33.8 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Imbas Permenkes Baru, Kini RS Tipe C Dilarang Tangani Pasien Cuci Dara

IMBAS terbitnya Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor
30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (RS), maka semua RS tipe C sudah tidak boleh lagi menangani
pasien cuci darah atau hemodialisis. Semuanya hanya boleh ditangani RS tipe A
dan B.

Banyak imbas lain yang dianggap
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim bisa menimbulkan masalah.

Ketua Umum IDI Wilayah Jatim dr
Poernomo Boedi S. SpPD K-GEH mengharapkan pemerintah pusat mengkaji ulang
aturan baru tersebut Di Surabaya, pelayanan hemodialisis lebih banyak diberikan
RS tipe C.

Nah, kalau merujuk permenkes
baru, layanan tersebut hanya ada di RS tipe A dan B. Itu tentu berpotensi
menjauhkan akses pelayanan. “Mengakibatkan
puluhan ribu pasien hemodialisis dirugikan,” kata Poernomo kemarin (9/10).

Dia menyayangkan adanya permenkes
itu. Menurut dia, selama berkompeten serta mendapat dukungan sarana dan
prasarana, dokter tetap bisa berpraktik tanpa harus melihat kualifikasi RS.

Dengan adanya kebijakan tersebut,
pelayanan medik di RS ditentukan sesuai dengan klasifikasi RS. Misalnya,
menurut permenkes, RS umum tipe D mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit dua spesialis dasar. Sementara itu, RS tersebut hanya bisa
meningkatkan fasilitas dan kemampuan paling banyak satu pelayanan medik
spesialis dasar dan satu penunjang medik spesialis.

RS umum tipe C, berdasar
permenkes, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
empat spesialis dasar dan empat penunjang medik spesialis lain. Sedangkan
peningkatan fasilitasnya hanya bisa paling banyak tiga pelayanan medik
spesialis selain spesialis dasar dan satu penunjang medik spesialis.

Permenkes baru juga membatasi
ruang praktik dokter subspesialis. Mereka tidak boleh lagi berpraktik di RS
tipe C atau D. Mereka hanya boleh ada di RS umum tipe A dan B. “Itu berarti ada pembatasan yang tidak
rasional terhadap dokter spesialis yang boleh bekerja di RS,” lanjutnya.

Baca Juga :  MPR Dorong Pemerintah Gencarkan Sosialiasai 3M

Padahal, menurut dia, ada RS tipe
C yang bisa menerima spesialis tertentu di luar yang sudah diundangkan di
permenkes. “Adanya pembagian
pelayanan di RS tipe A, B, C, atau D itu terlalu kaku. Menurut IDI, dokter
spesialis kulit bisa berpraktik di RS tipe C. Tapi, kenapa di permenkes malah
dibatasi hanya di tipe B?” lanjutnya.

Dokter spesialis saraf sebelum
adanya permenkes bisa berpraktik di RS tipe C. Namun, lagi-lagi dengan adanya
peraturan baru tersebut, dokter spesialis saraf tidak boleh ada di RS umum tipe
C, tapi harus di tipe B. Hal itu tentu membatasi masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan. “Lha
kalau ada warga emergency stroke, mereka harus jauh-jauh pergi ke RS tipe B.
Tentu saja pasien itu dikhawatirkan tidak tertolong,” lanjutnya.

Kepala Dinas Kesehatan Surabaya
Febria Rachmanita sudah mengantisipasi keluarnya permenkes baru itu. Namun,
upaya tersebut tidak disambut baik oleh sejumlah dokter pada April lalu. Mereka
memprotes kebijakan dinkes yang ’’menahan” surat izin praktik dokter. Feni,
sapaan akrab Febria, berkali-kali menegaskan bahwa aturan itu ditegakkan agar
rumah sakit tak menyalahi aturan.

Lalu, bagaimana sikap dinkes
menanggapi aturan baru itu? Feni menegaskan, pemkot bakal terus berpedoman pada
aturan yang ada. ”Itulah kenapa harus ada klasifikasi rumah sakit. A, B, C, dan
D. RS C dan D rujukan sekunder, A dan B rujukan tersier,” jelasnya.

Baca Juga :  69 Persen Warga Akui Konsumsi Vitamin Tingkatkan Imun Selama Pandemi

Pada pertengahan April lalu,
dinkes mencoba untuk menegakkan aturan klasifikasi RS itu. Hasilnya, empat di
antara delapan rumah sakit tipe D berkomitmen naik kelas ke C. Sedangkan 12
rumah sakit tipe C berkomitmen untuk naik tingkat ke tipe B.

Hal itu dilakukan karena banyak
rumah sakit yang menumpuk dokter spesialis, tapi tak mau naik kelas. Karena
sudah banyak yang berkomitmen naik kelas, imbas perubahan permenkes tersebut
bisa diminimalkan. Jika 12 RS tipe C itu sudah naik ke tipe B, pelayanan tetap
bisa berjalan sesuai aturan.

Kendala lain ada di daerah.
Misalnya, yang disampaikan dr Lestari, perwakilan IDI Gresik. Menurut dia, di
Gresik hanya ada satu RS tipe B. Jika nanti dokter dengan spesialis selain
spesialis dasar hanya ada di tipe B, masyarakat akan berbondong-bondong ke RS
tersebut. ”Hal itu jelas tidak akan membuat pelayanan di RS tipe B maksimal.
Memangnya RS tipe B bisa menampung lebih banyak pasien?” tandasnya.

Imbas Permenkes Baru

1. Layanan cuci darah atau hemodialisis (HD) hanya ada di RS kelas A
dan B.

2. IDI Jatim mengestimasi ada puluhan ribu pasien HD yang masih dirawat
di RS tipe C.

3. Dokter subspesialis juga dilarang berpraktik di RS C dan D.

4. Pelayanan medis dasar rawat jalan/poli umum tidak lagi ada di RS
kelas A, B, C yang berakibat tutupnya poliklinik umum.

5. Rumah sakit khusus kelas C hanya berlaku untuk rumah sakit ibu dan
anak.

6. Pelayanan RS khusus kelas C
selain ibu dan anak yang tak bisa naik ke kelas B terancam berhenti.

(ika/sal/c7/git/jpc/kpc)

IMBAS terbitnya Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor
30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (RS), maka semua RS tipe C sudah tidak boleh lagi menangani
pasien cuci darah atau hemodialisis. Semuanya hanya boleh ditangani RS tipe A
dan B.

Banyak imbas lain yang dianggap
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim bisa menimbulkan masalah.

Ketua Umum IDI Wilayah Jatim dr
Poernomo Boedi S. SpPD K-GEH mengharapkan pemerintah pusat mengkaji ulang
aturan baru tersebut Di Surabaya, pelayanan hemodialisis lebih banyak diberikan
RS tipe C.

Nah, kalau merujuk permenkes
baru, layanan tersebut hanya ada di RS tipe A dan B. Itu tentu berpotensi
menjauhkan akses pelayanan. “Mengakibatkan
puluhan ribu pasien hemodialisis dirugikan,” kata Poernomo kemarin (9/10).

Dia menyayangkan adanya permenkes
itu. Menurut dia, selama berkompeten serta mendapat dukungan sarana dan
prasarana, dokter tetap bisa berpraktik tanpa harus melihat kualifikasi RS.

Dengan adanya kebijakan tersebut,
pelayanan medik di RS ditentukan sesuai dengan klasifikasi RS. Misalnya,
menurut permenkes, RS umum tipe D mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit dua spesialis dasar. Sementara itu, RS tersebut hanya bisa
meningkatkan fasilitas dan kemampuan paling banyak satu pelayanan medik
spesialis dasar dan satu penunjang medik spesialis.

RS umum tipe C, berdasar
permenkes, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
empat spesialis dasar dan empat penunjang medik spesialis lain. Sedangkan
peningkatan fasilitasnya hanya bisa paling banyak tiga pelayanan medik
spesialis selain spesialis dasar dan satu penunjang medik spesialis.

Permenkes baru juga membatasi
ruang praktik dokter subspesialis. Mereka tidak boleh lagi berpraktik di RS
tipe C atau D. Mereka hanya boleh ada di RS umum tipe A dan B. “Itu berarti ada pembatasan yang tidak
rasional terhadap dokter spesialis yang boleh bekerja di RS,” lanjutnya.

Baca Juga :  MPR Dorong Pemerintah Gencarkan Sosialiasai 3M

Padahal, menurut dia, ada RS tipe
C yang bisa menerima spesialis tertentu di luar yang sudah diundangkan di
permenkes. “Adanya pembagian
pelayanan di RS tipe A, B, C, atau D itu terlalu kaku. Menurut IDI, dokter
spesialis kulit bisa berpraktik di RS tipe C. Tapi, kenapa di permenkes malah
dibatasi hanya di tipe B?” lanjutnya.

Dokter spesialis saraf sebelum
adanya permenkes bisa berpraktik di RS tipe C. Namun, lagi-lagi dengan adanya
peraturan baru tersebut, dokter spesialis saraf tidak boleh ada di RS umum tipe
C, tapi harus di tipe B. Hal itu tentu membatasi masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan. “Lha
kalau ada warga emergency stroke, mereka harus jauh-jauh pergi ke RS tipe B.
Tentu saja pasien itu dikhawatirkan tidak tertolong,” lanjutnya.

Kepala Dinas Kesehatan Surabaya
Febria Rachmanita sudah mengantisipasi keluarnya permenkes baru itu. Namun,
upaya tersebut tidak disambut baik oleh sejumlah dokter pada April lalu. Mereka
memprotes kebijakan dinkes yang ’’menahan” surat izin praktik dokter. Feni,
sapaan akrab Febria, berkali-kali menegaskan bahwa aturan itu ditegakkan agar
rumah sakit tak menyalahi aturan.

Lalu, bagaimana sikap dinkes
menanggapi aturan baru itu? Feni menegaskan, pemkot bakal terus berpedoman pada
aturan yang ada. ”Itulah kenapa harus ada klasifikasi rumah sakit. A, B, C, dan
D. RS C dan D rujukan sekunder, A dan B rujukan tersier,” jelasnya.

Baca Juga :  69 Persen Warga Akui Konsumsi Vitamin Tingkatkan Imun Selama Pandemi

Pada pertengahan April lalu,
dinkes mencoba untuk menegakkan aturan klasifikasi RS itu. Hasilnya, empat di
antara delapan rumah sakit tipe D berkomitmen naik kelas ke C. Sedangkan 12
rumah sakit tipe C berkomitmen untuk naik tingkat ke tipe B.

Hal itu dilakukan karena banyak
rumah sakit yang menumpuk dokter spesialis, tapi tak mau naik kelas. Karena
sudah banyak yang berkomitmen naik kelas, imbas perubahan permenkes tersebut
bisa diminimalkan. Jika 12 RS tipe C itu sudah naik ke tipe B, pelayanan tetap
bisa berjalan sesuai aturan.

Kendala lain ada di daerah.
Misalnya, yang disampaikan dr Lestari, perwakilan IDI Gresik. Menurut dia, di
Gresik hanya ada satu RS tipe B. Jika nanti dokter dengan spesialis selain
spesialis dasar hanya ada di tipe B, masyarakat akan berbondong-bondong ke RS
tersebut. ”Hal itu jelas tidak akan membuat pelayanan di RS tipe B maksimal.
Memangnya RS tipe B bisa menampung lebih banyak pasien?” tandasnya.

Imbas Permenkes Baru

1. Layanan cuci darah atau hemodialisis (HD) hanya ada di RS kelas A
dan B.

2. IDI Jatim mengestimasi ada puluhan ribu pasien HD yang masih dirawat
di RS tipe C.

3. Dokter subspesialis juga dilarang berpraktik di RS C dan D.

4. Pelayanan medis dasar rawat jalan/poli umum tidak lagi ada di RS
kelas A, B, C yang berakibat tutupnya poliklinik umum.

5. Rumah sakit khusus kelas C hanya berlaku untuk rumah sakit ibu dan
anak.

6. Pelayanan RS khusus kelas C
selain ibu dan anak yang tak bisa naik ke kelas B terancam berhenti.

(ika/sal/c7/git/jpc/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru