33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Utang Besar

Kalau diterjemahkan, nama perusahaan ini
berarti ‘sejahtera’. Di Singapura ia didaftarkan dengan nama Hin Leong Trading
Ltd –bahasa daerah Hokkian, tempat lahir pendiri perusahaan itu: Lim Oon Kuin.

Lim punya nama panggilan yang enak diucapkan:
OK Lim. Ia orang terkaya Singapura nomor 12. Bos besar. Bisnisnya perdagangan
minyak: minyak mentah, BBM sampai oli. 

Hin Leong telah terbukti membawa sejahtera
keluarga itu. Juga menyejahterakan dua anaknya –laki-laki dan perempuan.
Mungkin juga telah menyejahterakan banyak mantan pejabat: di Indonesia,
Malaysia sampai ke Tiongkok.

Tahun lalu Hin Leong meraih laba sampai Rp 1,5
triliun. Luar biasa besar. Itulah angka yang disampaikan ke bank-bank yang
memberinya kredit. Berdasar hasil audit salah satu kantor akuntan terbaik di
dunia: Deloitte & Touche.

Ternyata perusahaan itu sebenarnya rugi. Sangat
besar. Tapi kerugian itu berhasil disembunyikan. Bank-bank internasional terus
mempercayainya. Sampai mau menggelontorkan pinjaman jumbo. Mencapai 4 miliar
dolar –setara dengan Rp 60 triliun.

Pinjaman terbesar diberikan oleh HSBC: USD 600
juta.

Jaminan utangnya jelas. Dan gampang dicairkan
menjadi uang: stok minyak yang sudah ditaruh di kapal-kapal tanker atau di
tanki-tanki raksasa. Jenis jaminan seperti itu lebih menggiurkan bank daripada
jaminan seperti properti –yang sulit menjualnya.

Bank pun senang saja terus memberinya kredit.
OK Lim sangat terpercaya. Sudah puluhan tahu di bidang bisnis yang sama. Sejak
amat kecil. Ketika awalnya hanya jualan bahan bakar di perahu kecil. Untuk para
nelayan di laut. Itu tahun 1963. Sampai menjadi raksasa seperti sekarang.
Dengan memiliki lebih 100 kapal tanker raksasa.

Sampailah dua bulan lalu. Ketika perusahaan itu
tidak bisa membayar cicilan utangnya.

Awal April,
bank-bank itu pun mulai melayangkan surat tagihan. Tidak juga dibayar.
Melayangkan lagi peringatan. Tidak juga mempan.

Lebih 10
bank besar yang melayangkan surat-surat serupa. Betapa bertubi-tubinya surat
ancaman.

Akhirnya OK
Lim mengaku: tidak punya cukup uang lagi. Alasannya: Covid-19. Penjualan minyak
menurun drastis. Harga minyak juga turun.

Awalnya OK
Lim masih optimistis: Covid-19 hanya menyerang Tiongkok. Yang sebentar waktu
akan berlalu.

Itulah
sebabnya OK Lim masih berani menyembunyikan kerugian. Dengan harapan situasi
segera berubah.

Ternyata
Covid-19 justru meluas ke mana-mana. Termasuk ke Singapura sendiri. Juga ke
pasar-pasarnya yang lain: Malaysia dan Indonesia.

Itu pun
masih bukan satu-satunya pukulan. Di bulan Maret justru lebih parah: Arab Saudi
bertengkar dengan Rusia. OK Lim lagi yang terkena. Harga minyak dunia
dijatuhkan oleh Pangeran Mohamad bin Salman. Tinggal 30 dolar/barel. Padahal OK
Lim membelinya dengan harga di atas 50 dolar/barel.

Baca Juga :  Kobar Terus Genjot Penanganan Covid-19

Mulailah OK
Lim tidak bisa menyembunyikan kesulitan. Tidak mampu membayar utang. Bahwa laba
yang dilaporkan itu diakuinya fiktif. Yang sebenarnya terjadi adalah: rugi USD
800 juta.

Kalau saja
OK Lim tidak menyembunyikan kerugian itu urusannya hanya dengan bank. Tapi
penyembunyian kerugian itu bisa membuatnya lebih repot: masuk ranah kriminal.
OK Lim kini lagi menghadapi pengusutan kriminal itu. Ia tidak lari.

“Semua
itu, saya yang bertanggung jawab,” ujar OK Lim kepada media di Singapura.
“Bagian keuangan memang saya suruh untuk melakukan itu,” katanya.
Ketika bagian keuangan mengingatkan risikonya, OK Lim mengatakan ia sendiri
yang akan menanggung risiko itu.

Jelaslah OK
Lim akan –yang umurnya diperkirakan 75 tahun– menanggung apa pun akibat
perbuatan itu. Ia juga harus menyelamatkan dua anaknya. Yang dua-duanya menjadi
direktur di situ. Juga menjadi pemegang saham.

Tiga orang
bapak-anak itulah pengendali Hin Leong. Tiga orang itu pula pemegang sahamnya
–dengan porsi sang bapak 75 persen.

Hin Leong
–agak mengejutkan– adalah perusahaan swasta tertutup. Belum pernah go public. Sangat langka ada perusahaan besar
Singapura yang tidak melepas saham di bursa.

Dengan
status non-public Hin Leong memang lebih bebas
mengatur keuangan dan manajemennya.

Tapi
Covid-19 dan Pangeran Muhamad bin Salman mengobrak-abrik kerahasiaan perusahaan
itu.

Dengan gagal
bayar bank-bank pun memasuki jantung perusahaan itu. Bahkan juga otoritas
keuangan dan aparat penegak hukum.

OK Lim
akhirnya angkat tangan. Ia menjatuhkan pedangnya: menyerah. Ia mengajukan
permintaan ke pengadilan untuk dibankrutkan.

Terhitung
sejak hari Jumat seminggu yang lalu: 17 April 2020.

Dengan
mengirim surat ke pengadilan itu OK Lim tidak perlu lagi tertekan menghadapi
pihak-pihak yang berebut menjarah asetnya.

Semua bank
sudah ingin lebih dulu menyelamatkan kreditnya. Dengan menekan sang pemilik.

Kini
pengadilan-lah yang menjadi ‘pemilik’ perusahaan itu. Pengadilan akan
mengangkat manajemen baru yang independen. Biasanya dari kantor akuntan besar
–yang lagi tidak mengaudit perusahaan itu. Pasti Deloitte & Touche tidak
punya peluang untuk memegang manajemen Hin Leong.

Baca Juga :  PD Harus Bahu Membahu Dalam Meningkatkan PAD

Tugas
manajemen itu tidak berat. Hanya saja harus fair. Tugasnya hanya menyelamatkan
aset perusahaan. Jangan sampai ada aset yang disembunyikan.

Tapi sudah
terlalu banyak aset yang pindah tangan: dijual atau pura-pura dijual.
Tergantung manajemen baru itu untuk menyelamatkannya. Kalau bisa.

Aset
perusahaan itu ternyata tinggal USD 700 juta. Padahal utangnya USD 3,3 miliar.

Kalau aset
itu bisa dijadikan uang maka bank-bank pemberi utang hanya dapat sedikit
pengembalian. Tiap utang USD 1 dolar, hanya kembali 18 cent.

Bank
mengalami kerugian yang amat besar. Terutama HSBC. Satu bank ini saja bisa rugi
Rp 15 triliun.

Selama ini
orang lebih banyak membayangkan betapa enaknya bank. Dalam kasus seperti ini
betapa pusingnya.

Singapura
heboh tidak habis-habisnya. Sebagai negara yang mengandalkan kepercayaan
bisnis, kasus Hin Leong sangat mencederai reputasi. Itulah kasus gagal bayar
terbesar dalam sejarah Singapura.

Tapi utang
gagal Rp 70 triliun seperti itu bukan yang pertama. Bahkan tidak seberapa.
Dibanding yang terjadi di Indonesia. Satu perusahaan saja, milik Eka Tjipta
Widjaya, gagal bayar utang sekitar Rp 120 triliun.

Itu terjadi
tahun 1998. Saat terjadi krisis moneter. Yang berbuntut jatuhnya Presiden
Soeharto yang legendaris.

Tapi
akhirnya utang itu selesai juga. Tanpa harus ada satu orang pun yang masuk
penjara.

Itu karena
tidak ada kejahatan yang disembunyikan. Semua akibat krisis moneter.

Bahkan perusahaan
milik Eka Tjipta Widjaya, Sinar Mas group, kini justru menjadi konglomerat
terbesar di Indonesia. Hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun.

Bank-bank
telah merestrukturisasi utang yang besarnya tidak terbayangkan itu. Bank yang
jadi krediturnya pun lebih dari 50 bank.

Untuk rapat
melakukan pembicaraan bagaimana menagih utang pun sudah sulit.

Sampai-sampai
beredar lelucon saat itu: kalau mau utang sekalian yang besar sekali. Juga ke
bank yang banyak sekali.

OK Lim
kelihatannya tidak akan bisa bangkit lagi seperti Eka Tjipta Widjaya. Ia punya
kelemahan berat soal menyembunyikan kerugian tadi.

Tapi bank
juga tidak mau uangnya hilang. Memenjarakan orang tidak bisa membuat uang
kembali.

Betapa
serunya perundingan di antara 10 bank itu –mencari cara penyelamatan terbaik.

Nama Hin
Leong (
兴隆=Xing
Long, dalam bahasa Mandarin) artinya masih tetap ‘sejahtera’. Bisa jadi
bangkrut hanyalah peristiwa administrasi. Tetap saja sejahtera tidak pergi dari
pendirinya.(Dahlan Iskan)

Kalau diterjemahkan, nama perusahaan ini
berarti ‘sejahtera’. Di Singapura ia didaftarkan dengan nama Hin Leong Trading
Ltd –bahasa daerah Hokkian, tempat lahir pendiri perusahaan itu: Lim Oon Kuin.

Lim punya nama panggilan yang enak diucapkan:
OK Lim. Ia orang terkaya Singapura nomor 12. Bos besar. Bisnisnya perdagangan
minyak: minyak mentah, BBM sampai oli. 

Hin Leong telah terbukti membawa sejahtera
keluarga itu. Juga menyejahterakan dua anaknya –laki-laki dan perempuan.
Mungkin juga telah menyejahterakan banyak mantan pejabat: di Indonesia,
Malaysia sampai ke Tiongkok.

Tahun lalu Hin Leong meraih laba sampai Rp 1,5
triliun. Luar biasa besar. Itulah angka yang disampaikan ke bank-bank yang
memberinya kredit. Berdasar hasil audit salah satu kantor akuntan terbaik di
dunia: Deloitte & Touche.

Ternyata perusahaan itu sebenarnya rugi. Sangat
besar. Tapi kerugian itu berhasil disembunyikan. Bank-bank internasional terus
mempercayainya. Sampai mau menggelontorkan pinjaman jumbo. Mencapai 4 miliar
dolar –setara dengan Rp 60 triliun.

Pinjaman terbesar diberikan oleh HSBC: USD 600
juta.

Jaminan utangnya jelas. Dan gampang dicairkan
menjadi uang: stok minyak yang sudah ditaruh di kapal-kapal tanker atau di
tanki-tanki raksasa. Jenis jaminan seperti itu lebih menggiurkan bank daripada
jaminan seperti properti –yang sulit menjualnya.

Bank pun senang saja terus memberinya kredit.
OK Lim sangat terpercaya. Sudah puluhan tahu di bidang bisnis yang sama. Sejak
amat kecil. Ketika awalnya hanya jualan bahan bakar di perahu kecil. Untuk para
nelayan di laut. Itu tahun 1963. Sampai menjadi raksasa seperti sekarang.
Dengan memiliki lebih 100 kapal tanker raksasa.

Sampailah dua bulan lalu. Ketika perusahaan itu
tidak bisa membayar cicilan utangnya.

Awal April,
bank-bank itu pun mulai melayangkan surat tagihan. Tidak juga dibayar.
Melayangkan lagi peringatan. Tidak juga mempan.

Lebih 10
bank besar yang melayangkan surat-surat serupa. Betapa bertubi-tubinya surat
ancaman.

Akhirnya OK
Lim mengaku: tidak punya cukup uang lagi. Alasannya: Covid-19. Penjualan minyak
menurun drastis. Harga minyak juga turun.

Awalnya OK
Lim masih optimistis: Covid-19 hanya menyerang Tiongkok. Yang sebentar waktu
akan berlalu.

Itulah
sebabnya OK Lim masih berani menyembunyikan kerugian. Dengan harapan situasi
segera berubah.

Ternyata
Covid-19 justru meluas ke mana-mana. Termasuk ke Singapura sendiri. Juga ke
pasar-pasarnya yang lain: Malaysia dan Indonesia.

Itu pun
masih bukan satu-satunya pukulan. Di bulan Maret justru lebih parah: Arab Saudi
bertengkar dengan Rusia. OK Lim lagi yang terkena. Harga minyak dunia
dijatuhkan oleh Pangeran Mohamad bin Salman. Tinggal 30 dolar/barel. Padahal OK
Lim membelinya dengan harga di atas 50 dolar/barel.

Baca Juga :  Kobar Terus Genjot Penanganan Covid-19

Mulailah OK
Lim tidak bisa menyembunyikan kesulitan. Tidak mampu membayar utang. Bahwa laba
yang dilaporkan itu diakuinya fiktif. Yang sebenarnya terjadi adalah: rugi USD
800 juta.

Kalau saja
OK Lim tidak menyembunyikan kerugian itu urusannya hanya dengan bank. Tapi
penyembunyian kerugian itu bisa membuatnya lebih repot: masuk ranah kriminal.
OK Lim kini lagi menghadapi pengusutan kriminal itu. Ia tidak lari.

“Semua
itu, saya yang bertanggung jawab,” ujar OK Lim kepada media di Singapura.
“Bagian keuangan memang saya suruh untuk melakukan itu,” katanya.
Ketika bagian keuangan mengingatkan risikonya, OK Lim mengatakan ia sendiri
yang akan menanggung risiko itu.

Jelaslah OK
Lim akan –yang umurnya diperkirakan 75 tahun– menanggung apa pun akibat
perbuatan itu. Ia juga harus menyelamatkan dua anaknya. Yang dua-duanya menjadi
direktur di situ. Juga menjadi pemegang saham.

Tiga orang
bapak-anak itulah pengendali Hin Leong. Tiga orang itu pula pemegang sahamnya
–dengan porsi sang bapak 75 persen.

Hin Leong
–agak mengejutkan– adalah perusahaan swasta tertutup. Belum pernah go public. Sangat langka ada perusahaan besar
Singapura yang tidak melepas saham di bursa.

Dengan
status non-public Hin Leong memang lebih bebas
mengatur keuangan dan manajemennya.

Tapi
Covid-19 dan Pangeran Muhamad bin Salman mengobrak-abrik kerahasiaan perusahaan
itu.

Dengan gagal
bayar bank-bank pun memasuki jantung perusahaan itu. Bahkan juga otoritas
keuangan dan aparat penegak hukum.

OK Lim
akhirnya angkat tangan. Ia menjatuhkan pedangnya: menyerah. Ia mengajukan
permintaan ke pengadilan untuk dibankrutkan.

Terhitung
sejak hari Jumat seminggu yang lalu: 17 April 2020.

Dengan
mengirim surat ke pengadilan itu OK Lim tidak perlu lagi tertekan menghadapi
pihak-pihak yang berebut menjarah asetnya.

Semua bank
sudah ingin lebih dulu menyelamatkan kreditnya. Dengan menekan sang pemilik.

Kini
pengadilan-lah yang menjadi ‘pemilik’ perusahaan itu. Pengadilan akan
mengangkat manajemen baru yang independen. Biasanya dari kantor akuntan besar
–yang lagi tidak mengaudit perusahaan itu. Pasti Deloitte & Touche tidak
punya peluang untuk memegang manajemen Hin Leong.

Baca Juga :  PD Harus Bahu Membahu Dalam Meningkatkan PAD

Tugas
manajemen itu tidak berat. Hanya saja harus fair. Tugasnya hanya menyelamatkan
aset perusahaan. Jangan sampai ada aset yang disembunyikan.

Tapi sudah
terlalu banyak aset yang pindah tangan: dijual atau pura-pura dijual.
Tergantung manajemen baru itu untuk menyelamatkannya. Kalau bisa.

Aset
perusahaan itu ternyata tinggal USD 700 juta. Padahal utangnya USD 3,3 miliar.

Kalau aset
itu bisa dijadikan uang maka bank-bank pemberi utang hanya dapat sedikit
pengembalian. Tiap utang USD 1 dolar, hanya kembali 18 cent.

Bank
mengalami kerugian yang amat besar. Terutama HSBC. Satu bank ini saja bisa rugi
Rp 15 triliun.

Selama ini
orang lebih banyak membayangkan betapa enaknya bank. Dalam kasus seperti ini
betapa pusingnya.

Singapura
heboh tidak habis-habisnya. Sebagai negara yang mengandalkan kepercayaan
bisnis, kasus Hin Leong sangat mencederai reputasi. Itulah kasus gagal bayar
terbesar dalam sejarah Singapura.

Tapi utang
gagal Rp 70 triliun seperti itu bukan yang pertama. Bahkan tidak seberapa.
Dibanding yang terjadi di Indonesia. Satu perusahaan saja, milik Eka Tjipta
Widjaya, gagal bayar utang sekitar Rp 120 triliun.

Itu terjadi
tahun 1998. Saat terjadi krisis moneter. Yang berbuntut jatuhnya Presiden
Soeharto yang legendaris.

Tapi
akhirnya utang itu selesai juga. Tanpa harus ada satu orang pun yang masuk
penjara.

Itu karena
tidak ada kejahatan yang disembunyikan. Semua akibat krisis moneter.

Bahkan perusahaan
milik Eka Tjipta Widjaya, Sinar Mas group, kini justru menjadi konglomerat
terbesar di Indonesia. Hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun.

Bank-bank
telah merestrukturisasi utang yang besarnya tidak terbayangkan itu. Bank yang
jadi krediturnya pun lebih dari 50 bank.

Untuk rapat
melakukan pembicaraan bagaimana menagih utang pun sudah sulit.

Sampai-sampai
beredar lelucon saat itu: kalau mau utang sekalian yang besar sekali. Juga ke
bank yang banyak sekali.

OK Lim
kelihatannya tidak akan bisa bangkit lagi seperti Eka Tjipta Widjaya. Ia punya
kelemahan berat soal menyembunyikan kerugian tadi.

Tapi bank
juga tidak mau uangnya hilang. Memenjarakan orang tidak bisa membuat uang
kembali.

Betapa
serunya perundingan di antara 10 bank itu –mencari cara penyelamatan terbaik.

Nama Hin
Leong (
兴隆=Xing
Long, dalam bahasa Mandarin) artinya masih tetap ‘sejahtera’. Bisa jadi
bangkrut hanyalah peristiwa administrasi. Tetap saja sejahtera tidak pergi dari
pendirinya.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru