itu.

Bulan lalu Kementerian Keuangan
meminta saya berbicara di depan seluruh Dirut RS pemerintah. Untuk mendorong
kreativitas mereka. 

Sekitar 300 orang hadir. Hampir
semuanya dokter.

“Siapa yang sudah berani
melakukan pengadaan sendiri?” tanya saya.

Tidak ada yang angkat tangan.

Tidak ada yang bicara.

Diam.

Sunyi.

Berulang kali saya tanyakan
itu. Sambil saya jalan-jalan ke tengah-tengah mereka.

Tetap saja tidak ada yang
terkedip.

“Kan sudah ada
Perpres-nya? Sudah ada landasan hukum yang kuat?” tanya saya lagi.

“Tetap tidak berani,
pak,” begitu kira-kira kata hati mereka.

Bergerak di sektor seperti RS,
TVRI, pun BUMN memang tidak mudah.

Mereka lebih memilih cari aman.

RS Jiwa di Magelang, misalnya,
memilih menanam sayur –memanfaatkan lahan yang lebih 150 hektar dan karyawan
yang sudah terlanjur banyak.

Hanya Dirut RS Dr Cipto
Mangunkusumo yang cantik itu, yang paling berani. Ia akhirnya menceritakan:
berani mencari dana dari membuka bidang usaha stemcell.

Manajemen lembaga seperti RS,
TVRI dan RRI memang benar-benar sulit –begitu banyak rambu yang mengekang
kreativitas.

Salah sedikit bisa terpeleset.
Niat baik saja tidak cukup. Harus punya pula nasib baik.(Dahlan Iskan)

 

Pecandu Liga Inggris
kelimpungan sejak tahun lalu. Sejak hak siar di Indonesia pindah ke MolaTV.

MolaTV?

Semula itu dikira stasiun TV
dari negara Bugaboo. Di Indonesia tidak pernah dikenal nama stasiun TV seperti
itu.

Atau jangan-jangan itu TV dari
Timur Tengah –seperti kemunculan tiba-tiba beIN Sports dulu itu.

Lalu siapa itu MolaTV?

Ternyata itu asli Indonesia.
Dari grup Djarum –perusahaan rokok yang sudah lama menggeser Gudang Garam
sebagai Raja Kretek Indonesia.

Sebelum itu orang Jakarta sudah
telanjur berlangganan Nextmedia –untuk mendapat siaran Liga Inggris. Mereka
pun buru-buru mengganti decoder –biar pun langganan Nextmedia-nya belum habis.
Dan tidak bisa di-refund.

Mereka pun harus membeli alat
baru: MolaTV –bagi yang punya uang.

Orang Surabaya lebih tersiksa
lagi. Tidak bisa beli alat itu di Surabaya. Terpaksa mereka beli di Jakarta
–dengan berbagai cara. Entah sekarang.

Apalagi yang di luar kota
besar. Benar-benar harus puasa Liga Inggris. Atau curi-curi live
streaming
 yang mereka juga curi-curi dari yang mencuri-curi.

“Terima kasih TVRI,”
begitu komentar sebagian pemirsa TV.

Mereka kaget: kok hebat banget
TVRI. Sudah lama TVRI tidak pernah bikin kaget. Barulah di zaman direktur utama
Helmy Yahya ini banyak kemajuan.

“Tumben TVRI mampu
menyiarkan Liga Inggris,” ujar yang lain. Dengan nada setengah tidak
percaya.

Maka orang seperti saya lantas
mereka-reka –mengapa Mola memilih TVRI sebagai mitra kerjasama.

Karena belas kasihan?

Karena hubungan baik dengan
dirutnya –yang memang sosok beken?

Karena mengakui jaringan TVRI-lah
yang paling luas?

Sama sekali tidak ada pikiran
bahwa TVRI-lah yang mampu membayar termahal –dibanding TV-TV swasta yang ada.

Mustahil TVRI punya kemampuan
itu.

Namun tidak pernah ada
publikasi bagaimana bentuk kerjasama itu. Tidak ada juga wartawan yang
tergelitik untuk mempertanyakan bentuk kerjasama itu.

Tahunya pokoknya kali ini TVRI
tak terpermanai.

TVRI-pun penuh puja-puji –biar
pun hanya sedikit pertandingan Liga Inggris yang boleh muncul di TVRI.

Baca Juga :  Bantu Warganya, Bupati Kapuas Gratiskan Tarif PDAM

Sampailah muncul berita
mengagetkan itu: Dirut TVRI Helmy Yahya diberhentikan sementara.

Tidak terungkap mengapa
diberhentikan. Helmy Yahya pun menolak pemberhentian itu. Seraya membeberkan
kesuksesan kinerjanya.

Kehebatan TVRI itu ternyata
membuat Dewan Pengawas TVRI terkedip-kedip. Dewan Pengawas adalah semacam dewan
komisaris di perusahaan.

TVRI memang bukan perusahaan
–termasuk bukan perusahaan BUMN. Bukan pula Perum. Statusnya adalah ‘lembaga
penyiaran publik’.

Keberadaan TVRI –seperti
juga  Radio Republik Indonesia, RRI– mirip seperti BBC Inggris atau
NHK-nya Jepang.

Anggaran belanjanya dari negara
–dikoordinasikan oleh Sekretariat Negara. Karena itu kita semua tahu: anggaran
itu pasti tidak cukup untuk membuat TVRI semaju stasiun TV swasta.

Karena itu TVRI juga boleh
menerima iklan. Maksimum 15 persen dari jam tayangnya.

Mahal-murahnya iklan itu
ditentukan oleh direksi. Hasilnya boleh untuk biaya operasional.

Mungkin saja kerjasama dengan
Mola itu termasuk kerjasama iklan –setiap iklan yang masuk TVRI di Liga
Inggris harus dibagi dengan Mola.
Atau bukan seperti itu.

Bisa saja TVRI mengambil semua
iklan itu. Tapi harus membayar siaran itu ke Mola –dengan diskon khusus. Toh
tidak semua pertandingan boleh disiarkan TVRI.

Atau tidak begitu. Kita tidak
tahu. Tidak ada penjelasan tentang itu.

Rupanya setelah melihat semua
itu, dari terkedip-kedip Dewas menjadi terbelalak. Lalu melotot.

Lalu keluarlah putusan itu:
memberhentikan sementara Helmy Yahya.

Dewas rupanya punya alasan
tersendiri. Pembelaan Helmy Yahya tidak bisa diterima. Dalam pembelaannya Hilmy
tidak membeberkan semua itu.

Bahkan, dua hari lalu Dewas
memanggil sang Dirut –untuk diberi surat pemberhentian tetap.

Sampai di sini tetap tidak
terungkap apa alasan pemberhentian itu. Begitu teguh Dewas itu –termasuk dalam
merahasiakan alasan di balik itu.

Benarkah ada kaitan dengan
siaran sepak bola Liga Inggris itu. Atau juga soal pekerjaan-pekerjaan untuk
memproduksi acara –yang sebagian diberikan kepada production house di
luar TVRI?

Saya bisa menduga penyebab
utamanya adalah keterbatasan dana itu –lalu harus dicari sumber dana lain.
Lalu timbul silang pendapat.

Baca Juga :  Industri Perhotelan Harus Terapkan Protokol Kesehatan Covid-19

Secara hukum, semua hasil iklan
TVRI harus disetorkan ke negara –karena TVRI dapat anggaran dari negara.

Kecuali ada ketentuan lain.

Problem seperti ini juga muncul
di rumah-rumah sakit milik pemerintah. Dulu. Di satu pihak RS harus memberikan
pelayanan terbaik –agar tidak dilindas RS swasta. Di pihak lain uang yang
masuk harus disetor ke negara.

Tapi belakangan sudah ada jalan
keluar. RS pemerintah boleh berkreativitas mencari sumber dana lain.
Perpres-nya pun sudah keluar dua tahun lalu. Yakni Perpres tentang pengadaan.
Yang membolehkan manajemen RS pemerintah mengatur sendiri pengadaan itu.

Hanya saja mereka tetap
ketakutan. Tidak ada yang berani memanfaatkan Perpres itu.

Bulan lalu Kementerian Keuangan
meminta saya berbicara di depan seluruh Dirut RS pemerintah. Untuk mendorong
kreativitas mereka. 

Sekitar 300 orang hadir. Hampir
semuanya dokter.

“Siapa yang sudah berani
melakukan pengadaan sendiri?” tanya saya.

Tidak ada yang angkat tangan.

Tidak ada yang bicara.

Diam.

Sunyi.

Berulang kali saya tanyakan
itu. Sambil saya jalan-jalan ke tengah-tengah mereka.

Tetap saja tidak ada yang
terkedip.

“Kan sudah ada
Perpres-nya? Sudah ada landasan hukum yang kuat?” tanya saya lagi.

“Tetap tidak berani,
pak,” begitu kira-kira kata hati mereka.

Bergerak di sektor seperti RS,
TVRI, pun BUMN memang tidak mudah.

Mereka lebih memilih cari aman.

RS Jiwa di Magelang, misalnya,
memilih menanam sayur –memanfaatkan lahan yang lebih 150 hektar dan karyawan
yang sudah terlanjur banyak.

Hanya Dirut RS Dr Cipto
Mangunkusumo yang cantik itu, yang paling berani. Ia akhirnya menceritakan:
berani mencari dana dari membuka bidang usaha stemcell.

Manajemen lembaga seperti RS,
TVRI dan RRI memang benar-benar sulit –begitu banyak rambu yang mengekang
kreativitas.

Salah sedikit bisa terpeleset.
Niat baik saja tidak cukup. Harus punya pula nasib baik.(Dahlan Iskan)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru