28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Menatap Misteri Politik

ABU-ABU! Ruang politik tidak hitam putih. Batasan wilayahnya
teramat samar. Ada beda antara das sein dan das sollen.

Solusi dari permasalahan politik,
sejatinya menjembatani jarak, antara apa yang seharusnya dengan realitas di
ruang nyata.

Pertanyaan terbesarnya,
MUNGKINKAH? Jawabnya sangat tergantung pada kemauan politik itu sendiri.

Buku Asvi Warman Adam, Melawan
Lupa Menepis Stigma, 2015 menarik untuk ditinjau ulang dalam konteks kekinian,
agar update dan aktual.

Rangkaian tulisan di dalam buku
itu hendak mendudukkan bingkai peristiwa, yang terjadi pada medio 1965-1966,
dengan menempatkan semua elemen aktor dalam panggung politik nasional. Situasi
di periode penuh gejolak itu menandai sebuah proses politik bersejarah.

Tidak hanya terkait dengan Orde
Lama menuju Orde Baru, tetapi begitu pula dengan keberadaan kudeta PKI yang
mewarnai masa-masa tersebut. Peralihan kekuasaan terjadi melalui begitu banyak
peristiwa yang seolah-olah saling berkaitan.

Kita tidak hendak larut dalam perdebatan
mengenai, siapa pelaku? Lalu pihak mana yang diuntungkan? Apa motif yang
menjadi penggeraknya?

Poin menarik dari kejadian di
seputar 1965-1966, adalah fakta bahwa suatu peristiwa politik tidaklah bersifat
tunggal. Ada begitu banyak kemungkinan terkait, dan hal itu yang menciptakan
ruang abu-abu multitafsir.

Sejarah dalam Kekuasaan

Catatan kesejarahan bukan tanpa
kepentingan. Intervensi dan interpretasi ditampilkan untuk membentuk suatu
cerita, yang sesuai dengan harapan pencerita. Karena itu, sejarah kerapkali
menjadi ruang konstruksi masa lalu, dengan intensi pada pemberian titik tekan
tertentu.

Bahkan secara tidak langsung,
sejarah adalah bentuk dokumentasi dari para aktor pemenang di panggung
bersejarah itu sendiri. Sulit memahaminya? Sederhananya, dalam sejarah proses
koreksi bisa dilakukan sepanjang ada dasar tafsir yang mampu dimunculkan
sebagai penguat narasi.

Baca Juga :  Abaikan Prokes, Satgas Covid Bubarkan Lomba Menangkap Ikan

Bentuk konkrit dari penguat
argumentasi atas tafsir sejarah, tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan.

Bagaimana melihatnya? Mari kita
masuk di dalam imajinasi periode 1965-1966. Orde Lama yang dipimpin Soekarno, berada
dalam kegentingan yang meruncing memasuki fase Orde Baru, dengan nahkoda kapal
Soeharto.

Sejarah pasca transisi kekuasaan
tersebut, menempatkan Orde Baru sebagai kekuatan reformis, menjadikan Orde Lama
layaknya pokok persoalan dalam pertentangan ideologis yang memuncak saat itu.

Soekarno dijadikan sebagai pusat
orbital Orde Lama, menjadi titik sentral permasalahan. Seketika itu pula,
nampak wajah Sang Proklamator tercoreng.

Padahal dalam logika sederhana,
mungkinkah Soekarno menjadi pendukung dari PKI yang berpotensi merongrong
wibawanya? Bukankah Soekarno yang menjadi penengah ideologis antara “kiri
dan kanan” saat itu?

Bagaimana menimbang jasa Soekarno
untuk menyeimbangkan kekuatan PKI dan Militer? Apakah tidak mungkin Soekarno
adalah korban dan proksi kekuatan dunia yang bertarung? Sejuta pertanyaan
mengemuka.

Fakta sejarah yang telah lewat,
tersebar dalam berbagai bukti dokumen, bisa sangat bebas tafsir. Namun yang
pasti pemenang sejarah memiliki kemampuan untuk menghapus masa lalu, mengontrol
kognisi publik dan menciptakan titik sentral yang baru.

Sejarah menjadi proyeksi atas
kekuasaan, itu hukum besinya. Suara berbeda adalah keriuhan minor.

Hal tersebut selalu berulang,
bahkan kala Orde Baru tergulung desakan reformasi pada periode 1998. Maka
periode stabilitas pembangunan atas nama Pancasila dimaknai secara peyoratif
dalam asosiasi benak publik tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Waktu
berputar dan terus berjalan.

Baca Juga :  246 TKA Tercatat Bekerja di 62 Perusahaan

Politik Bermisteri

Di dunia Politik, akan selalu ada
ruang dan celah tafsir berbeda. Disitu pula dinamika terjadi. Maka cerita
tentang “makar” dan hasil Pemilu 2019, perlu dengan sangat perlahan
disusun dalam bentuk yang rigid. Memahami ketidakpuasan, konstruksi people
power dan kemungkinan tindakan subversif perlu jejalin bukti yang solid.

Kita perlu bersyukur persoalan
huru-hara 21-22 Mei lalu tidak meluas. Tetapi meletakkan pondasi kerusuhan
tersebut dalam bingkai makar juga bukan hal mudah.

Sekali lagi, politik memiliki
ruang misteri, tidak hanya gelap tanpa cahaya tetapi juga abu-abu dalam tafsir
yang berbeda.

Pertanyaan yang merebak juga
tidak kalah banyaknya? Siapa aktor utamanya? Apa tujuannya? Mengapa respon
hukum begitu cepat disimpulkan? Publik berhak mengajukan tesisnya
masing-masing.

Teori konspirasi selalu menarik
untuk dibahas dan direka-reka, meski teramat sulit diungkapkan.

Dalam konteks persoalan hukum,
maka penuntasan dan pembuktian hukum yang berkeadilan perlu ditegakkan.

Tetapi kita tentu berharap,
dengan begitu banyak pengalaman kesejarahan kita, jangan sampai momentum kali
ini justru menjadi wilayah dominasi baru para pemenang atas mereka yang
terkalahkan.

Demokrasi yang kuat, hanya
terbangun melalui proses kalah-menang berkemajuan. Bukan sebagaimana pepatah,
“Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu”. Mampu dan maukah kita?

Sejarah bak roda berputar,
tafsirnya menurut pada arah mata angin berhembus, dan hanya sang waktu yang
akan membuktikan. (***)

(Program Doktoral Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid)

ABU-ABU! Ruang politik tidak hitam putih. Batasan wilayahnya
teramat samar. Ada beda antara das sein dan das sollen.

Solusi dari permasalahan politik,
sejatinya menjembatani jarak, antara apa yang seharusnya dengan realitas di
ruang nyata.

Pertanyaan terbesarnya,
MUNGKINKAH? Jawabnya sangat tergantung pada kemauan politik itu sendiri.

Buku Asvi Warman Adam, Melawan
Lupa Menepis Stigma, 2015 menarik untuk ditinjau ulang dalam konteks kekinian,
agar update dan aktual.

Rangkaian tulisan di dalam buku
itu hendak mendudukkan bingkai peristiwa, yang terjadi pada medio 1965-1966,
dengan menempatkan semua elemen aktor dalam panggung politik nasional. Situasi
di periode penuh gejolak itu menandai sebuah proses politik bersejarah.

Tidak hanya terkait dengan Orde
Lama menuju Orde Baru, tetapi begitu pula dengan keberadaan kudeta PKI yang
mewarnai masa-masa tersebut. Peralihan kekuasaan terjadi melalui begitu banyak
peristiwa yang seolah-olah saling berkaitan.

Kita tidak hendak larut dalam perdebatan
mengenai, siapa pelaku? Lalu pihak mana yang diuntungkan? Apa motif yang
menjadi penggeraknya?

Poin menarik dari kejadian di
seputar 1965-1966, adalah fakta bahwa suatu peristiwa politik tidaklah bersifat
tunggal. Ada begitu banyak kemungkinan terkait, dan hal itu yang menciptakan
ruang abu-abu multitafsir.

Sejarah dalam Kekuasaan

Catatan kesejarahan bukan tanpa
kepentingan. Intervensi dan interpretasi ditampilkan untuk membentuk suatu
cerita, yang sesuai dengan harapan pencerita. Karena itu, sejarah kerapkali
menjadi ruang konstruksi masa lalu, dengan intensi pada pemberian titik tekan
tertentu.

Bahkan secara tidak langsung,
sejarah adalah bentuk dokumentasi dari para aktor pemenang di panggung
bersejarah itu sendiri. Sulit memahaminya? Sederhananya, dalam sejarah proses
koreksi bisa dilakukan sepanjang ada dasar tafsir yang mampu dimunculkan
sebagai penguat narasi.

Baca Juga :  Abaikan Prokes, Satgas Covid Bubarkan Lomba Menangkap Ikan

Bentuk konkrit dari penguat
argumentasi atas tafsir sejarah, tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan.

Bagaimana melihatnya? Mari kita
masuk di dalam imajinasi periode 1965-1966. Orde Lama yang dipimpin Soekarno, berada
dalam kegentingan yang meruncing memasuki fase Orde Baru, dengan nahkoda kapal
Soeharto.

Sejarah pasca transisi kekuasaan
tersebut, menempatkan Orde Baru sebagai kekuatan reformis, menjadikan Orde Lama
layaknya pokok persoalan dalam pertentangan ideologis yang memuncak saat itu.

Soekarno dijadikan sebagai pusat
orbital Orde Lama, menjadi titik sentral permasalahan. Seketika itu pula,
nampak wajah Sang Proklamator tercoreng.

Padahal dalam logika sederhana,
mungkinkah Soekarno menjadi pendukung dari PKI yang berpotensi merongrong
wibawanya? Bukankah Soekarno yang menjadi penengah ideologis antara “kiri
dan kanan” saat itu?

Bagaimana menimbang jasa Soekarno
untuk menyeimbangkan kekuatan PKI dan Militer? Apakah tidak mungkin Soekarno
adalah korban dan proksi kekuatan dunia yang bertarung? Sejuta pertanyaan
mengemuka.

Fakta sejarah yang telah lewat,
tersebar dalam berbagai bukti dokumen, bisa sangat bebas tafsir. Namun yang
pasti pemenang sejarah memiliki kemampuan untuk menghapus masa lalu, mengontrol
kognisi publik dan menciptakan titik sentral yang baru.

Sejarah menjadi proyeksi atas
kekuasaan, itu hukum besinya. Suara berbeda adalah keriuhan minor.

Hal tersebut selalu berulang,
bahkan kala Orde Baru tergulung desakan reformasi pada periode 1998. Maka
periode stabilitas pembangunan atas nama Pancasila dimaknai secara peyoratif
dalam asosiasi benak publik tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Waktu
berputar dan terus berjalan.

Baca Juga :  246 TKA Tercatat Bekerja di 62 Perusahaan

Politik Bermisteri

Di dunia Politik, akan selalu ada
ruang dan celah tafsir berbeda. Disitu pula dinamika terjadi. Maka cerita
tentang “makar” dan hasil Pemilu 2019, perlu dengan sangat perlahan
disusun dalam bentuk yang rigid. Memahami ketidakpuasan, konstruksi people
power dan kemungkinan tindakan subversif perlu jejalin bukti yang solid.

Kita perlu bersyukur persoalan
huru-hara 21-22 Mei lalu tidak meluas. Tetapi meletakkan pondasi kerusuhan
tersebut dalam bingkai makar juga bukan hal mudah.

Sekali lagi, politik memiliki
ruang misteri, tidak hanya gelap tanpa cahaya tetapi juga abu-abu dalam tafsir
yang berbeda.

Pertanyaan yang merebak juga
tidak kalah banyaknya? Siapa aktor utamanya? Apa tujuannya? Mengapa respon
hukum begitu cepat disimpulkan? Publik berhak mengajukan tesisnya
masing-masing.

Teori konspirasi selalu menarik
untuk dibahas dan direka-reka, meski teramat sulit diungkapkan.

Dalam konteks persoalan hukum,
maka penuntasan dan pembuktian hukum yang berkeadilan perlu ditegakkan.

Tetapi kita tentu berharap,
dengan begitu banyak pengalaman kesejarahan kita, jangan sampai momentum kali
ini justru menjadi wilayah dominasi baru para pemenang atas mereka yang
terkalahkan.

Demokrasi yang kuat, hanya
terbangun melalui proses kalah-menang berkemajuan. Bukan sebagaimana pepatah,
“Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu”. Mampu dan maukah kita?

Sejarah bak roda berputar,
tafsirnya menurut pada arah mata angin berhembus, dan hanya sang waktu yang
akan membuktikan. (***)

(Program Doktoral Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid)

Terpopuler

Artikel Terbaru