24.6 C
Jakarta
Tuesday, September 10, 2024

Rahasia Lobster

Para lobster di laut kini
berdebar. Mereka mengikuti dengan cemas apa yang lagi diperdebatkan di darat:
soal boleh atau tidaknya bayi-bayi mereka ditangkap.

Baby
lobster
 memang lagi jadi topik. Menteri Perikanan dan Kelautan
yang dulu, Susi Pujiastuti, melarang tangkap baby lobster. Alasannyi:
untuk melestarikan eksistensi lobster di Indonesia. Yang jumlahnya –menurut
data Bu Susi– merosot terus.

Sudah lama Indonesia hanya
menempati urutan keenam di dunia. Dalam memproduksi lobster. Kalah dengan
Kanada, Amerika Serikat, UK, Australia dan Chili.

Bahkan kemampuan ekspor kita
hanya no 17 di dunia. Padahal Indonesia punya laut yang begitu luas.

Alasan lain Bu Susi, lobster itu
belum bisa diternakkan. Di seluruh dunia. Beda dengan udang faname. Yang
benihnya sudah bisa dibuat.

Sudah ada perusahaan pembenihan
udang. Bahkan sudah banyak hatchery –yang
menternakkan udang sampai umur beberapa hari. Untuk kemudian dipindah ke
tambak.

Lobster masih serba alamiah.
Seperti juga sidat –belut laut.

Kalau baby lobster diizinkan
ditangkap lama-lama akan punah.

Kini Susi sudah tidak jadi
menteri lagi.

Kritik ke Bu Susi adalah: untuk
apa lobster dilindungi terus. Sedangkan kesejahteraan petani laut tidak
meningkat. Bukankah kekayaan alam harus diabadikan untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat.

Maka ada pemikiran baru: larangan
lama itu sudah waktunya dicabut.

Tingkatnya baru wacana. Hebohnya
sudah mengangkasa.

Para pejabat tinggi di
Kementerian Kelautan dan Perikanan pun seperti lobster –ikut terjepit.
Apalagi kalau ada tuduhan si A adalah orangnya Bu Susi. Si B adalah orangnya
siapa lagi.

Dan para lobster itu pun stres
–kalau mereka bisa mendengarkan adu argumentasi itu.

Saya pun mendapat kiriman video
dari Prof. Dr. Effendy Gazali. Ahli komunikasi politik itu. Yang rupanya baru
pulang dari Vietnam.

Prof Effendy merekam lewat
videonya tentang budidaya lobster di pantai timur Vietnam. Tepatnya di Cam
Ranh. Saya tahu lokasi itu. Pernah lewat sana saat saya ke Nha Trang tahun
lalu.

Tambak budidaya lobster di sana
digambarkan sangat berhasil. Lalu Prof Effendy punya rekomendasi: mengapa tidak
kita lakukan juga di Indonesia.

Baca Juga :  10 Tokoh Ikuti Vaksinasi Perdana di Kobar

Video itu –kalau benar–
membuktikan bahwa teori lama sudah tidak berlaku: lobster sudah bisa
dibudayakan. Bukan tidak bisa.

Ilmu itu yang harus kita tahu.

Mengapa Vietnam bisa.

Saya pun menghubungi Dr Suhana.
Ahli ekonomi kelautan lulusan IPB, Bogor. Yang orang Ciamis itu. Yang menjadi
doktor di umur 40 tahun itu.

Vietnam, katanya, berhasil karena
Indonesia. Benihnya dari Indonesia. Pakannya pun dari Indonesia.

Itulah benih selundupan: baby
lobster
. Yang diam-diam ditangkap. Tidak ketahuan. Lalu
diselundupkan ke Vietnam. Lewat Singapura.

Menangkap baby
lobster
 itu sangat gampang –untuk ukuran nelayan mahir.

Mata lobster itu begitu tajamnya.
Peka. Sensitif. Diberi sinar sedikit saja mereka sudah berkumpul di dekat sinar
itu.

Kenyataannya: meski dilarang,
terjadi juga penangkapan. Terjadi juga ekspor ilegal. Negara dirugikan.

Mengapa tidak dilegalkan saja.

Tapi, kalangan yang lain menilai,
habislah. Kalau penangkapan baby lobster dilegalkan.
Apalagi menangkapnya begitu mudah.

Akhirnya menarik juga perdebatan
itu. Sangat menantang bagi para ilmuwan –hallo fakultas perikanan!

Salah satu kesulitan membudidayakan
lobster adalah makanan. Dari mana bisa dapat makanan lobster.

Lobster itu istimewa: makannya
harus ikan. Dan harus ikan segar.

Bayangkan betapa tinggi protein
lobster itu.

Makanya, begitu mahal harganya.
Satu ekor ukuran besar bisa Rp 2 juta –di restoran besar.

Sama dengan harga 1 kg durian
Musangking asal Singapura –asli Malaysia. Yang kini dijual di sebuah toko di
Pantai Indah Kapuk Jakarta.

Saya membelinya sekedar untuk
tahu rasanya –sambil ngiler ingat program kebun durian lama.

Bagaimana bisa lobster Vietnam
dapat makanan itu dari Indonesia?

“Mereka mencuri ikan dengan kapal
twral. Sikat habis. Besar kecil. Mahal murah,” ujar Dr Suhana. “Ikan
yang murah-murah dimanfaatkan untuk makanan lobster,” tambahnya.

Dulu kita juga tidak bisa
budidaya ikan kerapu. Sekarang kita sudah bisa.

Saat saya ke Natuna, beberapa
orang di sana sudah budidaya kerapu.

Baca Juga :  Penyaluran Bantuan Sembako dan Masker di Mandau Talawang

Di sela-sela kerapu itu kadang
terikut juga lobster. Dalam jumlah kecil. Bisa hidup. Tapi saya kehilangan
nomor ponsel teman-teman di Natuna itu.

Pun kabarnya di Medan sudah ada
budidaya kerapu. Yang juga ada lobster yang ikut ngekos di situ.

Juga di tempat lain.

Budidaya kerapu kini sudah umum.
Sudah banyak yang bisa.

Siapa tahu keterampilan kita
berikutnya adalah budidaya lobster. Lewat kesungguhan kelas Vietnam.

Budidaya lobster memang beda jauh
dengan tambak udang. Udang bisa hidup di kolam-kolam darat tepi laut. Yang
makanannya bisa dibeli di pasar khusus.

Sedang “tambak lobster”
harus di laut –itu pun jangan laut yang sudah tercemar. Dengan makanannya yang
sangat khusus itu –ikan segar.

Maka “tambak lobster”
harus berbentuk keramba khusus.

Ini tantangan lain lagi bagi
lembaga ilmu pengetahuan –agar tidak hanya bisa menyalah-nyalahkan Vietnam.

Maka baiknya larangan Bu Susi itu
jangan dicabut dulu. Tapi berikan kuota penangkapan terbatas untuk baby
lobster
. Khusus hanya cukup untuk siapa pun yang mau berdarah-darah
memulai budidaya lobster.

Banyak yang akan mau memulainya.
Sukses Vietnam pasti menginspirasi banyak pebisnis ikan di Indonesia.

Saya tahu Menteri Perikanan dan
Kelautan sekarang ini, Eddy Prabowo, bukan orang yang suka perang –apalagi
perang mulut.

Saya tahu beliau: dulu anggota
komisi 6 DPR –yang menjadi mitra kementerian BUMN.

Beliau bukan tipe orang yang asal
bicara. Bukan pula tipe anggota DPR yang asal kritik dan menyerang.

Beliau saya nilai sangat
proporsional. Bicaranya tidak bertele-tele. Bisa memilah mana yang masuk akal
dan mana yang tidak. Jauh dari kesan nyinyir. Beliau sangat
mengesankan bagi saya –kesan baik.

Sungguh produktif perdebatan
mengenai baby
lobster
 belakangan ini. Sekarang kita jadi tahu: sudah sampai
di mana dan akan ke mana.

Kita rahasiakan perdebatan kita
ini –jangan sampai para lobster di laut tahu.(dahlan iskan)

Para lobster di laut kini
berdebar. Mereka mengikuti dengan cemas apa yang lagi diperdebatkan di darat:
soal boleh atau tidaknya bayi-bayi mereka ditangkap.

Baby
lobster
 memang lagi jadi topik. Menteri Perikanan dan Kelautan
yang dulu, Susi Pujiastuti, melarang tangkap baby lobster. Alasannyi:
untuk melestarikan eksistensi lobster di Indonesia. Yang jumlahnya –menurut
data Bu Susi– merosot terus.

Sudah lama Indonesia hanya
menempati urutan keenam di dunia. Dalam memproduksi lobster. Kalah dengan
Kanada, Amerika Serikat, UK, Australia dan Chili.

Bahkan kemampuan ekspor kita
hanya no 17 di dunia. Padahal Indonesia punya laut yang begitu luas.

Alasan lain Bu Susi, lobster itu
belum bisa diternakkan. Di seluruh dunia. Beda dengan udang faname. Yang
benihnya sudah bisa dibuat.

Sudah ada perusahaan pembenihan
udang. Bahkan sudah banyak hatchery –yang
menternakkan udang sampai umur beberapa hari. Untuk kemudian dipindah ke
tambak.

Lobster masih serba alamiah.
Seperti juga sidat –belut laut.

Kalau baby lobster diizinkan
ditangkap lama-lama akan punah.

Kini Susi sudah tidak jadi
menteri lagi.

Kritik ke Bu Susi adalah: untuk
apa lobster dilindungi terus. Sedangkan kesejahteraan petani laut tidak
meningkat. Bukankah kekayaan alam harus diabadikan untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat.

Maka ada pemikiran baru: larangan
lama itu sudah waktunya dicabut.

Tingkatnya baru wacana. Hebohnya
sudah mengangkasa.

Para pejabat tinggi di
Kementerian Kelautan dan Perikanan pun seperti lobster –ikut terjepit.
Apalagi kalau ada tuduhan si A adalah orangnya Bu Susi. Si B adalah orangnya
siapa lagi.

Dan para lobster itu pun stres
–kalau mereka bisa mendengarkan adu argumentasi itu.

Saya pun mendapat kiriman video
dari Prof. Dr. Effendy Gazali. Ahli komunikasi politik itu. Yang rupanya baru
pulang dari Vietnam.

Prof Effendy merekam lewat
videonya tentang budidaya lobster di pantai timur Vietnam. Tepatnya di Cam
Ranh. Saya tahu lokasi itu. Pernah lewat sana saat saya ke Nha Trang tahun
lalu.

Tambak budidaya lobster di sana
digambarkan sangat berhasil. Lalu Prof Effendy punya rekomendasi: mengapa tidak
kita lakukan juga di Indonesia.

Baca Juga :  10 Tokoh Ikuti Vaksinasi Perdana di Kobar

Video itu –kalau benar–
membuktikan bahwa teori lama sudah tidak berlaku: lobster sudah bisa
dibudayakan. Bukan tidak bisa.

Ilmu itu yang harus kita tahu.

Mengapa Vietnam bisa.

Saya pun menghubungi Dr Suhana.
Ahli ekonomi kelautan lulusan IPB, Bogor. Yang orang Ciamis itu. Yang menjadi
doktor di umur 40 tahun itu.

Vietnam, katanya, berhasil karena
Indonesia. Benihnya dari Indonesia. Pakannya pun dari Indonesia.

Itulah benih selundupan: baby
lobster
. Yang diam-diam ditangkap. Tidak ketahuan. Lalu
diselundupkan ke Vietnam. Lewat Singapura.

Menangkap baby
lobster
 itu sangat gampang –untuk ukuran nelayan mahir.

Mata lobster itu begitu tajamnya.
Peka. Sensitif. Diberi sinar sedikit saja mereka sudah berkumpul di dekat sinar
itu.

Kenyataannya: meski dilarang,
terjadi juga penangkapan. Terjadi juga ekspor ilegal. Negara dirugikan.

Mengapa tidak dilegalkan saja.

Tapi, kalangan yang lain menilai,
habislah. Kalau penangkapan baby lobster dilegalkan.
Apalagi menangkapnya begitu mudah.

Akhirnya menarik juga perdebatan
itu. Sangat menantang bagi para ilmuwan –hallo fakultas perikanan!

Salah satu kesulitan membudidayakan
lobster adalah makanan. Dari mana bisa dapat makanan lobster.

Lobster itu istimewa: makannya
harus ikan. Dan harus ikan segar.

Bayangkan betapa tinggi protein
lobster itu.

Makanya, begitu mahal harganya.
Satu ekor ukuran besar bisa Rp 2 juta –di restoran besar.

Sama dengan harga 1 kg durian
Musangking asal Singapura –asli Malaysia. Yang kini dijual di sebuah toko di
Pantai Indah Kapuk Jakarta.

Saya membelinya sekedar untuk
tahu rasanya –sambil ngiler ingat program kebun durian lama.

Bagaimana bisa lobster Vietnam
dapat makanan itu dari Indonesia?

“Mereka mencuri ikan dengan kapal
twral. Sikat habis. Besar kecil. Mahal murah,” ujar Dr Suhana. “Ikan
yang murah-murah dimanfaatkan untuk makanan lobster,” tambahnya.

Dulu kita juga tidak bisa
budidaya ikan kerapu. Sekarang kita sudah bisa.

Saat saya ke Natuna, beberapa
orang di sana sudah budidaya kerapu.

Baca Juga :  Penyaluran Bantuan Sembako dan Masker di Mandau Talawang

Di sela-sela kerapu itu kadang
terikut juga lobster. Dalam jumlah kecil. Bisa hidup. Tapi saya kehilangan
nomor ponsel teman-teman di Natuna itu.

Pun kabarnya di Medan sudah ada
budidaya kerapu. Yang juga ada lobster yang ikut ngekos di situ.

Juga di tempat lain.

Budidaya kerapu kini sudah umum.
Sudah banyak yang bisa.

Siapa tahu keterampilan kita
berikutnya adalah budidaya lobster. Lewat kesungguhan kelas Vietnam.

Budidaya lobster memang beda jauh
dengan tambak udang. Udang bisa hidup di kolam-kolam darat tepi laut. Yang
makanannya bisa dibeli di pasar khusus.

Sedang “tambak lobster”
harus di laut –itu pun jangan laut yang sudah tercemar. Dengan makanannya yang
sangat khusus itu –ikan segar.

Maka “tambak lobster”
harus berbentuk keramba khusus.

Ini tantangan lain lagi bagi
lembaga ilmu pengetahuan –agar tidak hanya bisa menyalah-nyalahkan Vietnam.

Maka baiknya larangan Bu Susi itu
jangan dicabut dulu. Tapi berikan kuota penangkapan terbatas untuk baby
lobster
. Khusus hanya cukup untuk siapa pun yang mau berdarah-darah
memulai budidaya lobster.

Banyak yang akan mau memulainya.
Sukses Vietnam pasti menginspirasi banyak pebisnis ikan di Indonesia.

Saya tahu Menteri Perikanan dan
Kelautan sekarang ini, Eddy Prabowo, bukan orang yang suka perang –apalagi
perang mulut.

Saya tahu beliau: dulu anggota
komisi 6 DPR –yang menjadi mitra kementerian BUMN.

Beliau bukan tipe orang yang asal
bicara. Bukan pula tipe anggota DPR yang asal kritik dan menyerang.

Beliau saya nilai sangat
proporsional. Bicaranya tidak bertele-tele. Bisa memilah mana yang masuk akal
dan mana yang tidak. Jauh dari kesan nyinyir. Beliau sangat
mengesankan bagi saya –kesan baik.

Sungguh produktif perdebatan
mengenai baby
lobster
 belakangan ini. Sekarang kita jadi tahu: sudah sampai
di mana dan akan ke mana.

Kita rahasiakan perdebatan kita
ini –jangan sampai para lobster di laut tahu.(dahlan iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru