27.6 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Ketika Keteladanan dan Keberanian Absen

INGATAN terhadap tragedi penembakan masal di
bioskop Century 16 Aurora, Colorado, yang terjadi tujuh tahun lalu tiba-tiba
kembali menyeruak tatkala film Joker ditayangkan perdana pada 2 Oktober lalu.

Film besutan sutradara Todd Phillips dan penulis naskah Scott Silver itu
seolah membenarkan penembakan yang dilakukan James E. Holmes, yang mendaku diri
sebagai Joker.

Dalam tragedi 20 Juli 2012 itu, Holmes secara brutal telah menewaskan 12
orang dan melukai 58 orang dengan senjata otomatis yang dimiliki. Ada sejumlah
spekulasi yang menyatakan bahwa ingatan tersebut sengaja dimunculkan untuk
mendongkrak kesuksesan film yang dibintangi Joaquin Phoenix itu.

Namun, tidak sedikit pula pihak yang mengatakan bahwa film Joker tidak
hanya mengingatkan tragedi tersebut, tetapi justru sangat berpotensi untuk
memicu timbulnya aksi penembakan masal serupa secara lebih massif.

Tak dapat dimungkiri bahwa penayangan film Joker di tanah air pun berada di
bawah bayang-bayang kepanikan moral. Ini bukan semata-mata disebabkan ingatan
terhadap tragedi penembakan masal di Colorado, melainkan juga oleh ingatan
tekstual terhadap Joker sebagai tokoh durjana fiktif yang paling kejam.

Film sebelumnya, Dark Knight (2008), menampilkan Joker yang diperankan
Heath Ledger sebagai psikopat yang brutal. Dia mampu menebar teror kepada
masyarakat Gotham dan bahkan memperdaya Batman, sang nemesis. Citra Joker
sebagai The Clown Prince of Crime, tampaknya, tidak lagi menjadi milik dunia
fiktif, tetapi juga telah merembes masuk ke realitas nyata.

Baca Juga :  Masih Makan Saat Azan Subuh, Bagaimana Puasanya?

Masyarakat yang Depresif

Neal Gabler (2000), kritikus media, pernah menulis bahwa dunia hiburan masa
kini bukanlah lagi sebuah tahap yang berjarak dari realitas sehari-hari.
Sebaliknya, realitas sehari-hari itu kini telah menjadi sebuah medium, sebuah
seni, sebuah film yang dapat dinikmati audiens.

Film Joker, sepertinya, tidak sekadar menunjukkan adanya intertekstualitas
antara dongeng (story) dan sejarah (history), tetapi juga menyangatkan adanya
kombinasi dan kompilasi di antara keduanya. Sakit mental yang dialami Arthur
Fleck, sebelum bertransformasi sebagai Joker, bukanlah sebuah metafora.

Sakit mental seperti delusi, depresi, dan skizofrenia itu dapat dijumpai
pada banyak individu. Dalam hal ini, film Joker secara lugas menyatakan bahwa
kondisi masyarakat sangat berpotensi untuk mengaktifkan sakit mental pada
individu. Kelugasan itu seolah menggarisbawahi sebuah pernyataan dari Kurt
Vonnegut Jr., penulis ternama, ”Orang waras di dunia yang gila akan tampak
gila.”

Sejak awal, Arthur Fleck digambarkan sebagai penderita sakit mental yang
menjadi korban dari kondisi masyarakat Gotham yang sedang bergejolak. Dia
dianiaya para remaja. Dia dipecat dari pekerjaan. Dia dianggap aneh dan
berbahaya oleh orang sekitar.

Jaminan pengobatannya dihentikan para elite. Dia dilecehkan dan
dipermalukan Murray Franklin. Dia tidak diakui sebagai anak oleh Thomas Wayne.

Baca Juga :  Hadiah Natal

Kehidupan Arthur sungguh berat seperti meniti puluhan anak tangga yang
begitu tinggi. Tawanya tidak lagi menandakan kebahagiaan, melainkan kepedihan
dan luka. Masyarakat gagal memahami Arthur. Karena itu, mereka kerap menghardiknya,
”What’s so funny?”

Masyarakat Distopia

Di balik beragam kontroversi, film Joker menyisakan renungan mengenai
gambaran masyarakat yang haus akan keteladanan dan keberanian. Masyarakat
Gotham dilanda depresi masal karena kecewa dengan para elite yang tidak peduli
dan bersikap narsistik.

Sayangnya, para elite justru menghibur diri dan mencari keuntungan di
tengah kesengsaraan yang dialami masyarakat. Dalam situasi demikian, Joker
menjadi oase yang mampu memberikan kesegaran dan kehidupan baru bagi mereka.
Joker menjadi representasi dari nilai keteladanan dan keberanian yang mereka
nantikan kendati sadisme dan kekacauan sungguh nyata di dalam dirinya. Revolusi
pun siap diledakkan.

Kondisi demikian tentu saja menjadi pertanyaan besar di akhir film ini.
Apakah mungkin kesegaran dan kehidupan baru yang ingin dinikmati masyarakat
berasal dari mata air kekacauan? Apakah mungkin sebuah masyarakat yang sehat
dapat dibangun dari sadisme dan kegilaan? Jika mungkin, film Joker hanya
menjadi sebuah biografi dari masyarakat distopia, tanpa komedi. Jika saja ada,
what’s so funny? (*)

(Dosen Universitas Pelita
Harapan Karawaci; penulis buku “Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop
Culture”)

INGATAN terhadap tragedi penembakan masal di
bioskop Century 16 Aurora, Colorado, yang terjadi tujuh tahun lalu tiba-tiba
kembali menyeruak tatkala film Joker ditayangkan perdana pada 2 Oktober lalu.

Film besutan sutradara Todd Phillips dan penulis naskah Scott Silver itu
seolah membenarkan penembakan yang dilakukan James E. Holmes, yang mendaku diri
sebagai Joker.

Dalam tragedi 20 Juli 2012 itu, Holmes secara brutal telah menewaskan 12
orang dan melukai 58 orang dengan senjata otomatis yang dimiliki. Ada sejumlah
spekulasi yang menyatakan bahwa ingatan tersebut sengaja dimunculkan untuk
mendongkrak kesuksesan film yang dibintangi Joaquin Phoenix itu.

Namun, tidak sedikit pula pihak yang mengatakan bahwa film Joker tidak
hanya mengingatkan tragedi tersebut, tetapi justru sangat berpotensi untuk
memicu timbulnya aksi penembakan masal serupa secara lebih massif.

Tak dapat dimungkiri bahwa penayangan film Joker di tanah air pun berada di
bawah bayang-bayang kepanikan moral. Ini bukan semata-mata disebabkan ingatan
terhadap tragedi penembakan masal di Colorado, melainkan juga oleh ingatan
tekstual terhadap Joker sebagai tokoh durjana fiktif yang paling kejam.

Film sebelumnya, Dark Knight (2008), menampilkan Joker yang diperankan
Heath Ledger sebagai psikopat yang brutal. Dia mampu menebar teror kepada
masyarakat Gotham dan bahkan memperdaya Batman, sang nemesis. Citra Joker
sebagai The Clown Prince of Crime, tampaknya, tidak lagi menjadi milik dunia
fiktif, tetapi juga telah merembes masuk ke realitas nyata.

Baca Juga :  Masih Makan Saat Azan Subuh, Bagaimana Puasanya?

Masyarakat yang Depresif

Neal Gabler (2000), kritikus media, pernah menulis bahwa dunia hiburan masa
kini bukanlah lagi sebuah tahap yang berjarak dari realitas sehari-hari.
Sebaliknya, realitas sehari-hari itu kini telah menjadi sebuah medium, sebuah
seni, sebuah film yang dapat dinikmati audiens.

Film Joker, sepertinya, tidak sekadar menunjukkan adanya intertekstualitas
antara dongeng (story) dan sejarah (history), tetapi juga menyangatkan adanya
kombinasi dan kompilasi di antara keduanya. Sakit mental yang dialami Arthur
Fleck, sebelum bertransformasi sebagai Joker, bukanlah sebuah metafora.

Sakit mental seperti delusi, depresi, dan skizofrenia itu dapat dijumpai
pada banyak individu. Dalam hal ini, film Joker secara lugas menyatakan bahwa
kondisi masyarakat sangat berpotensi untuk mengaktifkan sakit mental pada
individu. Kelugasan itu seolah menggarisbawahi sebuah pernyataan dari Kurt
Vonnegut Jr., penulis ternama, ”Orang waras di dunia yang gila akan tampak
gila.”

Sejak awal, Arthur Fleck digambarkan sebagai penderita sakit mental yang
menjadi korban dari kondisi masyarakat Gotham yang sedang bergejolak. Dia
dianiaya para remaja. Dia dipecat dari pekerjaan. Dia dianggap aneh dan
berbahaya oleh orang sekitar.

Jaminan pengobatannya dihentikan para elite. Dia dilecehkan dan
dipermalukan Murray Franklin. Dia tidak diakui sebagai anak oleh Thomas Wayne.

Baca Juga :  Hadiah Natal

Kehidupan Arthur sungguh berat seperti meniti puluhan anak tangga yang
begitu tinggi. Tawanya tidak lagi menandakan kebahagiaan, melainkan kepedihan
dan luka. Masyarakat gagal memahami Arthur. Karena itu, mereka kerap menghardiknya,
”What’s so funny?”

Masyarakat Distopia

Di balik beragam kontroversi, film Joker menyisakan renungan mengenai
gambaran masyarakat yang haus akan keteladanan dan keberanian. Masyarakat
Gotham dilanda depresi masal karena kecewa dengan para elite yang tidak peduli
dan bersikap narsistik.

Sayangnya, para elite justru menghibur diri dan mencari keuntungan di
tengah kesengsaraan yang dialami masyarakat. Dalam situasi demikian, Joker
menjadi oase yang mampu memberikan kesegaran dan kehidupan baru bagi mereka.
Joker menjadi representasi dari nilai keteladanan dan keberanian yang mereka
nantikan kendati sadisme dan kekacauan sungguh nyata di dalam dirinya. Revolusi
pun siap diledakkan.

Kondisi demikian tentu saja menjadi pertanyaan besar di akhir film ini.
Apakah mungkin kesegaran dan kehidupan baru yang ingin dinikmati masyarakat
berasal dari mata air kekacauan? Apakah mungkin sebuah masyarakat yang sehat
dapat dibangun dari sadisme dan kegilaan? Jika mungkin, film Joker hanya
menjadi sebuah biografi dari masyarakat distopia, tanpa komedi. Jika saja ada,
what’s so funny? (*)

(Dosen Universitas Pelita
Harapan Karawaci; penulis buku “Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop
Culture”)

Terpopuler

Artikel Terbaru