30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Hanoman Sikh

Saya terkecoh.
Salah sangka. 

 

Awalnya saya
terheran-heran. Begitu banyak masjid di Punjab, India ini. Terlihat dari
menara-menara tingginya. Dan kubah-kubahnya.

 

Seperti lagi
mengendarai mobil di Lombok saja. Sebentar-sebentar melihat bangunan masjid.

 

Begitu banyak
masjid di Punjab?

 

Ups…. 

 

Ternyata semua itu
bukan masjid. 

 

Itu disebut
gurdwara. Artinya: pintu menuju Guru. 

 

Disebut juga
Harmandir Sahib – -baitullah, rumah Tuhan.

 

Nama lainnya lagi:
Darbar Sahib – -pengadilan Tuhan, pengadilan Agung.

 

Itulah rumah ibadah
agama Sikh. 

 

Begitu dekatnya
arsitektur gurdwara ini dengan masjid. 

 

Agama Sikh? 

 

Anda pasti tahu
–setidaknya dari bentuk udeng (topi) penganut Sikh yang khas itu.

 

Lebih 50 persen
penduduk negara bagian Punjab adalah Sikh. Makanya begitu banyak rumah ibadah
gurdwara di Punjab. 

 

Saat saya ke Desa
Qadian pun harus melewati banyak gurdwara.

 

Qadian adalah desa
tempat lahirnya Mirza Ghulam Ahmad –pendiri aliran Islam Ahmadiyah.

Dari jauh sulit
sekali  membedakan: mana gurdwara Sikh dan mana masjidnya orang Islam.
Sama-sama bermenara tinggi. Sama-sama berkubah –kubah besar di tengah dan
kubah-kubah kecil di menaranya.

 

Barulah dari jarak
dekat terlihat bedanya –itu pun bagi yang mau memperhatikan. Yang masjid, di
puncak kubahnya ada bentuk bulan sabit kecil.

Baca Juga :  Jabatan Kadis dan Kepala Badan Dilelang, 51 ASN Antusias Ikuti Seleksi

 

Yang gurdwara, di
puncaknya bertengger bunga lotus kecil.

 

Penggunaan lotus
itu sendiri seperti menggambarkan ada persinggungan antara Sikh dan Buddha.

 

Persinggungan-persinggungan
antar agama itulah yang banyak terlihat di Punjab –dan India. 

 

Misalnya saat saya
ke gurdwara terbesar di dunia. Saya ikut ritual mereka. Dari awal sampai
akhir. 

 

Saya mendapat
pengalaman baru: begitu banyak yang mirip dengan ritual naik haji.

Di sinilah –di
kota Amritsar ini– gurdwaranya dianggap yang paling suci.

 

Jalannya ritual di
situ pasti menarik untuk ditulis. 

 

Demikian juga
ketika saya ke pura yang dianggap paling suci di agama Hindu. Di Kota Varanasi.
Di negara bagian Uttar Pradesh. 

 

Saya ikuti ritual
hari raya Hanoman di situ. Sampai selesai. Begitu banyak persinggungan gerak
ritual keagamaan di situ.

 

Saya pun banyak
merenung. Selama di India ini. Mengapa praktek beragama di kawasan ini begitu
semangatnya.  

 

Saya jadi ingat
masa kecil di desa. Yang praktek keagamaan kami juga  sangat santai tapi
gegap gempita. 

 

Kini saya tahu:
praktek keagamaan masa kecil itu terasa ada mirip dengan Hindu di India. Ada
mirip dengan Buddha di sini. Dan mirip dengan Sikh di Amritsar ini.

Baca Juga :  Tahun Ini Kapuas Tiadakan Penerimaan CPNS

 

Begitu banyak lagu
di masjid saya ketika itu. 

 

Azan kami lagukan.

 

Setelah azan kami
dendangkan pujian-pujian. Kadang sangat lama –menunggu masuknya Imam ke masjid
–karena sang imam harus menghabiskan rokoknya dulu. 

Selesai salat kami
dendangkan tahlil.

 

Setiap malam
orang-orang dewasa melakukan terbangan –dengan nada yang mendayu-dayu. Dengan
alat musik yang disebut terbang –gendang pipih yang lingkarannya besar sekali.
Lebih besar dari orang duduk.

 

Penerbangnya
–orang yang memukul terbang– kadang tertidur dengan kepala tersandar di
terbang. 

 

Kami juga sering
melagukan berjanji. Yang kalau sampai tahap asrokal nadanya kian cepat –kian
nge-beat.

 

Kalau ada orang
mati, tujuh malam kami bertahlil dengan aneka nada. Saat mengucapkan asmaul
husna nadanya beda dengan saat melafalkan ayat kursi.

 

Begitu gembiranya
kami menjalankan agama saat itu. 

 

Adakah itu karena
Islam masuk ke Indonesia lewat pedagang dari Gujarat, India?

 

Di India, sekarang
ini, saya mengikuti ritual berbagai agama dan aliran –oh ini yang kian hilang
di Indonesia.(Dahlan Iskan) 

Saya terkecoh.
Salah sangka. 

 

Awalnya saya
terheran-heran. Begitu banyak masjid di Punjab, India ini. Terlihat dari
menara-menara tingginya. Dan kubah-kubahnya.

 

Seperti lagi
mengendarai mobil di Lombok saja. Sebentar-sebentar melihat bangunan masjid.

 

Begitu banyak
masjid di Punjab?

 

Ups…. 

 

Ternyata semua itu
bukan masjid. 

 

Itu disebut
gurdwara. Artinya: pintu menuju Guru. 

 

Disebut juga
Harmandir Sahib – -baitullah, rumah Tuhan.

 

Nama lainnya lagi:
Darbar Sahib – -pengadilan Tuhan, pengadilan Agung.

 

Itulah rumah ibadah
agama Sikh. 

 

Begitu dekatnya
arsitektur gurdwara ini dengan masjid. 

 

Agama Sikh? 

 

Anda pasti tahu
–setidaknya dari bentuk udeng (topi) penganut Sikh yang khas itu.

 

Lebih 50 persen
penduduk negara bagian Punjab adalah Sikh. Makanya begitu banyak rumah ibadah
gurdwara di Punjab. 

 

Saat saya ke Desa
Qadian pun harus melewati banyak gurdwara.

 

Qadian adalah desa
tempat lahirnya Mirza Ghulam Ahmad –pendiri aliran Islam Ahmadiyah.

Dari jauh sulit
sekali  membedakan: mana gurdwara Sikh dan mana masjidnya orang Islam.
Sama-sama bermenara tinggi. Sama-sama berkubah –kubah besar di tengah dan
kubah-kubah kecil di menaranya.

 

Barulah dari jarak
dekat terlihat bedanya –itu pun bagi yang mau memperhatikan. Yang masjid, di
puncak kubahnya ada bentuk bulan sabit kecil.

Baca Juga :  Jabatan Kadis dan Kepala Badan Dilelang, 51 ASN Antusias Ikuti Seleksi

 

Yang gurdwara, di
puncaknya bertengger bunga lotus kecil.

 

Penggunaan lotus
itu sendiri seperti menggambarkan ada persinggungan antara Sikh dan Buddha.

 

Persinggungan-persinggungan
antar agama itulah yang banyak terlihat di Punjab –dan India. 

 

Misalnya saat saya
ke gurdwara terbesar di dunia. Saya ikut ritual mereka. Dari awal sampai
akhir. 

 

Saya mendapat
pengalaman baru: begitu banyak yang mirip dengan ritual naik haji.

Di sinilah –di
kota Amritsar ini– gurdwaranya dianggap yang paling suci.

 

Jalannya ritual di
situ pasti menarik untuk ditulis. 

 

Demikian juga
ketika saya ke pura yang dianggap paling suci di agama Hindu. Di Kota Varanasi.
Di negara bagian Uttar Pradesh. 

 

Saya ikuti ritual
hari raya Hanoman di situ. Sampai selesai. Begitu banyak persinggungan gerak
ritual keagamaan di situ.

 

Saya pun banyak
merenung. Selama di India ini. Mengapa praktek beragama di kawasan ini begitu
semangatnya.  

 

Saya jadi ingat
masa kecil di desa. Yang praktek keagamaan kami juga  sangat santai tapi
gegap gempita. 

 

Kini saya tahu:
praktek keagamaan masa kecil itu terasa ada mirip dengan Hindu di India. Ada
mirip dengan Buddha di sini. Dan mirip dengan Sikh di Amritsar ini.

Baca Juga :  Tahun Ini Kapuas Tiadakan Penerimaan CPNS

 

Begitu banyak lagu
di masjid saya ketika itu. 

 

Azan kami lagukan.

 

Setelah azan kami
dendangkan pujian-pujian. Kadang sangat lama –menunggu masuknya Imam ke masjid
–karena sang imam harus menghabiskan rokoknya dulu. 

Selesai salat kami
dendangkan tahlil.

 

Setiap malam
orang-orang dewasa melakukan terbangan –dengan nada yang mendayu-dayu. Dengan
alat musik yang disebut terbang –gendang pipih yang lingkarannya besar sekali.
Lebih besar dari orang duduk.

 

Penerbangnya
–orang yang memukul terbang– kadang tertidur dengan kepala tersandar di
terbang. 

 

Kami juga sering
melagukan berjanji. Yang kalau sampai tahap asrokal nadanya kian cepat –kian
nge-beat.

 

Kalau ada orang
mati, tujuh malam kami bertahlil dengan aneka nada. Saat mengucapkan asmaul
husna nadanya beda dengan saat melafalkan ayat kursi.

 

Begitu gembiranya
kami menjalankan agama saat itu. 

 

Adakah itu karena
Islam masuk ke Indonesia lewat pedagang dari Gujarat, India?

 

Di India, sekarang
ini, saya mengikuti ritual berbagai agama dan aliran –oh ini yang kian hilang
di Indonesia.(Dahlan Iskan) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru