30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Wakaf sebagai Kelaziman Baru

PANDEMI Covid-19 yang menjadi momok seluruh dunia membawa dampak yang
tidak ringan bagi banyak orang. Fenomena yang awalnya merupakan krisis
kesehatan umum telah berubah menjadi krisis multidimensi, salah satunya di
bidang ekonomi. Di Indonesia, dampak ekonomi ini telah secara nyata terasa.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal I
2020 hanya tumbuh 2,97 persen. Hal ini jelas menunjukkan adanya perlambatan
ekonomi seiring mulai diberlakukan pembatasan aktivitas masyarakat, seperti
anjuran bekerja dari rumah hingga PSBB, sejak pengumuman kasus pertama Covid-19
di Indonesia pada 2 Maret lalu.

Hal ini seiring prediksi dari Dana Moneter Internasional IMF bahwa ekonomi
Indonesia hanya akan tumbuh sekitar 0,5 persen pada 2020, namun dapat bangkit
menjadi sekitar 8 persen pada 2021 seiring pemulihan ekonomi yang berlangsung.
Maka, tidaklah mengherankan jika kemudian pemerintah beberapa waktu belakangan
mendorong wacana bernama new normal atau bahasa lainnya adalah kelaziman baru.
Wacana ini bermakna bahwa kegiatan masyarakat, khususnya kegiatan ekonomi,
diharapkan dapat berjalan normal kembali, namun dengan memperhatikan berbagai
protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 yang hingga saat ini belum
ditemukan vaksin penangkalnya. Perhatian terhadap protokol kesehatan ini
penting mengingat kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menembus 100.000
kasus sehingga pembukaan aktivitas ekonomi jangan sampai justru memunculkan
klaster penularan virus yang baru.

Terlepas dari kontroversi yang menyertai wacana di atas, aktivitas ekonomi
perlu dilakukan, tentunya dengan menyesuaikan kondisi Covid-19. Aktivitas
ekonomi yang melambat membawa dampak yang serius, baik bagi para pengusaha
maupun para pekerja. Terkhusus golongan pekerja, dampak pandemi ini sangat
terasa terutama bagi para pekerja informal yang bergantung pada pendapatan
harian maupun para pegawai yang dirumahkan akibat aktivitas bisnis yang
terganggu. Jika kondisi perekonomian tidak diperbaiki, dikhawatirkan terjadi
ledakan pengangguran yang dapat memperburuk kondisi kemiskinan maupun
ketimpangan sosial di Indonesia.

Masa kelaziman baru nanti ditandai dengan penggalakan sejumlah perilaku
protokol kesehatan di tempat-tempat umum, seperti menjaga jarak minimal 1
meter, menggunakan masker, adanya pengecekan suhu tubuh, serta pembiasaan
perilaku mencuci tangan dengan sabun atau cairan hand sanitizer. Tentu hal ini
tidak terlepas dari kondisi terkini pandemi yang sangat rentan menular melalui
sentuhan tangan yang kurang higienis dan masuk melalui saluran pernapasan.
Dengan kata lain, ada sejumlah hal yang perlu diadaptasi masyarakat luas agar
aktivitas tetap berjalan normal sehingga pemulihan ekonomi dapat terwujud,
namun di sisi lain diharapkan pandemi ini tidak meluas.

Baca Juga :  Gelar Muskerwil, PKB Kalteng Mantapkan Pemenangan Sugianto-Edy

Meskipun demikian, mengingat bencana Covid-19 tidak hanya merupakan krisis
kesehatan umum, namun juga memiliki dampak signifikan pada perekonomian, perlu
juga digalakkan suatu ’’kelaziman baru’’ dalam berekonomi. Hal ini mengingat
bahwa pada kondisi perekonomian normal, yang di Indonesia umumnya pertumbuhan
ekonomi dalam beberapa tahun terakhir setidaknya berada pada tingkat 5 persen,
masih dijumpai permasalahan terkait kesejahteraan masyarakat, terutama
kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Berdasar rilis BPS yang didasarkan pada survei sosial ekonomi nasional
(susenas) pada September 2019, tercatat jumlah penduduk miskin Indonesia berada
pada angka 24,8 juta jiwa atau sekitar 9,22 persen dari total populasi. Selain
itu, pada periode yang sama, tingkat ketimpangan sosial di Indonesia yang
diukur menggunakan rasio gini berada pada angka 0,382 yang menunjukkan
ketimpangan di tingkat menengah. Selain itu, pada September 2018 BPS mencatat
bahwa struktur pengeluaran didominasi golongan 20 persen berpendapatan
tertinggi yang berkontribusi 45,56 persen dari pengeluaran konsumsi masyarakat.
Sementara itu, 40 persen golongan menengah dan 40 persen golongan terendah
berkontribusi masing-masing 36,96 persen dan 17,47 persen.

Oleh karena itu, perilaku ekonomi ke depan tidak cukup hanya bertumpu pada
mekanisme pasar, namun perlu ada penguatan pada aspek sosial kemasyarakatan.
Hal ini mengingat kondisi pandemi ini mengajarkan bahwa ketika roda
perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya, perilaku gotong royong dan
donasi sosial atau filantropi seperti zakat dan wakaf dapat menjadi solusi
pemenuhan kebutuhan masyarakat di saat darurat, khususnya bagi kaum duafa.

Dengan kata lain, mekanisme ekonomi berbasis pasar yang berorientasi pada
efisiensi dan pertumbuhan harus dilengkapi dengan mekanisme filantropi untuk
memastikan bahwa pemerataan kesejahteraan di masyarakat dapat terwujud. Namun,
mekanisme filantropi tersebut jangan sampai menyebabkan masyarakat yang menjadi
penerimanya bergantung pada bantuan donor, melainkan harus berbasis pemberdayaan
dan berkelanjutan. Maka, diharapkan mekanisme filantropi tersebut dapat menjadi
jejaring pengaman sosial bagi masyarakat dalam jangka panjang.

Baca Juga :  Utang Besar

Dalam pandangan penulis, wakaf pada masa new normal haruslah menjadi
kelaziman baru di masyarakat. Pengelolaan wakaf secara produktif jika
dioptimalkan dapat menggerakkan perekonomian dan laba yang dihasilkan dapat
diarahkan untuk menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan bagi sektor pendidikan,
kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diharapkan dapat
mewujudkan kesejahteraan secara merata dan komprehensif di masyarakat.

Wakaf sebagai suatu kelaziman baru pada masa kini memerlukan sejumlah hal
untuk dapat berjalan dengan optimal. Pertama, penggunaan teknologi informasi
pada pengelolaan wakaf perlu ditingkatkan. Hal ini setidaknya mencakup beberapa
aspek dalam perwakafan, seperti sosialisasi kepada masyarakat, sistem
pembayaran donasi wakaf berbasis digital, hingga sistem informasi pengelolaan
wakaf.

Kedua, sinergi antara lembaga pengelola wakaf dan pemerintah perlu
diperkuat agar beberapa aspek krusial dalam pengelolaan wakaf, seperti sinergi
dalam hal data mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf) dengan data penerima
bantuan pemerintah, dan juga sinergi antara program pengelolaan wakaf dan
tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah makin optimal. Selain itu,
amandemen Undang-Undang Wakaf yang telah berusia 16 tahun yang dapat
mengakomodasi praktik pengelolaan wakaf masa kini juga diharapkan memperkuat
perwakafan di Indonesia. Sebagai suatu kelaziman baru, wakaf tidak lagi sekadar
berdonasi untuk membantu sesama, namun harus mampu memperkuat ekonomi nasional
dan menyejahterakan masyarakat.

Ketiga, wakaf perlu disinergikan juga dengan agenda pembangunan nasional,
salah satunya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development
goals/SDGs). Artinya, wakaf hendaknya dapat sejalan dengan gerakan SDGs,
khususnya aspek pemberian manfaat wakaf pada sektor-sektor pembangunan, seperti
pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pembukaan lapangan pekerjaan,
hingga isu lingkungan. Khusus sektor kesehatan, pengelolaan wakaf secara
produktif diperlukan untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional pascapandemi
seperti pengadaan APD hingga obat-obatan sehingga penyediaan layanan kesehatan
tidak mengorbankan kemandirian ekonomi nasional. (*)


*) Raditya Sukmana, Profesor ekonomi Islam, peneliti Center of Islamic
Social Finance Intelligence (CISFI) FEB Universitas Airlangga

PANDEMI Covid-19 yang menjadi momok seluruh dunia membawa dampak yang
tidak ringan bagi banyak orang. Fenomena yang awalnya merupakan krisis
kesehatan umum telah berubah menjadi krisis multidimensi, salah satunya di
bidang ekonomi. Di Indonesia, dampak ekonomi ini telah secara nyata terasa.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal I
2020 hanya tumbuh 2,97 persen. Hal ini jelas menunjukkan adanya perlambatan
ekonomi seiring mulai diberlakukan pembatasan aktivitas masyarakat, seperti
anjuran bekerja dari rumah hingga PSBB, sejak pengumuman kasus pertama Covid-19
di Indonesia pada 2 Maret lalu.

Hal ini seiring prediksi dari Dana Moneter Internasional IMF bahwa ekonomi
Indonesia hanya akan tumbuh sekitar 0,5 persen pada 2020, namun dapat bangkit
menjadi sekitar 8 persen pada 2021 seiring pemulihan ekonomi yang berlangsung.
Maka, tidaklah mengherankan jika kemudian pemerintah beberapa waktu belakangan
mendorong wacana bernama new normal atau bahasa lainnya adalah kelaziman baru.
Wacana ini bermakna bahwa kegiatan masyarakat, khususnya kegiatan ekonomi,
diharapkan dapat berjalan normal kembali, namun dengan memperhatikan berbagai
protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 yang hingga saat ini belum
ditemukan vaksin penangkalnya. Perhatian terhadap protokol kesehatan ini
penting mengingat kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menembus 100.000
kasus sehingga pembukaan aktivitas ekonomi jangan sampai justru memunculkan
klaster penularan virus yang baru.

Terlepas dari kontroversi yang menyertai wacana di atas, aktivitas ekonomi
perlu dilakukan, tentunya dengan menyesuaikan kondisi Covid-19. Aktivitas
ekonomi yang melambat membawa dampak yang serius, baik bagi para pengusaha
maupun para pekerja. Terkhusus golongan pekerja, dampak pandemi ini sangat
terasa terutama bagi para pekerja informal yang bergantung pada pendapatan
harian maupun para pegawai yang dirumahkan akibat aktivitas bisnis yang
terganggu. Jika kondisi perekonomian tidak diperbaiki, dikhawatirkan terjadi
ledakan pengangguran yang dapat memperburuk kondisi kemiskinan maupun
ketimpangan sosial di Indonesia.

Masa kelaziman baru nanti ditandai dengan penggalakan sejumlah perilaku
protokol kesehatan di tempat-tempat umum, seperti menjaga jarak minimal 1
meter, menggunakan masker, adanya pengecekan suhu tubuh, serta pembiasaan
perilaku mencuci tangan dengan sabun atau cairan hand sanitizer. Tentu hal ini
tidak terlepas dari kondisi terkini pandemi yang sangat rentan menular melalui
sentuhan tangan yang kurang higienis dan masuk melalui saluran pernapasan.
Dengan kata lain, ada sejumlah hal yang perlu diadaptasi masyarakat luas agar
aktivitas tetap berjalan normal sehingga pemulihan ekonomi dapat terwujud,
namun di sisi lain diharapkan pandemi ini tidak meluas.

Baca Juga :  Gelar Muskerwil, PKB Kalteng Mantapkan Pemenangan Sugianto-Edy

Meskipun demikian, mengingat bencana Covid-19 tidak hanya merupakan krisis
kesehatan umum, namun juga memiliki dampak signifikan pada perekonomian, perlu
juga digalakkan suatu ’’kelaziman baru’’ dalam berekonomi. Hal ini mengingat
bahwa pada kondisi perekonomian normal, yang di Indonesia umumnya pertumbuhan
ekonomi dalam beberapa tahun terakhir setidaknya berada pada tingkat 5 persen,
masih dijumpai permasalahan terkait kesejahteraan masyarakat, terutama
kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Berdasar rilis BPS yang didasarkan pada survei sosial ekonomi nasional
(susenas) pada September 2019, tercatat jumlah penduduk miskin Indonesia berada
pada angka 24,8 juta jiwa atau sekitar 9,22 persen dari total populasi. Selain
itu, pada periode yang sama, tingkat ketimpangan sosial di Indonesia yang
diukur menggunakan rasio gini berada pada angka 0,382 yang menunjukkan
ketimpangan di tingkat menengah. Selain itu, pada September 2018 BPS mencatat
bahwa struktur pengeluaran didominasi golongan 20 persen berpendapatan
tertinggi yang berkontribusi 45,56 persen dari pengeluaran konsumsi masyarakat.
Sementara itu, 40 persen golongan menengah dan 40 persen golongan terendah
berkontribusi masing-masing 36,96 persen dan 17,47 persen.

Oleh karena itu, perilaku ekonomi ke depan tidak cukup hanya bertumpu pada
mekanisme pasar, namun perlu ada penguatan pada aspek sosial kemasyarakatan.
Hal ini mengingat kondisi pandemi ini mengajarkan bahwa ketika roda
perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya, perilaku gotong royong dan
donasi sosial atau filantropi seperti zakat dan wakaf dapat menjadi solusi
pemenuhan kebutuhan masyarakat di saat darurat, khususnya bagi kaum duafa.

Dengan kata lain, mekanisme ekonomi berbasis pasar yang berorientasi pada
efisiensi dan pertumbuhan harus dilengkapi dengan mekanisme filantropi untuk
memastikan bahwa pemerataan kesejahteraan di masyarakat dapat terwujud. Namun,
mekanisme filantropi tersebut jangan sampai menyebabkan masyarakat yang menjadi
penerimanya bergantung pada bantuan donor, melainkan harus berbasis pemberdayaan
dan berkelanjutan. Maka, diharapkan mekanisme filantropi tersebut dapat menjadi
jejaring pengaman sosial bagi masyarakat dalam jangka panjang.

Baca Juga :  Utang Besar

Dalam pandangan penulis, wakaf pada masa new normal haruslah menjadi
kelaziman baru di masyarakat. Pengelolaan wakaf secara produktif jika
dioptimalkan dapat menggerakkan perekonomian dan laba yang dihasilkan dapat
diarahkan untuk menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan bagi sektor pendidikan,
kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diharapkan dapat
mewujudkan kesejahteraan secara merata dan komprehensif di masyarakat.

Wakaf sebagai suatu kelaziman baru pada masa kini memerlukan sejumlah hal
untuk dapat berjalan dengan optimal. Pertama, penggunaan teknologi informasi
pada pengelolaan wakaf perlu ditingkatkan. Hal ini setidaknya mencakup beberapa
aspek dalam perwakafan, seperti sosialisasi kepada masyarakat, sistem
pembayaran donasi wakaf berbasis digital, hingga sistem informasi pengelolaan
wakaf.

Kedua, sinergi antara lembaga pengelola wakaf dan pemerintah perlu
diperkuat agar beberapa aspek krusial dalam pengelolaan wakaf, seperti sinergi
dalam hal data mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf) dengan data penerima
bantuan pemerintah, dan juga sinergi antara program pengelolaan wakaf dan
tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah makin optimal. Selain itu,
amandemen Undang-Undang Wakaf yang telah berusia 16 tahun yang dapat
mengakomodasi praktik pengelolaan wakaf masa kini juga diharapkan memperkuat
perwakafan di Indonesia. Sebagai suatu kelaziman baru, wakaf tidak lagi sekadar
berdonasi untuk membantu sesama, namun harus mampu memperkuat ekonomi nasional
dan menyejahterakan masyarakat.

Ketiga, wakaf perlu disinergikan juga dengan agenda pembangunan nasional,
salah satunya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development
goals/SDGs). Artinya, wakaf hendaknya dapat sejalan dengan gerakan SDGs,
khususnya aspek pemberian manfaat wakaf pada sektor-sektor pembangunan, seperti
pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pembukaan lapangan pekerjaan,
hingga isu lingkungan. Khusus sektor kesehatan, pengelolaan wakaf secara
produktif diperlukan untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional pascapandemi
seperti pengadaan APD hingga obat-obatan sehingga penyediaan layanan kesehatan
tidak mengorbankan kemandirian ekonomi nasional. (*)


*) Raditya Sukmana, Profesor ekonomi Islam, peneliti Center of Islamic
Social Finance Intelligence (CISFI) FEB Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru